Partisipasi dan Referensi Politik, dari Ketakutan hingga Status Sosial
Mayoritas pemilih mencemaskan ketidakpastian masa depan. Gagasan tentang kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi menjadi yang paling banyak diminati pemilih.
Sidik Permana
Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse
27 Februari 2024
BandungBergerak.id – Pemilihan umum (Pemilu) Indonesia yang telah diselenggarakan pada Rabu, 14 Februari 2024, meninggalkan jejak-jejak menarik yang akan menjadi catatan sejarah di masa yang akan datang. Mulai dari kampanye unik dan inovatif berbasis digital dan kecerdasan buatan, pertarungan besar antar prinsip perubahan atau melanjutkan visi pembangunan pemerintahan sebelumnya, pertarungan gimik dan semiotika sebagai promosi, anomali pemenangan di basis atau kandang para calon, rumah sakit meraup cuan dari calon anggota legislatif (caleg) yang stres, caleg yang menarik kembali uang (hadiah) yang telah diberikan, dan sebagainya. Bahkan, isu politik identitas tidak separah yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya, meskipun masih terdapat riak-riaknya. Di antara semua persoalan yang disebutkan, partisipan pemilih tahun ini menjadi fenomena menarik yang dapat dikaji.
Bagaimana tidak, pemilu tahun ini bisa dikatakan sebagai panggung demokrasi anak muda. Dilansir dari laman databoks.katadata.co.id (2023) dalam artikelnya yang berjudul “KPU: Pemilih Pemilu 2024 Didominasi oleh Kelompok Gen Z dan Milenial”, diketahui bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu 2024 mencapai 204.807.222 pemilih dengan persebaran usia pemilih didominasi oleh Generasi Milenial dan Gen X. Generasi Milenial, yaitu kelompok orang yang lahir pada rentang 1980-1994, menjadi generasi paling banyak pada pemilu kali ini total 66.822.389 atau sekitar 33,60%. Adapun Gen X (1965-1979) menyusul di urutan kedua dengan 57.486.482 atau 28,07% dari total pemilih. Lalu, disusul Gen Z (1995-2000-an) sebanyak 46.800.161 atau sekitar 22,85%. Sedangkan sisanya, Baby Boomer dan Pre-Boomer berturut-turut berjumlah 28,13 juta jiwa dan 3,57 juta jiwa. Menurut laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) (2023), kemungkinan pemilih di rentang usia 15-39 tahun berjumlah lebih dari 190 juta orang atau jika mengacu para proyeksi empat tahun sensus penduduk setidaknya ada 60% pemilih berusia 17-39 tahu. Artinya, pemilu akan didominasi oleh Milenial, Gen Z, dan Gen X. Atas dasar ini, ada beberapa hal yang menarik untuk dilihat pada pemilu kali ini, terutama asumsi atas landasan partisipan memilih.
Baca Juga: Hasil Pemilu 2024 Dibayang-bayangi Pelemahan Demokrasi
Kenaikan Harga Beras di Bandung Tahun Ini Paling Parah, Jor-joran Bansos Menjelang Pemilu 2024 Diduga Penyebabnya
Koalisi Masyarakat Sipil Mengungkap Bukti-bukti Pemilu 2024 tidak Demokratis
Orientasi Partisipasi Politik Masyarakat
Demokrasi dapat hidup ketika masyarakat dan pemerintah mampu menjalankan prinsip demokrasinya dengan baik, terutama soal partisipasi publik dalam proses berbangsa dan bernegara. Kendati begitu, partisipasi publik atau partisipasi politik masih kerap dipandang sebagai hak yang tentunya dapat dipenuhi ataupun tidak sekalipun oleh warga negaranya sendiri. Dalam hal ini, ada beberapa kategori partisipasi politik, di antaranya: 1) apatis, yaitu orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik; 2) spektator, yaitu orang yang pernah ikut memilih dalam pemilu; dan, 3) gladiator, yaitu orang yang aktif terlibat dalam proses politik, seperti komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, dan aktivitas masyarakat) (Milbrath & Goel, 1977).
Untuk real count, dikutip langsung dari laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) (2024), terhitung bahwa Kamis, 22 Februari 2024 pukul 07:00 WIB , progres perhitungan per Tempat Pemungutan Suara (TPS) sudah mencapai 74,39% dengan kalkulasi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendapatkan 24,09% (25.965.570) suara, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sebanyak 58,88% (64.453.294) suara, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebesar 17,03% (18.348.883) suara. Kendati sudah mencium aroma kemenangan salah satu paslon, setidaknya promosi elektoral sangat efektif dan layak dianalisis.
Berangkat dari fenomena tersebut, ada beberapa kemungkinan yang memungkinkan seseorang turut serta berpartisipasi pada pemilu kali ini. Tinggi rendahnya faktor partisipasi dapat dipengaruhi oleh seperti status sosial, dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman organisasi (Surbakti, 2010). Adapun menurut Anggara (2013), ada lima faktor yang mendorong seseorang berpartisipasi dalam pemilu, yaitu modernisasi, perubahan-perubahan struktur kelas sosial, pengaruh kaum intelektual dan komunikasi masa modern, konflik antar kelompok pemimpin politik, dan keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Dari berbagai kemungkinan yang ada, manakah yang berpotensi besar memengaruhi para pemilih, terutama undecided voters (pemilih bimbang).
Masa Depan Berisiko
Tema perubahan yang diusung paslon 01 menjadi salah satu tolak ukur yang patut dipertimbangkan bila merujuk pada tanggapan akan potensi masa depan yang tidak terduga. Bila berbicara perubahan, maka tentunya perspektif ini akan tertuju pada sesuatu yang baru atau secara sempit “tidak sama seperti yang lama”. Alih-alih berbicara sesuatu yang tidak pasti, kenapa tidak yang cukup realistis. Pemikiran ini pun bisa berkembang menjadi kekhawatiran dan ketakutan tersendiri terhadap fase realitas yang setidaknya lebih menguntungkan saat ini daripada berjudi untuk masa depan yang tidak pasti. Kecemasan realistik merupakan rasa takut akan adanya bahaya-bahaya nyata yang berasal dari dunia luar (Feist, Feist, & Roberts, 2018). Bahkan, Jeffrey S. Nevid, dkk., (2005), menilai bahwa perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan adalah ciri-ciri kognitif dari kecemasan. Maka, bisa jadi adanya ketakutan untuk memilih paslon dengan ide perubahan yang memberikan ketidakpastian. Walaupun begitu, hal ini dapat dibantah, karena bagaimanapun, politik begitu dinamis, sehingga apa yang terjadi di masa depan sepenuhnya tidak terduga tanpa memandang paslon mana pun.
Pendidikan dan Kualitas Pemilih
Berbicara pemilih, tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikannya. Hal ini ditegaskan oleh Samuel J. dan Eldersvelt yang menyebutkan jika masyarakat yang pendidikannya rendah memiliki motivasi yang rendah pula dalam memilih (Samuel & Eldersvelt, 1982). Dalam laporan CSIS (2023), diketahui bahwa sebagian besar pemilih muda di Indonesia menamatkan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat (56,3%), diikuti Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Sekolah Menengah Pertama /sederajat (19,1%), dan tamat Sekolah Dasar/sederajat sebesar 10,6%. Adapun untuk tamat akademi/diploma hanya sebesar 2,7% dan tamat Sarjana atau lebih tinggi sebesar 8,6%. Maka, bisa dikatakan bahwa pemilih Indonesia masih didominasi oleh kelompok masyarakat dengan level pendidikan di SLTA (tertinggi), SLTP, dan SD.
Lembaga survei Indikator Politik Indonesia, sebagaimana dilansir dari laman resmi Antara (2024), menyebutkan bahwa mayoritas pemilih, yang diambil secara exit poll di 3000 tempat pemungutan suara (TPS) secara acak, untuk pasangan Anies-Muhaimin berasal dari kelompok pendidikan tinggi dengan persentase 34%, diikuti 25% SLTA, 21% SLTP, dan SD 20%. Sementara itu, pemilih paslon Prabowo-Gibran mayoritas didominasi oleh kelompok pendidikan SLTP 61%, SD 56%, SLTA 55%, dan perguruan tinggi 51%. Terakhir, Ganjar-Mahfud didominasi oleh para pemilih dengan latar pendidikan SD sebesar 21%, SLTP dan SLTA masing-masing 15% dan perguruan tinggi 10%. Fakta ini cukup memberikan kesan bahwa para pemilih berasal dari kelompok pendidikan yang tidak menyentuh level pendidikan tinggi. Pada saat yang sama, kita mengetahui bahwa pendidikan dapat membuka peluang dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), salah satunya pengembangan ilmu pengetahuan dan metodologi berpikir. Melihat fakta ini, muncullah kesan bahwa orientasi para pemilih memilih, siapa pun dan kepada paslon mana pun, kurang memadai dalam mempertimbangkan pilihannya secara kritis, akademis dan komprehensif. Ada keraguan terhadap pemilih untuk menggali dan lebih peka terhadap berbagai informasi. Barangkali, tidak semua, namun asumsi ini jelas berlatar pendidikan dan kemampuan SDM dalam mempertimbangkan suatu persoalan.
Bagaimana para pemilih menjadi fan dari semiotik-semiotik dan branding kosong pemoles pun menjadi sebuah tanda tanya besar. Barangkali, orang dengan pendidikan cukup mumpuni, akan mampu menghindari ilusi semacam ini. Kita tahu bahwa setiap simbol memiliki makna yang tampak dan tersembunyi, begitu pun gimik dan gerak-gerik juga simbolisme yang kerap digunakan sebagai instrumen kampanye ala-ala modern, seperti penggunaan Generate Image berbasis Artificial Intelligence atau media sosial. Mungkin, pendidikan tinggi tidak menjamin pemilih untuk melihat fenomena secara kritis.
Pengaruh Status Sosial-Ekonomi
Bisa dikatakan, status sosial ekonomi masyarakat adalah variabel kunci bagi dalam pemilihan. Suatu ketika, Rocky Gerung dalam suatu acara bincang politik di televisi nasional bernama Panggung Demokrasi, pernah mengungkapkan bahwa pemilih didominasi oleh orang berpendidikan rendah, dan pada saat yang sama beras atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) itu lebih berguna dari debat panggung demokrasi. Ucapan ini dirasa masih relevan karena noda dalam pesta demokrasi Indonesia ini masih tetap hidup di masyarakat. Baik secara sistematis-struktural melalui mekanisme yang tampak legal seperti Bantuan Sosial (Bansos), maupun sporadis teratur dari pasukan “serangan fajar” anggota atau simpatisan parpol, menunjukkan bahwa politik uang masih menjadi primadona mendongkrak suara.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, dalam lama resminya Perludem (2024) menyebutkan: “Bagi-bagi sembako gunakan fasilitas negara seperti aneka macam bansos bersumber dari APBN itu kategori politik uang di masa pemilu.” Hal yang mencengangkan adalah berdasarkan hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2019, ditemukan sebanyak 47,4% masyarakat membenarkan masih adanya praktik politik uang dalam Pemilu 2019, dan 46,7% masyarakat menganggap hal ini wajar.
Ungkapan, “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya!” tampak sudah tepat. Padahal, sejak awal ini tidak bernilai etis dan oportunis juga menipu diri. Pereduksian ini jelas sangat tidak beretika dan menghilangkan esensi etis itu sendiri. Konsistensi etika hanya mempersilahkan dua pilihan, tidak sama sekali memberi ruang korupsi dan politik uang atau korupsi dan membuka peluang politik uang. Pada saat yang sama, menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2023), persentase penduduk miskin Maret 2023 sebesar 9,36%, menurun 0,21% terhadap September 2022. Atau, penduduk miskin pada Maret 2023 mencapai 25,90 juta orang. Secara demografis berdasarkan pembagian desa dan kota, persentase penduduk miskin di kota pada Maret 2023 sebesar 7,29% dan perdesaan mencapai 12,22%. Dengan komposisi penduduk berpenghasilan lima ratus ribu per bulan secara rata-rata, tidak heran bila politik uang begitu permisif dan subur di masyarakat.
Kita bahkan baru membicarakan kelompok penduduk miskin. Bagaimana penduduk menengah yang terjebak untuk tidak miskin tapi juga tidak kaya. Kesempatan kecil dan peluang untuk mendapatkan keringanan hidup dengan sedikit “hadiah” dan “berkah” politik uang justru mengancam demokrasi nasional. Terlebih, menurut data dari Bank Dunia (2020) dalam laporannya bertajuk “Aspiring Indonesia – Expanding the Middle Class”, menyebutkan bahwa hampir separuh masyarakat Indonesia menuju kelas menengah dengan jumlah 114,7 juta orang. Potensi ini membuat paslon dengan ide gagasan “kesejahteraan” dan “pertumbuhan ekonomi” akan menjadi paslon yang paling banyak diminati, dan itu sudah terbukti. Dengan demikian, status sosial ekonomi seseorang dapat berpengaruh besar pada keputusan memilih paslon tertentu, yang mana kecenderungannya dilihat dari mana yang cukup berpotensi menguntungkan.
Simpulan
Terlepas dari generasi mana pun masyarakat Indonesia terlahir, pada akhirnya kita menemukan akar dari orientasi para pemilih, salah satunya dari ketakutan (fear) dan kecemasan (anxiety) akan masa depan yang tidak bisa dipastikan. Lalu, kualitas dan kuantitas pendidikan, yang turut menyertai terjebaknya masyarakat dalam lingkup status sosial yang tidak beruntung. Sehingga, jalan satu-satunya untuk dapat membangun kualitas pemilih bangsa di masa depan adalah tentunya mengentaskan kemiskinan dan keterasingan masyarakat, membangun kolaborasi sosial antara negara dan masyarakat, membangun kualitas SDM melalui pendidikan, dan menciptakan rasa aman pada warga negara akan masa depan yang lebih baik terlepas siapa pun yang akan memimpin.