• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #24: Baba Meninggal Dunia (2)

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #24: Baba Meninggal Dunia (2)

Aku tak menyangka umur Baba hanya bisa mengantarkan sampai ke pintu gerbang kerjaku ini. Aku akan memulai hidup yang mandiri.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Baba, H. Abdul Gofur (Berpeci Hitam, Berdiri) berfoto bersama keluarga di depan rumah. Penulis ada di paling kiri, berpose duduk mengenakan sarung dan peci hitam. (Foto: Dokumentasi Asmali)

25 Februari 2024


BandungBergerak.id – Hari itu duniaku seakan runtuh. Setelah Baba dinyatakan meninggal dunia, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya dan bagaimana mengurusnya. Aku hanya bisa menunduk dan menangis, tak sanggup berbuat apa-apa. Makin lama makin banyak orang yang berkunjung ke rumah untuk berbelasungkawa. Mereka datang menyalamiku, mengusap kepalaku.

“Sudah doakan saja Baba,” kata mereka.

Ah begitu cepatnya Baba meninggalkan aku. Rasanya masih terngiang-ngiang suara Baba di telingaku. Tapi semua yang hidup pasti berpulang. Tentu sedih kehilangan seorang yang jadi tumpuan hidupku. Rasanya semua harapan pupus sudah. Tetapi ini ketetapan dan keniscayaan Tuhan juga. Dalam lamunanku aku hanya berharap semua yang diucapkan Baba menjadi doa buatku.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #21: Tes Lagi di Nurtanio
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #22: Harapan Baba
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #23: Baba Meninggal Dunia (1)

Upacara Kematian

Jujur saja saat itu aku tak sanggup melihat jam. Karena aku masih mau berada di rumah, sementara di sisi lain aku harus ke Bandung karena sudah diterima kerja. Sayup-sayup aku dengar perbincangan dari para pelayat. Beberapa mengetahui aku akan pergi ke Bandung besok.

“Anak pak haji pinter bisa keterima kerja di Nurtanio,“ kata seorang pelayat.

“Iya kerja di pesawat,” begitu kata yang lain.

Siang itu semua tampak sibuk. Dalam tradisi di kampungku, upacara kematian seperti ini memang menjadi ajang masyarakat berkumpul dan banyak kegiatan yang dilakukan. Ada yang menakar beras untuk berkat, ada yang menyiapkan amplop, mengatur kursi dan menggelar tikar bagi pelayat. Ada juga tempat khusus untuk menyalatkan Baba. Tak lama kemudian, Ustaz Ardani, seorang pemuka agama di kampungku menghampiriku. Ia membawa segelas air putih yang telah didoakan oleh seorang Habib.

"Sayang sama Baba?" kata pak Ustaz.

"Iya, sayang," jawabku.

"Allah lebih sayang sama Baba. Mari kita doakan Baba," kata pak Ustaz. Kami pun memanjatkan doa-doa bersama seorang Habib yang berdiri di sampingku.

Hilir mudik pelayat terus berdatangan. Di tengah kesibukan ini tetangga kami, yang kami kenal sebagai tante Wita memintaku ke rumahnya untuk makan. Jangan sampai sakit, begitu dia berpesan. Mulanya aku menolak. Aku masih mau bersama Baba. Tapi kemudian aku ikut juga.

"Yang ke Nurtanio jangan dibatalin. Sayang masuk situ susah. Biar ibu (Enyak) di rumah ada tante. Nanti tante yang ngawasin. Kalau sudah di Bandung jangan banyak pikiran," begitu tante Wita berpesan.

Bimbang

Memang saat itu hatiku berkecamuk. Dalam hati kecilku, ingin aku batalkan pekerjaan di Bandung ini. Kasihan ibu, tempat sandaranku sudah kehilangan tongkatnya. Tapi aku pikir lagi, inikah semua jawaban dari keinginanku?

Dulu aku bercita-cita selesai sekolah untuk keluar dari rumah. Ya itu keinginanku. Berbeda dengan keinginan Baba. Ini sudah jalanku. Belum tentu juga aku akan ada di tahap ini kalau mengikuti sekolah yang Baba sarankan dulu. Kalau pun aku melanjutkan kuliah dan kenyataannya Baba meninggal seperti ini, mungkin arah hidupku akan berbeda lagi karena tentu situasi tidak lagi sama. Sekarang, rasanya arah hidupku sudah benar. Ketika Baba meninggal, aku akan memulai hidup yang mandiri, bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri.

Aku mengikuti apa kata hatiku, semoga Baba rida dengan keputusanku ini. Lagi pula aku mengambil jalan ini semata-mata karena aku sayang pada Baba, ayahku. Seakan akan Allah sudah memberikan jalan hidupku. Aku sendiri tak menyangka umur Baba hanya bisa mengantarkan aku hanya sampai ke pintu gerbang kerjaku ini. Semoga ayahku berbahagia di alamnya sana dan semua aktivitas selama hidupnya bernilai ibadah dengan pahala yang berlipat-lipat.

Aamiin.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//