SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #38: Bidjaksana sebagai Bumper
Mingguan Bidjaksana dipersiapkan untuk mengantisipasi tindakan represi pemerintah kolonial yang bisa setiap saat menghukum sikap kritis Sipatahoenan dengan beredel.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
16 Februari 2024
BandungBergerak.id – Sejak Maret 1934, Paguyuban Pasundan mengambil alih mingguan Bidjaksana. Mengenai mingguan tersebut, saya mendapatkan keterangannya dari Ensiklopedi Sunda (2000: 119). Di situ dikatakan berkala itu mula-mula terbit dua kali seminggu lalu menjadi mingguan. Mula-mula diterbitkan di Batavia Centrum (Senen 137), kemudian di Rangkasbitung (sejak nomor 7) dan Tasikmalaya dan Cirebon (sejak nomor 35).
Lebih jauh, dalam ensiklopedia yang disunting oleh Ajip Rosidi itu disebutkan yang mula-mula menjadi direksi/redaksi Bidjaksana adalah A. Kadaroesman dan O.K. Jaman. Sejak No. 7, Kadaroesaman mengundurkan diri dan diganti oleh I. Sasmitaatmadja (direktur), Wiranta (redaktur), dan O.K. Jaman sebagai penanggung jawab direksi dan redaktur keliling. Konon, sejak 24 Maret 1934, Bidjaksana diambilalih oleh Paguyuban Pasundan.
Titimangsa 24 Maret 1934, menurut saya, harus dicermati. Karena tanggal tersebut merupakan tanggal nomor percobaan terbitnya Bidjaksana oleh Paguyuban Pasundan. Sementara pengambilalihannya sendiri berlangsung sebelumnya. Itu sebabnya saya rasa lebih aman menyebutkan bulan Maret 1934 saja. Agar mendapatkan gambaran yang lebih luas, saya akan membagikan hasil penelusuran dari koran Sipatahoenan maupun Bidjaksana-nya sendiri.
Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #35: Mochamad Enoch, E. M. Dachlan, dan Niti Soemantri
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #36: Pojok Panganggoeran
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #37: Tahun Kesepuluh
Diambilalih Pengurus Besar Paguyuban Pasundan
Saya mendapatkan kabar tentang Bidjaksana dalam Sipatahoenan edisi 7 Oktober 1933, dengan judul “Soerat kabar Bidjaksana moentjoel deui”. Di situ disebutkan, “Soerat kabar Bidjaksana anoe geus digeundjleungkeun padjah goeloeng tikar, ajeuna rek moentjoel deui, ngalelep di Rangkasbetoeng ana poetjoenghoel di Tasikmalaja” (Surat kabar Bidjaksana yang diisukan gulung tikar, sekarang muncul lagi, hilang di Rangkasbitung muncul di Tasikmalaya).
Bidjaksana mulai diterbitkan di Tasikmalaya sejak Oktober 1933. Pemimpin redaksinya O.K. Jaman, direkturnya A. Samhoedi, pemiliknya Drukkerij Koernia, administraturnya Naja (Tegelfabriek), redakturnya Roechimat Martakoesoemah dan T. Mamoen.
Selanjutnya dari Sipatahoenan edisi 15 Januari 1934, saya mendapatkan berita Bidjaksana akan dipindahkan dari Tasikmalaya ke Bandung (“Noeroetkeun bedja noe meh beunang dipastikeun benerna, jen moal lila deui oge, soerat kabar Bidjaksana noe ajeuna dikaloearkeun di Tasikmalaja teh bakal dipindahkeun ka Bandoeng”). Untuk keperluan itu, bisa jadi untuk sementara surat kabarnya tidak akan diterbitkan.
