• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #39: Lampiran Aoseun Moerangkalih dan Kaboedajan

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #39: Lampiran Aoseun Moerangkalih dan Kaboedajan

Sipatahoenan sempat melengkapi terbitannya dengan dua lampiran baru. Yakni bacaan anak-anak "Aoseun Moerangkalih" dan lembar kebudayaan "Kaboedajan".

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Edisi pertama lampiran Aosan Moerangkalih dalam Sipatahoenan edisi 3 Januari 1935. (Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI)

28 Februari 2024


BandungBergerak.id – Setelah menghentikan surat kabar Bidjaksana, Paguyuban Pasundan memenuhi janjinya untuk mengganti surat kabar tersebut dengan menambah dua lampiran pada Sipatahoenan. Kedua lampiran itu berkaitan dengan lembar anak-anak yang disebut “Aoseun Moerangkalih” (bacaan anak-anak) dan lembar untuk kebudayaan yang disebut “Kaboedajan”.

Lampiran “Aoseun Moerangkalih” mulai diterbitkan pada hari Kamis, 3 Januari 1935/27 Poeasa 1353. Dalam keterangannya tertulis “Ngawoengkoel Aoseun Moerangkalih Dikaloearkeun Saban Dinten Kemis” (Khusus bacaan anak-anak, diterbitkan setiap hari Kamis). Semuanya berjumlah empat halaman.

Alasan dan latar belakang penerbitan lampiran itu terungkap dari tulisan “Pihatoer ka para sepoeh” (Sepatah kata bagi para orang tua) yang ditulis redaksi Sipatahoenan. Pada paragraf pertama dinyatakan hari ini Sipatahoenan memenuhi janjinya untuk menerbitkan lembaran khusus anak-anak, sebagaimana diumumkan bulan Desember 1934 (“Djangdji pasini ngadjadi, pasang soebaja lakasana, ngawitan dinten ieu pisan aoseun moerangkalih, noe dina sasih kapoengkoer parantos diwawarkeun tea”).

Adapun maksudnya, konon, hanya pendukung pengajaran di sekolah dan belajar di rumah, bukan untuk menyaingi tugas para guru di sekolah, sekaligus menyediakan bacaan agar anak-anak tidak membaca bacaan orang dewasa (“Ngaloearkeun ieu Sipatahoenan alit teh sanes pisan bade ngalalangkoengan ka para Djoeragan goeroe noe kapapantjenan ngatik moerangkalih, sanes bade njanjahoanan ka para sepoeh noe dina dina sadidintenna ngaraksa para poetrana, moeng ieu sakadar pangdeudeul bae, selang-selang tina pangadjaran di sakola sareng di boemi, moerangkalih teh tamba tetelepek kana aosan sepoeh langkoeng sae disajagikeun koran noe ngawoengkoel keur moerangkalih bae”).

Target pembaca lampiran itu adalah anak-anak yang sudah membaca, yaitu anak-anak kelas III Sekolah Desa, Sekolah Vervolg atau HIS hingga anak-anak kelas VII di HIS (“Doepi wangwangan mah, ieu Sipatahoenan alit teh keur moerangkalih noe parantos tiasa matja, oepamina bae noe parantos di klas III Sakola Desa, Sakola Vervolg atanapi HIS doegi ka noe parantos di klas VII di HIS”).

Pada edisi pertamanya, “Aoseun Moerangkalih” memuat tulisan “Roepa-roepa kanjaho” (berbagai pengetahuan) oleh DITA terkait cara merebus telur dengan air mentah (“Ngoeloeb endog koe tjai atah”), “Karbit”, membuat balon (“Njieun balon”), dan tinta yang tidak terlihat (“Mangsi noe teu katara”); artikel pentingnya membaca (“Loeang tina Daloeang”); Dongeng “Si Saldeuh djadi radja” oleh EPEP; artikel “Djaoeh di Mata Dekat di Hati” yang membahas pengenalan rubrik “Aoseun Moerangkalih” kepada anak-anak yang akan membacanya; tulisan humor “Basa Walanda atawa basa naon?” (bahasa Belanda atau bahasa apa?); dan cerita pendek “Malarat pakololot”.

Edisi kedua “Aoeseun Moerangkalih” terbit pada 10 Januari 1935/4 Sjawal 1353. Di dalamnya diisi dengan berbagai tulisan untuk bacaan anak-anak, yaitu “Njieun Soerat” (membuat surat); berbagai pengetahuan terkait “Obat Bedil” (mesiu), “Lampoe Listrik”, dan “Setoem (paranti ngagiling Djalan)”; Dongeng “Moendjoeng ka Indoeng Moedja ka bapa” (menghormati orang tua); dan berbagai pengetahuan umum dunia (“Tjatetan”).

Edisi ketiganya muncul pada 17 Januari 1934/11 Sjawal 1353. Edisi kali ini pun diisi pengetahuan umum tentang bumi bulat (“Doenja boeleud”); bahasan ungkapan “Oelah dioek dina bangbaroeng” oleh Mang Eman; dongeng “Si Tjepot Djadi Radja” oleh EPEP; rubrik humor “Tamba Manjoen”; sajak berikat Dangdanggula berjudul “Kamelang Iboe ka Eulis” (kekhawatiran ibu kepada putrinya) oleh Soekmara Komariah; dan ilmu pengetahuan (“Elmoe Panemoe”) mengenai pepohonan (“Kaajaan Tatangkalan”).

Seiring waktu, titimangsa terbit “Aoseun Moerangkalih” diubah dari Kamis ke Sabtu. Hal ini diumumkan Direksi Sipatahoenan pada edisi 15 Maret 1935, dengan pengumuman bertajuk “Moerangkalih djeung Kaboedajan”. Di situ disebutkan hingga saat itu lembar ketiga Sipatahoenan yaitu “Aoseun Moerangkalih” dan “Kaboedajan” diterbitkan setiap Kamis dan Selasa. Minggu depan penerbitannya akan diubah (“Ngamimitian minggoe hareup djeung sateroesna dirobah ngaloearkeunana teh”). “Aoseun Moerangkalih” menjadi hari Sabtu dan “Kaboedajan” hari Rabu. Setelah jadwal diubah, Aoseun Moerangkalih” edisi Sabtu mulai diterbitkan pada 23 Maret 1935, dengan jumlah halaman sama, empat halaman.

Sayang sekali penerbitan “Aoseun Moerangkalih” dihentikan sejak 1 September 1935. Hal ini menyusul keputusan Direksi Sipatahoenan untuk menurunkan jumlah lembar terbitnya. Setiap Rabu menjadi 1,5 lembar dan Sabtu menjadi 2 lembar, sehingga harga jual Sipatahoenan menjadi turun dan tidak memberatkan pelanggannya (“Taja lian ieu teh njoemponan kaboetoeh oemoemna lezers Sipatahoenan noe ngarasa beurat teuing koe harga asal”). Dalam pengumuman direksi yang disiarkan pada edisi 30 Agustus 1935 dan bertajuk “Bewara” itu dikatakan untuk sementara “Aosan Moerangkalih” dihentikan, meskipun isinya bakal terus dimuat pada lembar lainnya (“Saheulanan Aosan Moerangkalih dieureunan, tapi ari eusina mah bakal teroes dimoeat dina lambaran sedjen”).

Meski demikian, dalam sejarah penerbitannya, Sipatahoenan pernah menerbitkan kembali lampiran “Aosan Moerangkalih” pada tahun 1940. Saya antara lain menemukannya pada edisi Jum’at, 30 Agustus 1940/26 Radjab 1359. Edisi tersebut terdiri atas dua halaman dan memuat tulisan-tulisan lepas lelucon seperti “Panjawat Sadidintenna”, “Pojokan”, “Proffesor R”, dan “Ngosok Hoentoe”; sajak berikat Kinanti “Ditilar Poepoes koe Iboe” dan Dangdanggula; artikel pengetahuan tentang penanggalan Jawa (“Mangsa”), ukuran, salju, hujan; pengetahuan tentang dialek dan bahasa asing (“Basa Wewengkon sareng basa kosta”), dan lain-lain.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #36: Pojok Panganggoeran
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #37: Tahun Kesepuluh
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #38: Bidjaksana sebagai Bumper

Majalah Kaboedajaan Oerang edisi No. 1, Januari 1937, Tahun Kedua. (Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI)
Majalah Kaboedajaan Oerang edisi No. 1, Januari 1937, Tahun Kedua. (Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI)

Lembar Kebudayaan Sunda

Mengenai lampiran “Kaboedajan”, Sipatahoenan sudah mengumumkannya sejak edisi 5 Januari 1935, dengan judul “Sipatahoenan Kaboedajan Nummer”. Pada pengumuman itu, Sipatahoenan telah mengeluarkan lampiran Aoseun Moerangkalih setiap Kamis, sementara setiap Selasa akan dikeluarkan lampiran “Kaboedajan”. Namun, dalam praktiknya, karena hari Selasa mendatang libur lebaran, lampiran “Kaboedajan” baru akan diterbitkan pada Selasa, 15 Januari 1935 (“Moeng koe margi dina dinten Salasa ieu noe tjaket mah, kaleresan pere Lebaran tea, djadi Sipatahoenan Kaboedajan nummer teh, baris ngawitan dikaloearkeunana dina dinten Salasa ping 15 sasih ieu keneh”).

Edisi pertama “Kaboedajan” dimuat pada Selasa, 15 Januari 1935/9 Sjawal 1353. Redaktur untuk lampiran khusus tentang kebudayaan tersebut adalah Raden Poeradiredja. Hal ini nampak dari pengantar yang ditulis oleh Poeradiredja pada edisi perdana “Kaboedajan”, dengan tajuk “Pihatoer”. Pada awal tulisannya ia menyatakan latar belakang mengenai pentingnya orang Sunda memiliki hati yang teguh, budinya luhur, sehingga perlu pula untuk mengolah batinnnya (“Kawadjiban sadaja oerang Soenda noe harojong njantosaan ki Soenda, kedah keresa ngolah kabatinanana”).

Itu sebabnya, Poeradiredja menilai sangat pentingnya orang Sunda memiliki surat kabar khusus mengenai kebudayaan Sunda dan ia sangat berterima kasih kepada direktur dan pemimpin redaksi Sipatahoenan yang menyediakan lampiran khusus mengenai kebudayaan. Lampiran tersebut diterbitkan setiap hari Selasa dan edisi pertamanya hari ini (“Eta lampiran dikaloearkeun oenggal dinten Salasa. Ieu nomer 1-na kasanggakeun, keur aoseun noe raresep maos bab ieu”).

Adapun redaktur sementaranya adalah Poeradiredja sendiri didukung oleh D.K. Ardiwinata, Soeriadiradja, Lie Kham Tho, Wangsaatmadja, S. Andasasmita (“Doepi anoe kapapantjenan ngoeroes dina samemeh aja anoe merenah toer kersaeun deuih, nja sim koering. Dirodjong koe para djoeragan: D.K. Ardiwinata, Soeriadiradja, Lie Kham Tho, Wangsaatmadja, S. Andasasmita”). Ia berharap agar pembaca yang lain turut mengisi lampiran tersebut.

Pada edisi perdana “Kaboedajan” dimuat tulisan “Pajakinan” karya Lie Kham Tho, “Hatoeran Djrg. S. Andasasmita ti Mamang (Galih Pakoean)”, “Sieun (Waleran ka Djoeragan E. Ardimihardja)”, “Sadjarah Palasipah (I)” oleh Poeradiredja. Dengan disebut-sebutnya “kabatinan” (kebatinan) oleh Poeradiredja dalam pengantarnya dan tulisan-tulisan yang dimuat pada edisi perdana “Kaboedajan”, termasuk disebutkannya Galih Pakoean (yang merupakan perhimpunan teosofi di Bandung) dan tulisan sejarah filsafat oleh Poeradiredja, bisa disebutkan bahwa rubrik “Kaboedajan” lebih dekat ke hal-hal falsafi, kebatinan, bahkan teosofi, ketimbang ke arah kebudayaan dalam pengertian antropologi dan sosiologi.

Hal ini juga diperkuat penjaga rubrik “Panganggoeran” Entjep pada edisi 15 Januari 1935, dengan tajuk “Kaboedajan”. Entjep mengatakan “Eta tah Kaboedajan. Lain keur noe parikoen woengkoel. Lain, lain” (Itulah Kaboedajan. Bukan hanya untuk orang yang sudah pikun. Bukan, bukan), “Tapi keur ngelelempeng djalanna rasa batiniah, oelah sina ngaprak, aprak-aprakan” (Tapi untuk meluruskan jalannya rasa batiniah, jangan sampai berkeliaran).

Sebagai catatan, lampiran “Kaboedajan” merupakan perluasan dari rubrik “Kaboedajan” yang sudah ada sebelumnya dalam Sipatahoenan. Itu sebabnya tulisan “Hatoeran Djrg. S. Andasasmita ti Mamang (Galih Pakoean)” berisi tanggapan dari Mamang yang notabene aktif di Perhimpunan Galih Pakoean kepada S. Andasasmita. Demikian pula dengan “Sieun” yang merupakan tanggapan atas tulisan E. Ardimihardja yang dimuat dalam Sipatahoenan edisi 14 Desember 1934 (“Dina Sip. ping 14 December, Lambaran ka II, aja pamoendoet djoeragan E. Ardimihardja, nonoman Soenda noe nalaktak resep ngotektak moekaan paririmbon kolot”).

