Dari Pantangan Menyebut Maung di Gunung Beser Sumedang hingga Tata Titi Duduga Peryoga, Menyingkap Sakralisasi Maung dalam Budaya Sunda
Sakralisasi maung dilekatkan sebagai penjelmaan Prabu Siliwangi kemungkinan berkaitan dengan banyaknya populasi maung atau harimau di bekas ibu kota kerajaan Sunda.
Muhammad Firyal Dzikri
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad)
10 Februari 2024
BandungBergerak.id – “Hana nguni, hana mangke. Tan hana nguni, tan hana mangke”– Amanat Galunggung
Penggalan kalimat di atas memiliki arti, “Ada dahulu, ada sekarang. Tak ada dahulu, tak ada sekarang.” Ungkapan tersebut mengandung makna agar kita memiliki kesadaran sejarah, tanpa sejarah kita tidak akan mengetahui identitas kita.
Membicarakan sejarah erat kaitannya dengan kebudayaan karena sejarah merupakan salah satu unsur pembentuk kebudayaan. Kebudayaan merupakan kebiasaan dari sekelompok manusia yang diwariskan, sehingga keberlangsungannya harus dijaga.
Upaya menjaga kebudayaan menjadi hal penting setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Melalui undang-undang tersebut, salah satu cara menjaga kebudayaan yaitu dengan inventarisasi. Saya pribadi terlibat dalam inventarisasi kebudayaan ketika menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Nagarawangi, Sumedang selama satu bulan, dari Januari hingga Februari.
Dalam proses menginventarisasi kebudayaan selama KKN, saya memperoleh banyak informasi terkait kebudayaan, salah satunya folklore (tradisi lisan). James Danandjaja dalam Folklor Indonesia mendefinisikan folklore sebagai kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat pendukungnya.
Salah satu folklore yang menarik dan masih dipercaya oleh masyarakat Nagarawangi yaitu pantangan menyebut harimau atau maung ketika di Gunung Beser. Penyebutan maung harus disamarkan dengan menyebutnya sebagai urang leuweung (orang hutan) untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Cerita tersebut menarik karena maung dalam masyarakat Sunda begitu disakralkan, sehingga saya terpantik untuk menelusuri keterkaitan antara pantangan di Gunung Beser dengan sakralisasi maung. Selain itu, saya juga berupaya memahami pesan implisit di balik pantangan tersebut.
Baca Juga: Pergeseran Nama Orang Sunda, dari yang Unik hingga Modis
Trias Politika dalam Naskah Kuno Sunda
Bahasa Sunda dalam Kehidupan Masyarakat Perkotaan
Antara Maung dan Prabu Siliwangi
Sakralitas yang disematkan ke maung berkaitan dengan cerita ngahyang (menghilangnya) Raja Kerajaan Sunda Prabu Siliwangi beserta pasukannya menjadi maung di Hutan Sancang. Ngahyang-nya Prabu Siliwangi dikarenakan terdesak oleh ekspansi Kesultanan Banten dan Cirebon yang bercorak Islam. Prabu Siliwangi pun menolak ajakan anaknya, Raden Kian Santang, putranya, untuk masuk Islam dan memilih pergi untuk menghindari pertumpahan darah.
Sebelum ngahyang, Prabu Siliwangi menitipkan wangsit yang terkandung dalam Uga Wangsit Siliwangi, berbunyi “lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung.” Wangsit tersebut merujuk pada sifat maung yang seolah-olah harus diteladani oleh masyarakat Sunda karena merupakan penjelmaan Prabu Siliwangi. Penggalan wangsit tersebut diyakini oleh sebagian besar urang Sunda bahwa Prabu Siliwangi ngahyang dan menjelma menjadi maung bodas (macan putih).
Meskipun cerita tersebut umum diketahui oleh urang Sunda, namun tidak ada bukti sejarah yang menyebutkan penjelmaan Prabu Siliwangi. Penyebutan sosok “Prabu Siliwangi” pun perlu dielaborasi, apakah merujuk ke seorang raja atau julukan yang disematkan kepada seorang raja Sunda yang masyhur.
Menelisik Sosok di Balik Prabu Siliwangi
Istilah “Siliwangi” terdiri dari dua suku kata, asilih dan wawangi yang bermakna pengganti Prabu Wangi –merujuk ke Prabu Linggabuana dalam Carita Parahiyangan yang gugur di Palagan Bubat (1357). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mumuh Muhsin dan Miftahul Falah berjudul Prabu Siliwangi Between History and Myth, nama “Siliwangi” memang tercatat dalam sejumlah sumber sejarah seperti Carita Parahiyangan (1580 M), Bujangga Manik (Abad XV), Sanghyang Siksa Kanda-ng Karesian (1518 M), dan Carita Purwaka Caruban Nagari (1720). Akan tetapi konteksnya merujuk ke julukan yang disematkan kepada raja Sunda yang termasyhur, bukan nama raja Sunda.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa “Prabu Siliwangi” merujuk kepada Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda yang berkuasa dari tahun 1482-1521. Prabu Jayadewata dianggap mewarisi kebesaran pendahulunya karena berhasil menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh dalam satu teritori kekuasaan yang berpusat di Pakwan Pajajaran.
Selain mewarisi kebesaran leluhurnya, dalam Prasasti Batu Tulis –dibangun 12 tahun sepeninggal Prabu Jayadewata– tercatat bahwa Prabu Jayadewata mengganti nama gelarnya dari Prebu Guru Dewataprana menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Prasasti tersebut, menurut Hasan Djafar dalam Prasasti Batutulis Bogor, dibangun sebagai peringatan dan penghargaan atas jasa-jasa Prabu Jayadewata. Penggantian nama gelar itulah, menurut Saleh Danasasmita dalam Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi, menjadikan gelar “Prabu Siliwangi” melekat dengan Sri Baduga Maharaja.
