Para Skaters Bandung, Antara Stigma dan Minimnya Fasilitas Kota
Kota Bandung memiliki sejumlah lapangan skateboard. Fasilitas ini kurang menunjang peselancar jalanan yang didominasi orang-orang muda Bandung.
Penulis Andi Rafli Alim Rimba Sose5 Februari 2024
BandungBergerak.id - Skateboard bukan sekadar olahraga. Permainan papan beroda ini telah lama menjelma sebagai subkultur jalanan yang tersebar di seluruh dunia hingga ke Bandung. Namun skateboard di Kota Kembang belum mendapatkan ruang ideal. Memang Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung telah membangun beberapa ruang skateboard, tetapi fasilitas ini dianggap kurang bisa dipakai.
Belum lagi, para skaters (istilah untuk pemain skateboard) terkadang menjadi sasaran sentimen negatif. Mereka kerap dituding merusak fasilitas umum atau bermain skateboard tidak pada tempatnya.
Idealnya, pemain skateboard melakukan aktivitasnya di sebuah tempat yang disediakan khusus untuk bermain skateboard atau yang biasa disebut dengan skatepark. Akan tetapi, skatepark yang ada di Bandung dibangun kurang optimal, tidak diimbangi kelayakan. Pembangunan skatepark di Bandung ditengarai karena kurang melibatkan komunitas skateboard.
“Kebanyakan yang membuat skatepark itu (dilakukan) tanpa sepengetahuan dari komunitas skate yang ada,” kata Ridwan, salah satu skaters Bandung, Sabtu, 27 Januari 2024.
Tidak melibatkan artinya tidak ada masukan dari para pelaku skateboard, sehingga fasilitas yang dibangun tidak optimal. Sebagai gambaran, skatepark yang dibangun harus memenuhi kriteria-kriteria mulai dari pengukuran, pengambilan sudut kemiringan, dan lain-lain.
“Pembangunan yang terjadi (dilakukan) pemerintah tanpa ada pengukuran sebelumnya. Dari tinggi obstacle atau (sudut) kemiringan terkadang tidak sesuai. Sehingga (skatepark yang ada) tidak bisa digunakan,” terang Ridwan.
Baca Juga: Tongkat Estapet Subkultur Bandung dalam Film Dokumenter Francis Of The Ripple Magazine
Bandung yang Kebarat-Baratan: dari Kolonialisme Belanda sampai Invasi Inggris
Hikayat Politik Rambut dan Demam Hippies
Besar di Jalanan dan Kurang Diterima di Masyarakat
Skateboard merupakan subkultur yang berkembang di jalanan atau biasa dikenal dengan street culture. Street culture merupakan budaya yang tidak bergerak pada arus utama, berkembang di jalanan, identik dengan anak punk, dan memisahkan dari tren yang ada.
Posisi tersebut membuat para skaters mendapatkan stigma buruk. Skateboard kerap dituding merusak fasilitas umum dan mengganggu ketertiban karena melakukan kegiatan tidak pada tempatnya.
“Skena skateboard belum sepenuhnya diterima di masyarakat. Kesannya (kami) merusak fasilitas umum, masyarakat (yang tidak bermain skate) juga bingung kenapa (kami) tidak bermain skate pada tempatnya,” kata Ridwan.
Memang, olahraga skateboard sering dilakukan di jalan, trotoar, ataupun fasilitas umum lainnya. Namun Ridwan mengklaim, permainan skadeboard tidak dilakukan seenaknya sampai mengganggu ketertiban umum.
“Kalo main di jalan atau trotoar juga kita nunggu sepi atau dekat jalan ada satu-dua orang yang jagain di tepi jalan, supaya papan skate tidak mengganggu,” kata Ridwan. “Ya bagaimana, scene skateboard memang street.”
Untuk melihat aksi-aksi para pemain skateboard di Bandung tidaklah sulit. Mereka bisa ditemui di sejumlah titik yang biasa menjadi tempat permainan jalanan ini, salah satunya di sekitar skatepark Pasupati.
Di sana, guratan roda di atas tembok jalan kerap terdengar nyaring. Bunyi tumbukan roda dengan beton terdengar akrab. Di sela-sela aksi-aksi peselancar jalanan, Rifki, pemain skateboard lainnya, juga mengatakan hal yang sama dengan Ridwan.
“Karena kita sering bermain tidak pada tempatnya. Hal ini berkaitan dengan kultur skate and destroy,” ujar Rifki.
Rifki mengenal skate semenjak menginjak kelas 6 SD dan mulai bermain sejak kelas 8 SMP. Lingkungan dan musik memberikan pengaruh terhadap perkenalannya dengan skate. Sama-sama bertemu di jalan, skate memiliki hubungan yang dekat dengan subkultur punk.
Adanya stigma tak membuat Rifki dan kawan-kawan menghentikan hobinya. Sebaliknya, mereka semakin bergejolak dan semangat dalam bermain skate. Ada sesuatu yang ia dapatkan dari permainan itu, sesuatu yang tak ia dapat dari kesibukan dia di sekolah hingga saat kuliah.
Ada juga suara-suara positif yang mendukung kegiatan orang-orang muda di jalan.
Di depan skatepark Pasupati, di antara kendaraan yang terparkir, Tati, ibu pengurus lahan parkir sekaligus pedagang mengatakan, para skaters yang tidak pernah bertingkah seperti stigma yang tertempel pada mereka.
“Alhamdulillah baik-baik semua. Meski ada beberapa orang (yang sering bertingkah), tapi yang lainnya baik,” ujar perempuan 45 tahun tersebut, sembari tersenyum.
Tati menjalankan usaha parkir dan jualan di sana selama 9 tahun. Selama itu, ia tidak melihat tingkah aneh-aneh dari orang-orang muda yang hobi berselancar di atas aspal. Menurutnya, lingkungan tempat mereka bermain skate merupakan lingkungan yang baik. Banyak dari mereka yang ingin menjadi atlet.
“Mereka fokus bermain skate, melampiaskan (kejeunuhan) setelah pulang kerja atau pulang sekolah, larinya (bermain) skate,” terang Tati.
Pedagang lainnya, Mak Ipoh, juga memandang positif kegiatan skateboard yang dilakukan Rifki dan kawan-kawan. Mak Ipoh yang berjualan dengan gerobak, sudah 10 tahun menjalankan usaha kecil-kecilan. Selama satu dekade itu ia terbiasa menyaksikan orang-orang muda Bandung bermain skate. Mak Ipoh tidak pernah melihat mereka sebagai kelompok yang berandalan.
“Tidak, anak-anak pada baik, meskipun orang silih berganti tidak ada yang nakal,” ucap Mak Ipoh.
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan Andi Rafli Alim Rimba Sose atau artikel-artikel lain tentang Subkultur Bandung