Edisi kedua “Kaboedajan” dimuat dalam Sipatahoenan edisi 22 Januari 1935. Di dalamnya ada tulisan-tulisan yang sebagian besar melanjutkan hidangan edisi 15 Januari 1935, yaitu “Sieun: Waleran ka Djoeragan E. Ardimihardja (Samboengan Sip. 15 Jan. ’35)”; “Erongan noe ngora” oleh S. Andasasmita; “Sadjarah Palasipah (II) (Samboengan Sip. 15 Jan. 1935)” oleh Poeradiredja. Untuk edisi ketiganya dimuat pada 29 Januari 1935 dengan memuat tulisan “Ngiring Bingah” oleh Bapa Kolot Sorangan; “Kasoendan(Rintakan Katiloe)” oleh S. Andasasmita; “Sadjarah Palasipah (III) (Samboengan Sip. 22 Jan. 1935)” oleh Poeradiredja; dan “Komara sareng Wisit” oleh Ragawa.

Dalam perkembangannya, sebagaimana diumumkan Direksi Sipatahoenan pada edisi 15 Maret 1935, “Kaboedajan” diubah hari terbitnua menjadi hari Rabu. Bahkan, tidak seperti lampiran “Aoeseun Moerangkalih” yang dihentikan penerbitannya pada 1 September 1935, “Kaboedajan” bertahan hingga edisi 18 Desember 1935. Besar kemungkinan, para peminat lampiran tersebut lebih besar ketimbang peminat lampiran “Aoseun Moerangkalih”, sehingga terus dipertahankan.

Bahkan, sebagaimana yang dapat saya lacak, lampiran “Kaboedajan” pada akhirnya ditingkatkan menjadi surat kabar tersendiri dengan nama Kaboedajan Oerang. Pada koleksi Perpustakaan Nasional RI, saya mendapati surat kabar tersebut dari edisi tahun kedua, 1937, hingga tahun 1941.

Dari edisi No. 1, Januari 1937, Taoen Kadoea, saya tahu Kaboedajan Oerang dikelola oleh Commisie Redactie yang beralamat di Groote Postweg 166, Bandung, dan dicetak oleh Typ Drukkerij Boehron, yang juga beralamt di Groote Postweg 166. Surat kabar ini diterbitkan sebulan dua kali setiap tanggal 5 dan 20 (“Kaloear saboelan doea kali, Tanggal 5 sareng 20 sasih Walanda”), disertasi keterangan isi dwimingguan ini khusus membahas kebudayaan (“Eusina soeal kaboedajaan”).

Selain itu, dari pengantar untuk No. 1, Januari 1937, itu saya tahu edisi pertama Kaboedajan Oerang yang disingkat KO itu mulai diterbitkan pada 1 Juli 1936 dan Januari 1937 disebutkan menginjak tahun kedua (“Hibar sih pangdeudeul sadajana, ieu Kaboedajan Oerang loemakoena tinekanan bisa mantjat kana taoen ka II. Sanaos oemoerna tatjan tjampleng sataoen kadoeana djalan oge, ari moenggoeh dina doenja persoeratkabaran mah, KO teh kaetangna nintjak doea taoen bae, da kapoengkoer basa digelarkeunana dina 1 Juli 1936”).

Sebagai tambahan, dari pengantar itu, saya mendapatkan gambaran kaitan antara Kaboedajan Oerang dengan Sipatahoenan. Di situ dikatakan KO No. 1 tahun kedua disatukan dengan lampiran kebudayaan pada Sipatahoenan (“Eta marga-margana anoe mawi ti ngawitan KO No. 1 taoen ka II ieu, dihidjikeun sareng lampiranana Kaboedajan Sipatahoenan”). Pada praktiknya, penyatuan tersebut tidak mengubah identitas keduanya dan yang paling penting adalah fakta bahwa lampiran Kaboedajan dalam Sipatahoenan yang sekadar menempel pada Sipatahoenan, sudah bisa mandiri (“Lampiran Kaboedajan Sipatahoenan anoe kawitna moeng sakadar nempel miloe hiroep kana dagblad Sip ajeuna djadi matjakal”).

* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//