• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #22: Harapan Baba

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #22: Harapan Baba

Perbincangan kami hari itu cukup panjang. Tentang rencana Baba mengantar ke Bandung serta harapannya setelah aku bekerja di Nurtanio.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Ilustrasi suasana perkampungan Jakarta tahun 1960an dengan rumah dari bilik dan papan. (Foto: Bing AI)

11 Februari 2024


BandungBergerak.id – Meski aku sudah dinyatakan diterima untuk bekerja di Nurtanio aku tidak langsung pindah ke Bandung. Aku harus menunggu beberapa waktu hingga resmi berkantor di tanggal 20 Juni 1981. Selama masih ada di rumah aku selalu membantu ayahku baik itu untuk pekerjaan rutin sehari hari-hari atau pekerjaan dadakan yang sesekali. Seperti misalnya meratakan jalan yang ia lakukan pada hari Rabu ini.

Pekerjaannya sendiri tidak banyak, tapi perlu dibantu. Aku membantu membuat adukan semen pasir dan membuat peluran jalan depan toko. Ini kami lakukan sambil menunggu pembeli. Di sela-sela pekerjaan Baba banyak bertanya soal rencanaku setelah diterima kerja dan akan hijrah ke Bandung.

“Sudah tahu nanti cari kosannya di Bandung?” tanya Baba.

“Sudah, Ba,” aku jawab.

“Jauh dari tempat kerja?” tanya Baba lagi.

“Enggak berapa jauh. Jalan kaki antara 15 menitan. Kalau mau naik angkot juga ada diliwati angkot dah,” kataku.

“Nanti kalau lama di sana kita cari-cari tanah. Bikin rumah aja di sana, biar di rumah sendiri. Nanti kalau pada datang dari sini (Jakarta) kan enak,” ucap Baba.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #19: Dijodohkan
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #20: Baba Sakit
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #21: Tes Lagi di Nurtanio

Sebelum Berangkat ke Bandung

Perbincangan kami hari itu cukup panjang. Baba menanyakan kapan aku masuk kerja dan berencana untuk mengantarkanku sehari sebelum hari masuk kerja yakni Selasa, 19 Juni 1981. Aku sendiri belum tahu siapa saja yang akan mengantar. Hari itu, hari Sabtu 16 Juni 1981. Masih lima hari sebelum aku harus berangkat ke Bandung.

”Apa aja nanti yang dibawa ke sana?” tanya Baba lagi.

“Ya cuma pakaian aja. Buat kerja, buat tidur, buat sehari-hari. Kasur bantal mah uda ada di tempat kosnya. Tinggal masuk aja. Andai kata enggak dapat tempat kos juga bisa numpang sama teman dulu. Waktu tes sebelumnya juga begitu,” kata aku.

Demikian perbincanganku hari itu dengan Baba. Tentang harapannya mau bikin rumah buatku di Bandung nanti, tentu aku senang. Tetapi hati kecilku menolak rasanya. Aku pikir nanti juga aku bisa beli sendiri. Orang lain saja bisa punya rumah, masa aku sudah kerja enggak bisa. Rasanya enggak enak nempatinnya kalau rumah dari orang tua mah, makanya aku mau kerja. Aku punya harapan ingin meringankan beban orang tua selain agar orang tua bisa ikut bangga. Tidak banyak anak di kampungku yang merantau.

Sembari melur itu aku berharap semoga ayahku sehat seterusnya. Agar aku pun enak pergi merantau. Aku ingin memperlihatkan kepada Baba dan Enyak, bahwa aku bisa hidup mandiri.

Dan aku yakin mereka tidak mengharapkan uang dariku. Yang Baba dan Enyak harapkan aku sudah bisa mencari jalan hidupku sendiri.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//