Tiga Jam Lewat Tengah Malam di Dago Elos
Warga panik akibat rentetan ledakan gas air mata di Dago Elos. Lampu-lampu rumah dipadamkan. Di luar, aparat melakukan penyisiran.
Penulis Tofan Aditya16 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Hampir tiga jam saya berlindung di salah satu rumah warga di kampung Dago Elos, Bandung, pada malam mencekam, Senin 14 Agustus 2023 kemarin. Tak terhitung berapa kali Mak Ipah, si pemilik rumah, beristigfar dan memanggil nama Tuhan. Di usianya yang sudah 55 tahun, tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa ia akan mengalami pengepungan oleh kepolisian yang dibarengi pendobrakan rumah-rumah, peledakan gas air mata, serta jerit ketakutan warga.
Malam itu, anak-anak yang tinggal di rumah Mak Ipah sudah tertidur dalam gelisah. Di luar, aparat masih berlalu-lalang, pertanda kondisi belum aman. Saya dan Mak Ipah terus terjaga, bersiap kalau-kalau polisi merangsek masuk ke dalam rumah, seperti yang terjadi di rumah-rumah tetangga.
Salah satu cucu Mak Ipah, terlelap persis di hadapan saya. Tangan gadis perempuan yang sekarang duduk di kelas 5 Sekolah Dasar itu memeluk erat-erat tangan neneknya yang sudah berkeriput.
Hari sudah bergulir ke Selasa dini hari, tepatnya pukul 01.45 WIB. Dua hari lagi hari kemerdekaan Republik Indonesia dirayakan. Namun situasi di Dago Elos seperti masih di zaman revolusi. Sangat jauh dari merdeka.
Mak Ipah mengabarkan bahwa kondisi di luar masih belum aman. Informasi tersebut dia dapatkan lewat pesan singkat dari warga yang lain. Saya juga mendapat pesan serupa dari Pemimpin Redaksi bahwa saya tidak boleh ke mana-mana sampai situasi benar-benar aman.
Setelah Ledakan Beruntun Gas Air Mata
Saya tidak tiba-tiba saja berada di kediaman Mak Ipah pada tengah malam itu. Kejadian kaos beberapa jam sebelumnya memaksa saya mencari tempat berlindung. Sebelum berada di Dago Elos, pukul 21.00 WIB lewat, saya mendapatkan kabar bahwa kawasan sengketa tersebut memanas. Warga dan massa solidaritas dalam wadah Dago Melawan memblokir jalan setelah kecewa mendapati laporan mereka ke Polrestabes Bandung tidak diterima.
Bersama reporter Awla Rajul, saya meninggalkan ruang kerja BandungBergerak.id ke lokasi kejadian. Benar saja, dari kejauhan langit Dago tampak memerah. Asap hitam dari ban-ban bekas yang dibakar, mengepul ke udara. Teriakan kekecewaan warga Dago Elos mulai terdengar. Aparat dengan alat lengkap, dari topi, tameng, hingga pentungan, telah berbaris rapi, mengambil posisi.
Pukul 22.00 WIB, kami berjalan perlahan mendekati massa aksi. Di depan Hotel Regia Dago, kami bertemu jurnalis lain yang sedang mewancarai salah satu warga tentang kejadian hari ini. Selesai wawancara, saya dan Awla Rajul kemudian berpencar untuk mencari informasi tambahan.
Di antara kerumunan aparat dan massa aksi, tim kuasa hukum warga bernegosiasi dengan negosiator dari aparat. Saat itu pukul 22.15 WIB. Tim kuasa hukum kemudian kembali ke warga, mengabarkan kalau aparat ingin menyampaikan dulu tuntutan warga kepada pimpinan mereka.
Dua puluh lima menit negosiasi berlangsung. Tim kuasa hukum mengabarkan kepada massa aksi bahwa tuntutan mereka dipenuhi. Aparat kepolisian bersedia menerima laporan dari warga. Dengan catatan, penandatanganan laporan dilakukan di Polrestabes. Warga bertepuk tangan, tim kuasa hukum bersiap berangkat.
"Itu tingali, polisina asa maju saeutik-saeutik," bisik salah satu massa aksi kepada tim kuasa hukum yang kebetulan berdiri di dekat saya.
Entah mengapa, suasana justru semakin memanas. Salah seorang warga bersaksi ia melihat langsung aparat yang pertama kali melempari massa aksi dengan batu, menjadikan massa aksi mulai terprovokasi. Seseorang yang memegang pelantang meminta massa aksi untuk tidak terpancing. Lalu orator tersebut meminta warga agar tetap satu komando dan mundur sebanyak tiga langkah.
Pukul 22.47 WIB, ketika tim kuasa hukum sedang menyiapkan kendaraan untuk pergi ke Polrestabes, Angga, koodinator Dago Melawan, meminta massa aksi untuk membuka satu ruas jalan terlebih dahulu, sementara satu ruas lagi akan dibuka setelah proses penandatanganan laporan selesai.
