PROFIL SAMAHITA: Merangkul Kelompok Marginal, Melawan Kekerasan Seksual
Samahita merupakan komunitas yang bergerak di bidang penanganan dan kampanye pencegahan kekerasan seksual di lingkup lokal dan nasional. Berbasis di Bandung.
Penulis Raihan Malik8 Februari 2024
BandungBergerak.id - Para pegiat komunitas Samahita sudah aktif mengkampanyekan penghapusan kekerasan seksual sejak 2012. Maraknya kekerasan dalam pacaran menjadi salah satu pemicu terbentuknya komunitas ini di Bandung. Nama Samahita diambil dari bahasa Batak "sama hita", yang berarti "bersama kita". Dalam bahasa Sansekerta, "sama hita" berarti menjadi kuat.
Tahun 2015 Samahita resmi berdiri dan berkembang menjadi Yayasan Samahita Bersama Kita. Pendiri Samahita, Annisa Yovani atau akrab disapa Yona, menjelaskan filosofis penamaan Samahita adalah bahwa korban kekerasan seksual atau penyintas merasa didukung, tidak merasa sendirian, dan memiliki akses bantuan. Samahita Bersama Kita bermakna upaya bersama untuk menjadi kuat dan tegar.
"Mulai banyak yang melapor ke Samahita, merasa terbantu, dan mencari akses bantuan," ungkap Yona yang kini menjabat Koordinator Divisi Penelitian dan Pengembangan Samahita, kepada BandungBergerak.id, 31 Januari 2024.
Samahita aktif di level lokal dan nasional, diundang sebagai pembicara dan perwakilan masyarakat sipil dalam hal advokasi, termasuk ikut membahas peraturan pencegahan kekerasan seksual di universitas atau pendidikan tinggi.
Tahun ini Samahita berencana lebih gencar lagi berkampanye baik luring maupun daring. Kampanye daring lebih ditujukan pada generasi Z dengan menggunakan media sosial TikTok. Konten yang mereka garap memiliki relevansi dengan orang-orang muda pengguna medsos, misalnya "apa itu kekerasan dalam pacaran" atau "love bombing". Kampanye dengan model pendekatan TikTok ini relatif baru bagi Samahita.
Di dalam Samahita terdapat beberapa divisi, antara lain Divisi Pendampingan yang bertugas memberi dukungan teman sebaya kepada korban kekerasan berbasis gender. Ada juga Divisi Penelitian yang menjalankan kerja-kerja teoritis, seperti membahas isu-isu kesehatan reproduksi dan dampak regulasi terhadap perempuan.
"Kita lebih mempromosikan pencegahan kekerasan dalam pacaran, melihat akar dari budaya patriarki yang memelihara kekerasan terhadap perempuan," terang Yona. "Kita melakukan beberapa series kampanye dan edukasi sebagai langkah untuk mempromosikan dan mencegah kekerasan."
Melalui Divisi Pendampingan, Samahita menerima laporan korban kekerasan. Alur kerja divisi mulai dari menerima laporan korban, memberikan rujukan yang sesuai, seperti ke psikolog, bantuan hukum, atau lembaga terkait lainnya. Pendekatan teknologi seperti Save Net atau Task Force KBGO juga dipakai Samahita dalam menangani korban kekerasan.
Samahita aktif berkolaborasi dengan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, seperti LBH Bandung, LBH Aktif, Komnas Perempuan, serta koalisi masyarakat sipil antikekerasan seksual yang terdiri dari 60 organisasi di Indonesia. Samahita tercatat menjadi fasilitator nasional terkait Permendikbud no.46 tahun 2023 dan pembentukan Satgas PPKS.
Samahita menggunakan strategi khusus untuk melibatkan lebih banyak orang dengan mengadakan diskusi-diskusi luring yang mencakup isu-isu tidak terbatas pada politik. "Kami bahas fenomena K-pop, pop culture, buku tertentu, atau film tertentu, mencari isu-isu yang relevan," ungkap Yona.