Seminggu kemudian pada edisi 23 Januari 1934, Sipatahoenan memuat pengumuman (“Hatoer Oeninga”) dari pihak Bidjaksana. Di sana dikatakan ada berbagai kepentingan yang menjadi sebab mengapa surat kabar tersebut dipindahkan ke Bandung. Salah satu pertimbangannya, Bandung merupakan kota yang lebih besar dari Tasikmalaya dan tentunya lebih penting bagi peri kehidupan Bidjaksana (“Bandoeng kota noe langkoeng ageung ti batan Tasikmalaja, tangtos langkoeng penting keur hiroepna Bidjaksana”). Untuk itu edisi Bandung akan diisi bahan-bahan yang lebih penting dengan para penulis ahli dalam bidang jurnalistik.
Sejak edisi 20 Maret 1934, Sipatahoenan memuat pengumuman Pengurus Besar Paguyuban Pasundan yang telah mengambil alih Bidjaksana, dengan niat hendak memiliki bahan bacaan yang cukup (“Ngantet djeung ieu teh koe sabab Pagoejoeban Pasoendan oge ngarasa perloe ngabogaan batjaan lectuur anoe tjoekoep, toeloej eta soerat kabar Bidjakasana teh dirawoe koe Pagoejoeban Pasoendan sarta bakal dikaloearkeun djeung djadi milikna Pagoejoeban Pasoendan”). Sebelumnya dikatakan Bidjaksana sudah menyebar ke segala pihak, tetapi sayang organisasinya tidak bagus.
Oleh Paguyuban Pasundan, Bidjaksana akan diterbitkan pada minggu sekarang (“Ti ajeuna bisa ditjaritakeun, jen eta soerat kabar Bidjaksana teh bakal dikaloearkeun dina minggoe ieu noe deukeut”) dan untuk sementara akan diterbitkan seminggu sekali, ke depannya diharapkan dapat diterbitkan menjadi seminggu dua kali bahkan menjadi harian.
Pada edisi berikutnya, Sipatahoenan (22 Maret 1934) memuat lagi pengumuman dari Paguyuban Pasundan. Pengumumannya berbunyi: “Antos Moal Lami! Sawatara dinten deui oge, tangtos aja boektina, di Bandoeng kaloear serat kabar basa Soenda, noe ngaranna Bidjaksana” (Tunggu tidak akan lama! Beberapa hari lagi, tentu terbukti, di Bandung akan terbit surat kabar berbahasa Sunda, yang bernama Bidjaksana). Dengan pesan akhir surat kabar tersebut penting untuk menambah pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kepastian tanggal terbit Bidjaksana diumumkan dalam Sipatahoenan edisi 23 Maret 1934. Di situ disebutkan Bidjaksana akan diterbitkan besok, hari Sabtu (“Meunang bedja ti noe boga hak jen isoekan powe Saptoe soerat kabar noe kaseboet di loehoer bakal dikaloearkeunana”). Keterangan selanjutnya, untuk sementara akan diterbitkan seminggu sekali, dan ke depannya bisa jadi akan lebih kerap.
Dari warta tersebut, kita tentu saja dapat menarik kesimpulan Bidjaksana akan diterbitkan Paguyuban Pasundan pada 24 Maret 1934. Karena saya bisa mengakes mingguan Bidjaksana dari Perpustakaan Nasional RI, mari kita lihat bukti-buktinya.
Bertahan Setahun Kurang
Buktinya memang Bidjaksana terbit pada 24 Maret 1934. Namun, edisi tersebut masih disebut sebagai “No Pertjobaan”, dengan keterangan titimangsa “Saptoe, 24 Maart 1934” atau “8 Rajagoeng 1352”, “Tahoen ka II” (tahun kedua), “Dikaloearkeun koe Pagoejoeban Pasoendan, saheulaanan saminggoe sakali” (diterbitkan oleh Paguyuban Pasundan, sementara seminggu sekali), dan “Verantw. Redacteur Mohamad Koerdie”.
Pada edisi percobaan itu disajikan artikel-artikel lepas, rubrik “Kabatinan”, rubrik “Kroniek-Doenja”, rubrik “Istri Kiwari”, rubrik “Bedja-Bedja”, rubrik “Sport”, rubrik “Sociaal”, pojok “Tjotjok”, dan cerpen “Saha-saha?” Semuanya ada enam halaman.