Perihal meninggalnya Prabu Jayadewata kerap menjadi perdebatan. Jawaban yang umum ditemui menyebut bahwa Prabu Siliwangi tidak meninggal, melainkan ngahyang menjadi maung bodas. Untuk mengurai persoalan tersebut, keberadaan prasasti dan sumber sezaman setidaknya dapat memberikan petunjuk.
Prasasti Batu Tulis yang dibuat tahun 1533 oleh Prabu Surawisesa, putra Prabu Jayadewata, menyebutkan Prabu Jayadewata meninggal dunia. Selain Prasasti Batu Tulis, keterangan lain terdapat dalam Carita Parahiyangan bahwa Prabu Jayadewata “sang mwakta ring Rancamaya” (moksa di Rancamaya). Kesimpulannya, Prabu Jayadewata meninggal dunia dan jasadnya diperabukan.
Klaim ngahyang-nya Prabu Siliwangi sebagai akhir dari riwayat Kerajaan Sunda pun tidaklah benar. Pasca meninggalnya Prabu Jayadewata, masih ada penerusnya yaitu Prabu Surawisesa (1521-1535), Ratu Dewata (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551), Ratu Nilakendra (1551-1567), dan Raga Mulya (1567-1579). Kelima raja tersebut mengindikasikan bahwa keruntuhan Kerajaan Sunda tidak terjadi pada masa Prabu Jayadewata, melainkan pada masa Raga Mulya tahun 1579.
Dari Petualangan Scipio hingga Tiger Nest di Priangan
Anggapan nga-hyang-nya Prabu Siliwangi dan pasukannya menjadi maung barangkali tidak dapat dilepaskan dari konteks ekologis di sekitar kawasan bekas Kerajaan Sunda. Ini bermula seorang pengelana Belanda, Pieter Scipio van Oostende, menelusuri jejak sejarah Kerajaan Sunda di kawasan Pakuan pada 1 September 1687.
Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal VOC Joanes Camphuijs pada 23 Desember 1687, Scipio mencatat bahwa kawasan yang dulunya pusat Kerajaan Sunda telah menjadi habitat maung. Keberadaan maung tersebut menarik, bahkan Masatoshi Iguchi dalam Java Essay: The History and Culture of a Southern Country menyinggung keberadaan maung tersebut dengan legenda ngahyang-nya Prabu Siliwangi beserta pasukannya.
Pernyataan Iguchi tersebut sebetulnya dapat terjawab, mengingat bekas pusat kekuasaan Kerajaan Sunda berpindah ke Pandeglang akibat terdesak. Tak heran jika kawasan tersebut berubah menjadi leuweung yang didiami maung. Sebagai catatan, Peter Boomgaard dalam Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600–1950, menyebut kawasan Priangan sebagai salah satu tiger nest (sarang harimau) dikarenakan tingginya populasi maung. Keterangan Peter Boomgaard sejalan dengan maraknya laporan mengenai kasus penerkaman manusia oleh harimau sepanjang abad ke-19 di Priangan.
Sakralisasi maung yang dilekatkan sebagai penjelmaan Prabu Siliwangi kemungkinan berkaitan dengan banyaknya populasi maung di bekas ibu kota Kerajaan Sunda, sebagaimana laporan Scipio. Masyarakat Sunda lalu menginterpretasikan hal tersebut, ditambah dengan adanya Uga Wangsit Siliwangi, dengan penjelmaan Prabu Siliwangi dan pasukannya yang tengah menjaga wilayah tersebut.
Cerita penjelmaan Prabu Siliwangi dapat menjawab mengapa maung disakralkan dalam budaya Sunda. Hal ini dikarenakan, mengutip penjelasan Robert Wessing dalam Symbolic Animals in the Land between the Waters: Markers of Place and Transition, maung disimbolkan sebagai jelmaan penguasa, Prabu Siliwangi, sehingga maung menjadi hewan yang dihormati.
Tata Titi Duduga Peryoga
Apabila pembahasan di atas dikaitkan dengan pantangan menyebut maung di Gunung Beser, Nagarawangi, kita dapat memahami nilai-nilai kesakralan yang terkandung di dalam kata “maung” itu sendiri. Pengidentifikasian maung sebagai penjelmaan Prabu Siliwangi, sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat Sunda, merupakan poin penting dari pantangan ini. Mengucapkan maung secara langsung, tanpa disamarkan, dianggap sebagai sikap tak menghormati Prabu Siliwangi. Oleh karenanya, pantangan itu hadir sebagai penghormatan kepada Prabu Siliwangi.
Di balik pantangan tersebut, terselip pesan mengenai sopan santun. Setiap individu harus mampu mengimplementasikan laku lampah nu merenah di masyarakat, salah satunya dengan menjaga lisannya. Internalisasi nilai-nilai mengenai sopan santun di balik pantangan itulah yang seyogyanya turut kita wariskan ke generasi berikutnya.
Melalui pepatah tata titi duduga peryoga (jika sopan ke orang lain, maka orang lain pun akan sopan kepada kita), saya ingin menegaskan bahwasanya melalui pantangan yang berkembang di Desa Nagarawangi kita dapat memetik pelajaran akan pentingnya bersikap sopan dalam bertutur kata di masyarakat.