Tantangan utama Samahita yang berbasis di Bandung, Jawa Barat adalah budaya patriarki yang melatarbelakangi tingginya angka kekerasan seksual. Samahita berusaha untuk mendekati isu ini dari sudut pandang yang lebih luas, termasuk konstruksi gender dan budaya patriarki yang memicu kekerasan seksual.
"Kita melihat bahwa tubuh perempuan sering dianggap hanya sebagai objek, kepemilikan tubuh diabaikan, dan budaya patriarki terus direproduksi, menghadapi masalah seperti pelecehan verbal dan stereotip terhadap perempuan," jelas Yona.
Selain itu, masalah pendidikan seks usia dini yang dianggap tabu di Indonesia menjadi tantangan lain. Yona mengatakan, dibutuhkan kurikulum yang komprehensif untuk mengajarkan anak-anak sejak dini tentang bagian tubuh, sentuhan yang diperbolehkan dan yang tidak, serta cara mencegah kekerasan seksual.
Samahita belum memiliki sistem monitoring yang rapih, tetapi jika melihat dari Catatan Tahunan (Catahu) milik Komnas Perempuan atau LBH Aktif, dapat dilihat bahwa jumlah laporan kasus semakin meningkat. "Angka laporan yang meningkat bisa dijadikan indikator, menunjukkan bahwa makin banyak orang yang menyadari kekerasan seksual dan tahu ke mana melapor," terang Yona.
Meskipun kasus kekerasan seksual kerap merupakan fenomena gunung es, namun peningkatan jumlah laporan dapat diartikan sebagai tanda kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap kejahatan ini. Di sisi pencegahan, makin banyak orang dapat bersuara terhadap perilaku yang tidak pantas, meskipun hal ini juga bisa terkait dengan tren boikot (cancel culture).
"Meskipun saya tidak setuju dengan cancel culture, itu sebenarnya bentuk pencegahan yang menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap jenis-jenis pelecehan dan kekerasan seksual," tambahnya.
Baca Juga: PROFIL PERPUS ALAM MALABAR: Perpustakaan di Kaki Gunung, Memadukan Pertanian dan Literasi
PROFIL KOMUNITAS EARTH HOUR BANDUNG: Gaya Hidup Hemat Listrik Demi Bumi
PROFIL GREAT UPI: Jalan Pedang Pendamping Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
Membangun Komunitas, Menangani Kekerasan Seksual
Bunga Astiti, Direktur Yayasan Samahita Foundation, menjelaskan bahwa Samahita didirikan pada tahun 2015 dengan fokus awal pada pendampingan korban kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan seksual. Seiring waktu, kegiatan Samahita berkembang melibatkan edukasi dan membangun kesadaran terhadap bahaya kekerasan seksual.
"Kami mengadakan diskusi terbuka, kajian media, serta memiliki kegiatan podcast yang membahas isu-isu gender dan seksual," ungkap Bunga Astiti.
Samahita juga sering mengadakan event kolaboratif seperti "Perempuan Menggugat 'Perempuan di Tahun Pemilu 2024'". Dalam konteks pemilu ini, Samahita menggandeng Transparansi Internasional Indonesia (TII).
"Kami menganggap penting untuk membahas isu-isu terkait pemilu, dan ini mungkin salah satu kegiatan pertama kami yang langsung melibatkan calon legislatif di Kota dan Kabupaten Bandung," tambahnya.
Dalam melakukan upaya pencegahan, Samahita bekerja sama dengan pemerintah, universitas, dan komunitas untuk menyelenggarakan acara pelatihan dan kelas gender yang meningkatkan kesadaran gender dan kekerasan seksual.