Menariknya pada halaman pertama ada artikel yang ditulis oleh pemimpin redaksi Bidjaksana sebelumnya, O.K. Jaman, dengan judul “Bidjaksana dikatengahkeun ….” Pada mulanya ia memohon maaf karena surat kabar tersebut sempat menghilang dan dipindahkan ke Bandung. Ia lalu menjelaskan alasan menyerahkan Bidjaksana kepada Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, yaitu agar kinerjanya sepenuhnya dapat terjaga dan terawat, dengan kepercayaan 100% (“Koe lantaran eta, Bidjaksana loemakoena di Bandoeng sangkan kadjaga sagala-sagalana, koe sim koering dipasantrenkeun, dipasrahkeun ka Hoofdbestuur Pagoejoeban Pasoendan, anoe katimbang koe sim koering pibisaeun ngadjaga toer ngaraksa sagemblengna”).
Di bawah tulisan O.K. Jaman ada tanggapan redaktur Bidjaksana Mohamad Koerdie. Ia menyatakan tak kan berpanjang lebar mengenai tujuan menerbitkan lagi Bidjaksana, karena sudah jelas dinyatakan oleh O.K. Jaman. Sekarang tinggal mulai bekerja melanjutkan garapan yang sempat tertunda, yang hasilnya baik bagus atau jelek akan dapat disaksikan oleh kalangan umum (“Ajeuna, kari bismillah, singkil neroeskeun hantja noe ditoenda sawatara waktoe katoekang, anoe hasilna hade-goreng bakal kasaksian koe sarerea”).
Sayangnya, pada koleksi Perpustakaan Nasional, Bidjaksana edisi pertama resminya tidak ada, karena yang ada langsung No. 8, 19 Mei 1934 dan seterusnya hingga edisi terakhir yang diterbitkan oleh Paguyuban Pasundan, yaitu Nomor 36, 1 Desember 1934.
Pada edisi 1 Desember 1934, ada tulisan dari Direksi Bidjaksana pada halaman pertama dengan tajuk “Bidjaksana djeung Sipatahoenan”. Di situ dijelaskan pertimbangan Bidjaksana dihentikan. Pertama-tama, direksi menyebutkan Bidjaksana dan Sipatahoenan adalah satu nyawa (“Sanadjan beda ngaranna oge, weekblad Bidjaksana djeung Sipatahoenan teh, saenjana beunang diseboetkeun sanjawa keneh”), sehingga saling melengkapi. Dengan demikian, ketika Sipatahoenan membutuhkan ruang lebih, Bidjaksana terpaksa harus mengalah.
Kebutuhan tambahan bagi Sipatahoenan berupa masukan dari para pembaca dan langganan yang menghendaki agar surat kabar itu menerbitkan suplemen khusus setiap minggu untuk kebudayaan (“Aja noe ngaharep soepaja Sipatahoenan teh dina saminggoe sakali mah ngaloearkeun special lambaran noe eusina bab Kaboedajan woengkoel”) dan anak-anak (“Aja deui noe ngaharep soepaja Sipatahoenan teh, dina saminggoe sakali mah ngaloearkeun speciaal lambaran kinder-courant noe eusina pinoeh koe atikan pikaresepeun baroedak”).
Agar Sipatahoenan dapat mewujudkannya, tentu membutuhkan biaya lebih dan Bidjaksana mesti dihentikan penerbitannya (“henteu aja lian ngan Bidjaksana koedoe dieureunan dikaloearkeunana”). Meski demikian, menurut direksi, itu artinya Bidjaksana meluruh dengan Sipatahoenan, jadi satu nyawa (“Djadi beunang oge diseboetkeun, moesnana Bidjaksana teh, saenjana ngaraga soekma ka Sipatahoenan”). Implikasinya para langganan yang telah melunasi Bidjaksana hingga akhir Desember 1934 akan dikirim Sipatahoenan setiap hari Sabtu.