Belum genap satu menit, ledakan terdengar dari arah utara. Sebuah percikan api terlihat meledak tepat di dekat kepala-kepala massa aksi. Semua kaget, panik, bingung. Selang satu menit kemudian, dari arah utara ledakan kembali terdengar.
"Bapak tolong bapak, hargai warga, bapak! Kita ada anak kecil, Bapak. Jangan nyalain gas air mata, Bapak! Astagfirullah!" teriak warga perempuan melalui pelantang, tepat setelah ledakan kedua terdengar.
Lalu, semenit kemudian, gas air mata meletup tepat di tengah massa aksi. Semua yang berada di lokasi berlari ke kawasan permukiman. Beberapa orang terlihat pingsan. Sisanya berlari sambil batuk-batuk dan menangis tercekik gas air mata.
Nama Tuhan berulang kali disebut oleh massa aksi. Takbir terdengar terus-menerus. Semua orang bingung mencari air dan obat antasida (pereda gas air mata). Namun, karena sudah larut malam, warung-warung sudah tutup. Jerit tangisan terdengar dari berbagai penjuru.
Saya berjalan ke arah belakang, menyusuri area permukiman. Aroma gas air mata ternyata sudah menyebar. Di tiap sudut gang, orang-orang berusaha menenangkan diri dari serangan gas air mata.
Saya tidak mengenali lagi rute permukiman ini. Saya hanya berjalan dan terus berjalan di lorong Dago Elos sampai tiba di Bale RW. Di sini rupanya banyak orang berkumpul. Tersedia air untuk membasuh wajah. Obat antasida pun tersedia meski tidak dalam jumlah banyak. Semua massa aksi yang terkena dampak gas air mata berbagi air dan obat seadanya.
Pukul 23.13 WIB, massa aksi membawa bambu untuk menutup akses jalan menuju Bale RW. Satu menit berselang, dua bunyi ledakan terdengar, juga suara sirine yang meraung dari arah jalan raya. Melalui pesan singkat, rekan saya mengabarkan kalau itu adalah gas air mata yang ditembakkan ke permukiman warga.
Tidak lama berselang, kabar lain tiba. Aparat mencoba menerobos masuk ke permukiman warga. Saya kemudian memilih untuk kembali menyusuri area belakang permukiman, mencari informasi sekaligus mencoba untuk menyelamatkan diri.
Saya tiba di satu gang, lokasinya tidak jauh dari bale RW, mungkin sekitar 25 meter. Oleh seorang warga, saya ditawari minum dan beristirahat sejenak di depan rumahnya. Kami kemudian berbincang.
"Ai ieu teh geus merdeka can? Ai nu dimenangkeun orang Belanda, berarti dijajah keneh atuh urang teh," ucap seorang perempuan paruh baya yang memberikan saya air dengan nada tinggi. "Nu nyieun anarkis mah polisi lain warga, jeung make alasan saya gak ngeluarin. Naha ai warga boga gas air mata? Boga pestol?"
Setelah melepas lelah, saya mencoba kembali berjalan menyusuri area ini. Saya harus mendapat informasi lengkap soal kejadian nahas yang menimpa warga.
Baca Juga: Kronologi Kaos Penutupan Jalan di Dago Elos, Gas Air Mata Melukai Warga
Malam Mencekam di Dago Elos
Pengepungan oleh Polisi di Dago Elos Menimbulkan Trauma pada Perempuan dan Anak-anak
Dalam Naungan Mak Ipah
Lima menit jalan kaki, saya tiba di sebuah rumah di kawasan RT 01. Saya mengetahuinya dari nomor rumah yang terpampang di tembok. Beberapa orang terlihat sedang beristirahat di dalam.
Saya kabarkan lewat grup pesan singkat bahwa saya terjebak di Dago Elos. Pemimpin redaksi memberi tahu bahwa aparat sedang melakukan tindak represif dan saya diminta berlindung di rumah warga.
"Mau ke sini, A?" seorang ibu memanggil saya dari belakang.
Dialah Mak Ipah yang saya ceritakan di awal.
"Udah sok biarin aja di sini, di Emak," tuturnya.
Saya mengiyakan karena bingung tidak punya pilihan.
Setelah saya masuk ke dalam rumah, Mak Ipah segera mengunci pintu dan gorden ditutup. Di rumah sederhana tersebut, ada 8 orang, belum termasuk saya. Semuanya adalah satu keluarga. Semuanya terlihat panik.
Kala itu pukul 23.24 WIB. Melalui pesan singkat yang masuk ke ponselnya, Mak Ipah mengabarkan bahwa aparat mulai masuk ke rumah warga. Beberapa rumah yang terkunci bahkan didobrak. Untuk meminimalkan kecurigaan aparat, Mak Ipah meminta salah satu anggota keluarganya mematikan aliran listrik. Keadaan seketika gelap gulita. Hanya cahaya dari ponsel yang menjadi sedikit penerang.
