• Cerita
  • (Bukan) Pesta Demokrasi di Dago Elos

(Bukan) Pesta Demokrasi di Dago Elos

Warga Dago Elos menyambut hari pemungutan suara Pemilu 2024 dengan dingin. Bayang-bayang penggusuran mengancam ratusan orang warga di kampung ini.

Suasana hari pemungutan suara Pemilu 2024 di Balai RW 11 Dago Elos, Kota Bandung, Rabu, 14 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau15 Februari 2024


BandungBergerak.id – Rabu, 14 Februari 2024 menjelang siang, di hari pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres), suasana Dago Elos jauh dari meriah. Balai RW 02, jantung gerakan warga melawan penggusuran yang difungsikan sebagai Tempat Pemungutan Suara (TPS) relatif lengang. Yang justru mencolok, semua petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kompak mengenakan kaus bertuliskan “Diam ditindas atau melawan untuk kebebasan”.

“Jelas sambil kita mengkampanyekan apa yang terjadi di sini, tetap menyalurkan hak suara. Punya harapan ke negara,” ungkap Iyan, salah seorang anggota KPPS. 

Jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS 11 RW 2 Dago Elos, Bandung, sebanyak 278 orang, dengan daftar pemilih tambahannya (DPTb) sebanyak 12 orang. Nama-nama mereka ditempel di papan pengumuman bersama dengan informasi Capres-Cawapres serta calon anggota legislatif baik tingkat daerah maupun nasional. 

Menurut Iyan, meskipun sedang berada dalam masa sengketa, mereka tetap menjalankan kewajiban sebagai bagian dari petugas pemilu. Sementara untuk warga sendiri, diberikan keleluasaan sepenuhnya, apakah akan menggunakan hak suara untuk memilih atau tidak.

“Kita hanya menyediakan (fasilitas pemilihan),” ungkapnya. “Terserah warga mau memilih atau nggak.”

Lili, 49 tahun, seorang warga RT 01 RW 02, datang ke TPS bersama sang anak, Desy, 30 tahun, sejak pukul 9.30 WIB. Menjelang siang, dia masih menunggu namanya dipanggil. 

Dari raut wajahnya, Lili terlihat tak begitu bersemangat mengikuti helatan Pemilu 2024. Rasa kecewa belum juga luntur. Bagaimana tidak? Dia dan ratusan warga RW 02 saat ini terancam kehilangan lahan dan rumah yang sudah ditinggali selama puluhan tahun. Sengketa tanah dengan tiga bersaudara Muller yang mengklaim ruang hidup mereka tak pernah mendapatkan perhatian pemerintah. Kini warga berada di ujung tanduk setelah putusan terakhir pengadilan memenangkan para penggugat.

“Mau milih juga ragu-ragu. Siapa pun yang menang, tetap digusur. Kita ga ada yang bantu, kita ga direspons, ga didengar,” tuturnya

Lili tumbuh dan besar di Dago Elos bersama keluarganya yang hidup di kampung ini secara turun-temurun. Memiliki tiga orang anak dengan si bungsu masih bersekolah di SMK, dia bertahan hidup dengan berjualan nasi di Terminal Dago, tak jauh dari rumahnya. Sengketa tanah membuat hidupnya tidak tenang. Lili was-was, takut sewaktu-waktu rumah yang dihuninya dirobohkan. 

“Harapannya, mudah-mudahan dipertahankan aja ya tempat ini karena di sini udah turun-temurun, dari kakek-nenek udah di sini,” ungkapnya. 

Sempat terpikir untuk tidak ke TPS, Lili tak sampai hati dengan tetangga sekitar. Dia datang dan bahkan mengajak serta anaknya. Di dalam bilik suara, apakah dia memilih atau tidak, tak ada yang tahu.

Warga lainnya, Irma, 38 tahun, bersemangat menyalurkan hak pilih. Dia tahu siapa yang akan dipilih. Meski Ada harapan darinya untuk pemimpin yang terpilih nantinya. 

“Saya punya hak untuk milih, ya mudah-mudahan ada perubahan untuk tanah, yang terpilih mendukung kita. Mudah-mudahan. (Saya) Masih menaruh harapan,” ungkapnya.

Dua orang perempuan warga Dago Elos menunjukkan kelingking bertinta di hari pemungutan suara di Balai RW 11 Dago Elos, Bandung, Rabu, 14 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Dua orang perempuan warga Dago Elos menunjukkan kelingking bertinta di hari pemungutan suara di Balai RW 11 Dago Elos, Bandung, Rabu, 14 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Baca Juga: PAYUNG HITAM #24: Aanmaning dan Ironi Pemilu bagi Warga Dago Elos
Pengepungan oleh Polisi di Dago Elos Menimbulkan Trauma pada Perempuan dan Anak-anak

Suara Orang-orang Muda

Di kalangan orang muda Dago Elos, semangat perlawanan berembus jauh lebih kencang. Tidak ada sambutan untuk hari pemungutan suara. Mereka menaruh amarah kepada para penguasa karena warga dipaksa berjuang sendiri untuk mempertahankan rumah dan ruang hidup mereka. Kasus sengketa tanah yang mendera dalam beberapa tahun terakhir telah membuat mereka tidak memiliki ketenangan.  

“Makanya percuma untuk milih anggota DPR atau lainnya. Malah hak kita dirampas. Sudah putus harapan sebenarnya,” kata Desy, 30 tahun. 

Ditambah lagi, beberapa hari sebelum pemilu, warga dikagetkan dengan kedatangan surat pemberitahuan penggusuran. Kecemasan semakin memuncak. Pemilu tak pantas disebut sebagai sebuah pesta demokrasi. Tak ada pesta di Elos. 

“Aku pribadi gak ada pilihan sama sekali,” ungkap Desy. “Takutnya setelah beres ini (pemilu), kita malah digusur, malah lebih cemas.”

Sementara itu, Yoga, 23 tahun, pemuda di Dago Elos, keluar dari bilik suara dengan jari kelingkinng sudah bertinta. Ia mengaku tidak memilih, melainkan merusak surat suara. Mengalami apa yang menimpa kampungnya, Yoga merasa tidak ada sosok yang bisa dipilih.

“Dengan kondisi saat ini, udah ga berharap lagi perlindungan ke mereka,” tuturnya. “Sama semua perkataannya, sudah ga bisa dipercaya lagi.” 

Yoga tumbuh dan besar di Dago Elos sampai kini mulai bekerja. Sama seperti warga lain, ia mengalami hidup tidak normal karena harus senantiasa ada dalam bayang-bayang kecemasan. Penggusuran sudah di depan mata.

*Kawan-kawan bisa membaca karya-karya lain Emi La Palau, atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//