Tulisan “Bidjaksana djeung Sipatahoenan” dimuat lagi dalam Sipatahoenan edisi 3 Desember 1934, dengan beberapa tambahan keterangan. Di antaranya dengan hilangnya Bidjaksana berarti kegembiraan untuk seluruh langganan Sipatahoenan. Kunci untuk mewujudkan agar Sipatahoenan dapat menerbitkan suplemen kebudayaan dan anak-anak bergantung dari dukungan para langgananannya (“Kadjadian djeung henteuna mah, goemantoeng kana pangdeudeulna ti para langganan bae”).
Untuk Menahan Serangan
Soalnya, apakah suplemen kebudayaan dan anak-anak jadi diterbitkan? Saya melihat buktinya, memang keduanya diterbitkan oleh Sipatahoenan. Namun, kalau kembali ke asal-usul penerbitan Bidjaksana oleh Paguyuban Pasundan, apakah alasannya semata-mata agar hidupnya terus berlanjut dan perkembangannya terjaga, sebagaimana yang diterangkan O.K. Jaman? Saya mendapatkan penjelasan lain dari Mohamad Koerdie.
Menurut Suradi Hp (Mohamad Koerdie, Karya dan Pengabdiannya, 1989: 39), alasan di balik penerbitan Bidjaksana adalah suasana yang mengancam kehidupan Sipatahoenan yang ditimbulkan oleh represi pemerintah kolonial terhadap pers yang kritis berupa beredel, sehingga “Pagoejoeban Pasoendan sudah berjaga-jaga sekiranya harian Sipatahoenan tiba-tiba dikekang Gobernemen, maka harus ada penyambung tugasnya yang segera”.
“Karena itulah,” sambung Suradi Hp, “diterbitkan oleh Pagoejoeban itu, mingguan yang diberi nama Bidjaksana. Yang diangkat menjadi Hoofdredacteur (Pemimpin Redaksi) ialah Mohamad Koerdie sendiri. Hanyalah selama satu tahun saja mingguan ini terbit, karena fihak penerbit dan akhli-akhli politiknya mempertimbangkan suasana sudah pula mereda keadaannya”.
Demikian pula yang dinyatakan Rahim Asyik (“Koerdie, Sasieureun Sabeunyeureun” dalam Bangkarak Juranlistik: Hiji Lalakon, 2017: 19). Ia mengutip dokumen wawancara Mohamad Koerdie tanggal 4 Juni 1959. Kutipan tersebut bunyinya begini: “Penerbitan mingguan Bidjaksana ini sebenarnja hanja dimaksud- kan sebagai tjadangan untuk dapat didjadikan harian menggantikan (melandjutkan) Sipatahoenan, andaikata harian tsb. jang pada waktu itu sudah mendapat antjaman dari Hoofdparket (Pokrol Djenderal) akan dibreidel berhubung adanja suatu tulisan jang dianggap mengandung isi gezagsondermijning, terpaksa harus mengachiri riwajatnja.”
Bila demikian halnya, Bidjaksana bisa disebutkan bumper bagi Sipatahoenan dari pukulan, serangan, atau hantaman kebijakan kolonial terhadap pers. Hal ini dapat dimengerti bila dikaitkan dengan kerapnya Sipatahoenan kena delik pers, yaitu karena pemuatan tulisan dan berita dalam edisi 4 Mei 1929, 10 Juli 1929, 27 Juli 1929, 16 November 1929, 31 Agustus 1930. Sementara yang paling dekat dengan pengambilalihan Bidjaksana oleh Paguyuban Pasundan adalah delik pers akibat pemuatan tulisan 5 Januari 1934 yang menyebabkan Bakrie Soeraatmadja diperiksa oleh pihak berwajib sejak 10 April 1934 hingga di bui di Sukamiskin antara 22 Februari-23 Mei 1935.
* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah.