• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #23: Baba Meninggal Dunia (1)

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #23: Baba Meninggal Dunia (1)

Menjelang kepergianku untuk hijrah ke Bandung. Baba meninggal dunia.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Ilustrasi suasana perkampungan Jakarta tahun 1960an dengan rumah dari bilik dan papan. (Foto: Bing AI)

18 Februari 2024


BandungBergerak.id – Tidak terasa makin dekat waktuku untuk hijrah ke Bandung. Tinggal menghitung hari, lembaran hidup baruku di tanah rantau akan dimulai. Selama obrolan dengan Baba, saat kami mengerjakan latar (begitu orang di kampungku menyebut halaman rumah) Baba memang banyak menanyakan apa rencanaku kelak saat sudah di Bandung nanti. Tetapi siapa sangka kalau sore itu adalah kali terakhir Baba menyampaikan harapan-harapannya untukku.

Aku masih ingat, pengerjaan perbaikan halaman itu selesai pada Minggu sore sekira menjelang Ashar. Setelah menyelesaikan pekerjaannya dan lanjut sembahyang, Baba pamit ke rumah kakakku. “Mau ngalor dulu,” katanya. Begitu memang ia menyebut tempat kakakku. Sementara kalau ke rumah kami, Baba menyebutnya “ngidul”. Tapi kunjungan Baba tidak lama. Sebelum Magrib dia sudah di rumah lagi. Tidak begitu larut, sekitar kurang dari jam 9 malam Baba pun memilih tidur.

Malam itu aku dan Enyak nongkrong di warung. Menunggu warung kami hingga tutup. Setelah tutup toko, aku mampir sejenak ke teman-temanku. Tidak jauh, jaraknya hanya 100 meter dari rumahku. Hanya sekadar bincang-bincang, apalagi sebentar lagi aku akan pergi cukup jauh. Kami berbicara cukup banyak, seperti apa yang nanti akan aku kerjakan di Bandung hingga ajakan temanku untuk mampir ke kampungnya di Cianjur jika sudah tinggal di Bandung nanti.

“Dekat kok dari jalan raya Bandung,” begitu kata temanku.

Tapi aku tidak nongkrong lama malam itu. Sekira setengah 11 malam aku sudah di rumah. Aku langsung beranjak ke kamar untuk tidur. Tetapi mata ini nyatanya belum ingin terlelap. Aku masih memikirkan keberangkatanku ke Bandung nanti. Sekarang malam Senin, dan Selasa paginya aku sudah harus pergi ke Bandung. Ah, entah sampai kapan nanti aku berada di sana. Dan semoga Allah melindungiku selalu. Aku pun terlelap.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #20: Baba Sakit
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #21: Tes Lagi di Nurtanio
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #22: Harapan Baba

Dibangunin Enyak

Entah sampai jam berapa aku tertidur, tetapi seingat aku, pukul 02.00 dini hari Enyak membangunkan aku. Ia meminta aku menemani Baba karena ia terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Maka aku beranjak ke kamar Baba setelah sebelumnya ke kamar mandi sekadar cuci muka. Aku lihat Baba sedang duduk bersila, dan kelihatan ia merasa tidak nyaman. Aku inisiatif memijatnya, mengusap bagian punggung dan dadanya, sesekali juga bahunya. Saat itu jujur saja aku tidak ada pikiran macam-macam.

Baba tampak masih tidak nyaman. Dari mulutnya hanya keluar kalimat-kalimat pujian pada Tuhan seperti Subhanallah, Alhamdulillah wa La Ilaha Illallah Allahu Akbar. Aku pun mengikuti zikir yang dikumandangkan Baba dengan suara pelan, sementara Enyak tampak diam dan sesekali ikut mengucapkan kalimat Thayyibah ini. Suasana malam di luar rumah terasa hening, hanya terdengar benturan gelas yang dibuat ibuku saat menuangkan air hangat dari termos untuk Baba. Di luar sesekali terdengar suara ayam berkokok.

Dan tak lama kemudian terdengar berkumandang azan Subuh namun Baba masih saja belum reda dari rasa sakitnya. Sekarang gantian Enyak yang mengusap-usap Baba sambil mengucapkan kalimat Thayyibah yang tiada henti. Sementara aku meninggalkan Baba sebentar untuk salat Subuh, bergantian dengan Enyak yang berangkat salat kemudian.

“Bawa tidur aja dulu, Ba, nanti kalau udah enakan baru salat,” kataku sambil membaringkan Baba.

Panggilin Pak Eko,” kata Baba.

Aku terus memeluknya dan merebahkannya secara perlahan sambil kukecup keningnya, dan Enyak meluruskan kaki Baba. Setelah itu aku pamit, untuk pergi ke rumahnya Pak Eko.

Pak Eko ini bukan orang asli kampungku. Aku juga tidak begitu hafal rumahnya. Tetapi ia mengontrak satu garasi rumah kami untuk mobilnya. Setahuku ia bekerja sebagai seorang chef. Kadang di hotel kadang di kapal pesiar. Pak Eko ini memang dekat dengan Baba. Ketika sampai di rumahnya, aku pun langsung mengetuk pintu rumahnya.

“Ada apa dek,” kata Pak Eko setelah pintu rumah dibuka oleh istrinya.

Aku terdiam. Hingga beberapa kali pak Eko bertanya, aku hanya bisa menjawab kalau ia diminta Baba untuk datang ke rumah. Tanpa menunggu waktu lama, Pak Eko langsung menuntunku dan bersama-sama menuju rumahku.

Sepanjang jalan ia tak berkata apa-apa. Jalannya cepat sekali. Tak lama sampai di rumahku, aku langsung mengajaknya masuk. Pak Eko pun langsung ke kamar Baba. Ia meraba tubuh Baba dan dengan suara pelan Pak Eko mengucapkan “Innalillahi wa Inna ilaihi rojiun.”

Pak Eko memelukku. Aku hanya bisa menangis.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//