Terkait isu kekerasan pada anak, Samahita pernah bekerja sama KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan UPI dalam program resiliensi untuk anak korban kekerasan di beberapa daerah. Anak-anak mendapatkan pelatihan keterampilan yang berguna dan diharapkan bisa bangkit sebagai korban kekerasan.
Bunga menjelaskan, ada dua pilar utama yang dijalankan Samahita, yaitu pendampingan dan edukasi. Pendampingan dilakukan dengan memperkuat jaringan kerja, termasuk menjadi anggota Kompas (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual).
"Jaringan ini membantu dalam proses pendampingan, memastikan korban mendapatkan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, baik dari segi psikologis maupun hukum," katanya.
Samahita membangun jaringan dengan LBH Bandung dan Yayasan Jari yang memungkinkan mereka untuk menyediakan bantuan yang holistik. Bagi Bunga, kerja sama ini adalah salah satu cara paling strategis dalam mencapai nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Setiap individu yang aktif di Samahita menjalankan fungsinya masing-masing untuk berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya. Ada yang mahir menulis, maka bisa menuliskan wawasan tentang kekerasan berbasis gender. Ada yang terampil dalam kampanye, maka bisa meluncurkan kampanye seefektif mungkin. Bagi yang memiliki keterampilan sebagai pendamping dia akan melakukan pendampingan (advokasi).
Samahita menekankan pentingnya rehabilitasi bagi pelaku kekerasan. Dalam data kekerasan, kebanyakan pelaku adalah laki-laki. Maka diperlukan rehabilitasi agar para pelaku tidak mengulang kembali kekerasan yang sudah dilakukan. “Edukasi terhadap pelaku juga penting, karena banyak yang mungkin tidak menyadari perbuatannya," kata Bunga.
Langkah lain yang selalu ditekankan Samahita adalah menavigasi situasi yang rentan terhadap kekerasan. "Kami harus siap menghadapi situasi di ruang yang rentan terhadap kekerasan, mengingat siapa pun bisa menjadi korban dan siapapun bisa menjadi pelaku," sambung Bunga.
Samahita selalu menekankan bahwa komunitas ini adalah ruang belajar, bukan hanya melalui kegiatan konkret seperti diskusi atau kajian, tapi juga sebagai komunitas yang ramah bagi siapa pun yang ingin bergabung. Samahita dijadikan sebagai tempat di mana orang dapat datang, berdiskusi tanpa harus formal, saling berbagi perspektif, dan belajar dari satu sama lain.
Samahita menekankan bahwa ruang belajar yang mereka sediakan terbuka untuk seluruh masyarakat tanpa memandang gender, usia, atau agama. "Kami mendorong proses belajar ini datang dari inisiatif sendiri, karena kami yakin orang tidak ingin dipaksa belajar. Kami menyediakan ruang yang aman bagi mereka yang memiliki keinginan untuk belajar secara sukarela," jelas Bunga.
Akhir-akhir ini, sejak diberlakukannya Permendikbud yang mengharuskan universitas memiliki Satgas KS (Kekerasan Seksual), Samahita telah menjalin kerja sama dengan beberapa kampus. Beberapa perguruan tinggi memiliki kebutuhan untuk membentuk Satgas KS, dan mungkin tidak semuanya memiliki sumber daya terkait isu tersebut.
Saat Permendikbud diterapkan, Samahita bekerja sama dengan ITB, memberikan pelatihan kelas gender dan pendampingan kepada staf, dosen, mahasiswa, dan BEM. Kerja sama serupa juga terjalin dengan UPI dan Unisba. Samahita terus berupaya mendukung kampus-kampus yang belum memiliki Satgas KS atau yang belum familiar dengan isu ini.
Samahita memiliki Divisi Penelitian dan Pengembangan yang dikoordinir oleh pendiri yakni, Yona. Mengingat Samahita berbasis relawan, Samahita menghadapi tantangan dalam pengumpulan data internal. Sejak tahun 2023, Divisi Litbang membantu komunitas menganalisis data pelaporan, jumlah diskusi, dan partisipasi publik.
Samahita juga mengevaluasi perkembangan relawan, menyelenggarakan pelatihan akuntansi, dan mencermati tren pelaporan. Meskipun penurunan angka pelaporan bisa dianggap baik, kami mempertimbangkan faktor-faktor seperti perubahan regulasi atau norma yang mungkin mempengaruhi keputusan untuk melaporkan. Tujuannya adalah mengurangi angka kekerasan seksual di Kota Bandung dan sekitarnya, sehingga penurunan angka pelaporan yang disebabkan oleh upaya pencegahan merupakan hasil yang diharapkan.
Partisipasi Pria dalam Pergerakan
Konsistensi Samahita sejauh ini terlihat dalam penyelenggaraan kegiatan yang melibatkan perempuan, laki-laki, dan kelompok marginal. Samahita juga menyediakan ruang yang aman untuk berdiskusi dan saling belajar. Menyediakan ruang belajar dianggap sebagai hal terpenting dalam membangun Samahita.
Anggota Samahita sangat beragam, tidak hanya terdiri dari perempuan, meskipun perempuan dan gender minoritas lebih rentan terhadap kekerasan berbasis gender. Namun, Samahita selalu menekankan bahwa kekerasan tidak memandang gender. Nilai-nilai yang dipegang teguh komunitas menegaskan bahwa siapa pun, termasuk laki-laki, dapat menjadi korban.
Bunga Astiti menyoroti pentingnya melibatkan semua anggota masyarakat dalam gerakan melawan kekerasan seksual. "Kami berharap bahwa laki-laki yang mungkin menjadi korban juga merasa nyaman melaporkan, terutama mengingat adanya nilai-nilai maskulinitas yang toxic. Kami percaya bahwa gerakan ini adalah tanggung jawab bersama, melibatkan seluruh masyarakat, termasuk laki-laki," bebernya.
Ali salah satu anggota Samahita mengungkapkan bahwa ia merasa tergerak melihat begitu banyak teman yang mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender dalam lingkungan yang kurang mendukung. Pengalaman teman-teman yang sering mengalami catcall (menggoda dengan ucapan tak senonoh), pelecehan verbal, hingga kasus pemerkosaan membuatnya menyadari pola manipulasi dan kekerasan dalam pacaran.
Dari situ, Ali menyadari bahwa partisipasi dalam pergerakan untuk mengentaskan kekerasan berbasis gender bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan, tetapi juga laki-laki. Meskipun data menunjukkan bahwa korban kekerasan berbasis gender cenderung lebih banyak perempuan, ia menyadari bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Ia merasa perlu berperan aktif dalam membentuk kesadaran di kalangan teman-temannya serta terlibat dalam organisasi yang berkomitmen untuk perubahan ini.
Di Samahita, peran Ali tidak terbatas pada memberikan pendampingan, tetapi juga sebagai penggerak dan mensosialisasikan gerakan kekerasan berbasis gender serta toxic relationships. Fokus utamanya adalah menyebarkan kesadaran terhadap kekerasan berbasis gender dan pasangan yang toxic.
Meskipun Samahita berperan dalam meningkatkan kesadaran di wilayah Bandung Raya, ia menyadari bahwa untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman, diperlukan partisipasi dari berbagai pihak. Laki-laki, sebagai pihak yang dipandang kuat dalam sistem partiarki, juga perlu ikut serta dalam menciptakan lingkungan yang aman. Melakukan tindakan konkret seperti menghentikan catcall, menghindari melecehkan orang lain, dan meredam budaya patriarki adalah langkah-langkah yang bisa diambil.
"Laki-laki perlu meredam ego dan tidak menggunakan maskulinitas untuk mempertahankan diri, melainkan berkontribusi dalam pergerakan feminism," tegas Ali.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Raihan Malik atau artikel lain tentang Profil Komunitas Bandung