Kelelahan Menjadi Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia, Bagaimana Potret Bandung yang Penuh Jutaan Kendaraan?
Sebanyak 75-81 persen dari orang yang meninggal akibat kecelakaan adalah pengendara sepeda motor. Kendaraan bermotor di Kota Bandung mencapai 1.558.759 unit.
Penulis Iman Herdiana29 Februari 2024
BandungBergerak.id - Jumlah kendaraan bermotor terus diproduksi. Dampaknya, kendaraan pribadi baik roda empat maupun dua (sepeda motor dan mobil) membludak di jalan-jalan. Tak terkecuali di Kota Bandung yang jumlah kendaraan bermotornya mencapai lebih dari sejuta unit. Fenomena serupa terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.
Dampak ikutan dari meningkatnya jumlah kendaraan bermotor adalah kecelakaan lalu lintas. Bagaimanapun, kecelakaan lalu lintas pasti ada penyebabnya. Soal penyebab ini dibahas Hardianto Iridiastadi dalam orasi ilmiah yang digelar Forum Guru Besar ITB dengan tema “Keselamatan Transportasi Jalan: Kajian Aspek Kelelahan dan Perilaku”, di Aula Barat, Sabtu, 17 Februari 2024 lalu.
Guru Besar dari Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut mengatakan, kecelakaan yang terjadi di lalu lintas darat umumnya disebabkan karena dua faktor utama, yakni kelelahan dan perilaku. Kecelakaan paling banyak terjadi pada pengendara sepeda motor.
Menurutnya, 84,5 persen dari semua kendaraan bermotor adalah sepeda motor, dan 75-81 persen dari orang yang meninggal akibat kecelakaan adalah pengendara sepeda motor.
Hardianto telah melakukan riset bahwa faktor kelelahan menjadi salah satu penyebab kecelakaan. Di Indonesia, begitu banyak pengendara ojek daring dan sopir kendaraan seperti truk meninggal di tempat kerja dan sebagian besar penyebabnya adalah faktor kelelahan yang terakumulasi.
“Kelelahan dan kantuk sendiri adalah faktor dominan yang menyebabkan kecelakaan meski definisi operasionalnya belum disetujui secara bulat,” demikian dikutip dari laman ITB, diakses Kamis, 29 Februari 2024.
Aspek yang memicu kelelahan terdiri atas waktu bekerja, waktu istirahat, dan pekerjaan yang dilakukan. Kelelahan dapat disebabkan karena pekerjaan yang monoton, durasi tidur, dan shift kerja.
Hardianto menjelaskan, di Indonesia belum banyak dilakukan penelitian yang mengkaji aspek perilaku yang menyebabkan kecelakaan khususnya di jalan raya, baik karena ada error (tidak disengaja) maupun karena violation. Dengan demikian isu yang harus dipahami adalah perilaku itu seperti apa khususnya di jalan raya.
“Seseorang akan berperilaku karena didorong motivasi. Tetapi begitu dia turun ke jalan raya, motivasinya jadi bukan motivasi pribadi, tetapi di dorong oleh kawan-kawannya,” ujar Hardianto.
Namun, Hardianto menyatakan, kajian tidak cukup untuk memahami perilaku seperti apa yang terjadi di jalan raya, khususnya konteks Indonesia. Di luar negeri, penelitian yang banyak dilakukan seolah menyederhanakan perilaku yang terjadi di jalan raya, dan itu tidak dapat diterapkan di Indonesia karena sifatnya yang unik dan kompleks serta memiliki spektrum yang luas.
Dengan demikian, untuk melakukan mitigasi pengurangan kecelakan, pendekatan yang dilakukan harus terintegrasi, sistematik, dan dapat diterima oleh khalayak umum.
Baca Juga: Transformasi Digital dalam Pengendalian Manajemen Lalu Lintas
Ombudsman Jabar: Rambu Lalu Lintas di Jalan Alternatif Wado–Malangbong Minim
Rekayasa Lalu Lintas ke Masjid Al Jabbar Dinilai tidak Efektif, Transportasi Publik dan Pelebaran Jalan Solusinya
Selain Kelelahan, Jumlah Kendaraan Kota Bandung juga Menyumbang Pencemaran Lingkungan
Studi yang dilakukan Dina Indri Restiana dan Didin Agustian Permadi menunjukkan masalah lain dari tingginya jumlah kendaraan di Kota Bandung adalah pencemaran lingkungan. Kedua peneliti ini memaparkan, pada tahun 2021 saja Kota Bandung dihuni 2.452.943 jiwa penduduk. Perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan sarana publik salah satunya sarana transportasi.
“Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Bandung, jumlah kendaraan di Kota Bandung meningkat setiap tahunnya dimana tahun 2021 sebanyak 1.558.759 unit dengan rincian yaitu sepeda motor 71 persen; mobil penumpang 24 persen; truk 4,26 persen; bus 0,36 persen; angkot 0,35 persen; dan taksi 0,03 persen,” papar Dina Indri Restiana dan Didin Agustian Permadi, diakses dari jurnal Serambi Engineering Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung.
Dalam jurnal berjudul “Estimasi Penurunan Emisi Pencemar Udara Pengaruh dari Pengoperasian Bus Rapid Transit di Kota Bandung” tersebut, Dina Indri Restiana dan Didin Agustian Permadi memaparkan lautan kendaraan di Kota Bandung meningkatkan pencemaran udara berupa emisi, gas penyebab pemanasan global.
Keduanya menjelaskan, emisi dari kendaraan bermotor mengandung pencemar nitrogen, uap air, karbon dioksida, dan senyawa lainnya seperti karbon monoksida (CO), senyawa hindrokarbon, oksida nitrogen (NOx), sulfur (SOx), partikulat matter (PM 2,5 dan PM 10), dan termasuk timbal (PB).
Dampak emisi kendaraan bermotor terhadap kesehatan yaitu dapat memicu gangguan pernapasan (asma, ISPA, dan kanker paruparu), mengakibatkan pengaruh racun sistemik yang merupakan efek dari hidrokarbon monoksida juga timbal, berkurangnya kadar oksigen di dalam tubuh dan menyebabkan bayi lahir prematur efek dari karbon monoksida. Sementara dampak terhadap lingkungan yaitu pemanasan global dan perubahan iklim.
*Kawan-kawan bisa mengakses berita mengenai Lalu Lintas Kota Bandung dalam tautan berikut ini