"Polisi keur nyisir, nangkapin orang-orang dari luar," ucap Mak Ipah pelan.
Mak Ipah meminta saya bersembunyi di kamar, sekalian meminta saya untuk menemani dua bocah perempuan yang terbangun karena keributan di luar. Belum sampai 5 menit saya mencoba menenangkan diri, kabar dari redaksi berembus: Awla Rajul dipukuli aparat, jidatnya tampak benjol kena pentungan.
"Disepaklah, dibogem di perutlah, dijambaklah," cerita Awla Rajul lewat pesan suara. "Pas dibawa teh kata-katanya gini, 'kalau dibawa ke depan, mati kamu!'"
Saya sercara rutin berkomunikasi dengan kawan-kawan redaksi, mengabarkan bahwa saya tidak apa-apa dan memastikan kawan redaksi yang lain tidak mengalami kejadian serupa seperti Awla Rajul.
Satu demi satu kabar tidak mengenakkan muncul dari percakapan dengan kawan-kawan redaksi: polisi mendobrak rumah warga, massa aksi banyak ditangkap, peretasan media sosial, dan banyak lainnya. Di lain sisi, dari berbagai grup dan pesan personal, banyak pula yang menyemangati kami, berdoa agar seluruh Redaksi BandungBergerak.id dan seluruh massa aksi bisa selamat.
Dalam keadaan gelap, samar terlihat gestur ketakutan dari kedua anak perempuan berusia 10 tahun di samping saya. Tangan kecil mereka memeluk lutut dan mencengkram selimut masing-masing, erat dan semakin erat. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan pertanyaan yang sama kepada saya.
"A, takut. Kita ga pa pa, kan?" ucap mereka lirih dengan nada gemetar dan sorot mata yang mengisyaratkan kecemasan.
Saya hanya menjawab singkat sambil tersenyum, berusaha untuk menenangkan kedua gadis itu. Juga diri saya sendiri.
Waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB. Itu artinya, sudah dua jam saya berada di rumah Mak Ipah dan belum ada tanda-tanda aparat akan bubar.
Situasi sudah tidak semencekam beberapa jam sebelumnya. Mak Ipah memutuskan untuk menyalakan kembali aliran listrik. Ekspresi ketakutan kini jelas terlihat. Beberapa orang yang ada di rumahnya memilih pulang, satu per satu.
Kini, di kediaman Mak Ipah hanya tersisa 5 orang: Mak Ipah, dua anak perempuan yang berdiam di kamar, satu anak laki-laki pelajar SMP, dan saya. Mak Ipah kembali meminta saya untuk tidak ke mana-mana.
"Kalau penggusuran mungkin lebih parah ya, A?" tanya Mak Ipah memecah keheningan sambil menatap saya dalam-dalam.
Saya hanya tersenyum getir, tidak sanggup menjawab satu kata pun.
Kami kemudian berbincang. Sudah sejak lama Mak Ipah berjuang mempertahankan ruang hidup miliknya. Tadi siang, Mak Ipah juga ikut serta pergi ke Polrestabes, tapi tidak sampai selesai karena harus menemani anak-anak yang tinggal di rumahnya. Bagi Mak Ipah, usia hanyalah angka. Semangat harus tetap menyala.
Mak Ipah kemudian bercerita bahwa anak dan cucunya tadi siang tidak sekolah. Mereka juga akan ia liburkan hari ini. Mak Ipah khawatir anak-anak tersebut masih traumatis akibat kejadian barusan.
"Saya mah khawatir ke masa depan anak-anak, A. Saya takut ke depannya mereka kenapa-kenapa," ucapnya sambil sesekali mengecek setiap orang yang lewat di depan rumahnya.
Mak Ipah tidak menyangka, dia harus mengalami kejadian seburuk dan semencekam ini di Dago Elos. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin dia dan warga lain diburu bak penjahat kelas kakap. Padahal dia hanya ingin tinggal dengan tenang di tanah yang menyimpan banyak kenangan.
Jarum pendek sudah hampir menunjuk angka tiga subuh. Suami Mak Ipah sudah pulang ke rumah. Dia mengabarkan, kondisi di luar memang belum sepenuhnya aman, tapi sudah memungkinkan apabila saya ingin pergi ke Bale RW.
Saya kemudian meminta saran dari pemimpin redaksi. Dia membolehkan saya keluar dari rumah warga dengan catatan didampingi oleh kawan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Tidak lama setelah menghubungi kawan LBH Bandung, saya dijemput tepat pukul tiga dini hari. Tiba saatnya untuk berpamitan dan berterima kasih kepada Mak Ipah.
Jalan menuju Bale RW Dago Elos rupanya tidak terlalu jauh. Di sepanjang jalan ke sana, sisa-sisa kekacauan jelas terlihat. Di Bale RW, terlihat beberapa massa aksi tertidur di atas tikar berwarna hijau, kelelahan. Teriakan demi teriakan masih berdengung di kepala saya.