• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #25: Mempersiapkan Diri ke Bandung

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #25: Mempersiapkan Diri ke Bandung

Baba meninggal pada hari Senin, 8 Juni 1981. Sehari sebelum aku pergi ke Bandung untuk melanjutkan proses lamaran di Nurtanio.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Makam Baba. (Foto: Asmali)

3 Maret 2024


BandungBergerak.id – Selayaknya di kampung, proses pemakaman Baba menjadi satu momen warga berkumpul. Tidak hanya di hari itu saja tetapi juga hari-hari berikutnya karena ada tradisi Tahlilan di mana masyarakat datang ke rumah untuk mendoakan selama tujuh hari kematian.

Hari itu Baba dimakamkan di pemakaman keluarga yang letaknya di depan Masjid Al-Hikmah Perdatam sebelum Zuhur. Sebelumnya proses memandikan, mengafani dan menyalatkan berjalan lancar. Proses salat jenazah dilaksanakan di rumah dan dipimpin oleh seorang Habib. Aku ikuti semua proses ini sampai ke pemakaman. Sebelum ayahku diturunkan ke liang lahat, Ustaz Abdul Karim, seorang pemuka agama di kampung kami yang juga masih sepupu Baba, mengambil sekepal tanah sambil membaca surat dalam Alquran, Al-Qadr, sebanyak tiga kali, sebelum kepalan tanah itu ditabur. Aku pun menurutinya.

Pada malam harinya ritual tahlilan pun dijalankan. Dimulai sehabis Isya, tetangga berdatangan membacakan ayat-ayat Alquran yang ditujukan untuk mendoakan Baba. Begitu terus hingga tujuh hari kemudian.

Baba meninggal pada hari Senin, 8 Juni 1981. Sehari sebelum aku pergi ke Bandung. Hal yang membuat pikiranku berbolak-balik: Apakah besok aku pergi ke Bandung atau ditunda dulu?

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #22: Harapan Baba
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #23: Baba Meninggal Dunia (1)
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #24: Baba Meninggal Dunia (2)

Memutuskan Berangkat

Banyak yang bertanya memang tentang kepergianku ini. Kakak iparku misalnya. “Gimana besok, jadi berangkat ke Bandung?” tanya dia.

Aku hanya menjawab dengan tetesan air mata. Aku masih bingung harus apa. Sedangkan tanggal 10-nya aku sudah harus menghadap atasan. Di tengah kebingunganku, kakakku menyarankan aku untuk melanjutkan proses lamaranku di Nurtanio,

“Dicoba dulu, nanti kalau enggak betah balik lagi. Sayang sudah diterima,” kata dia.

Di saat keduanya saling diam, terlintas di pikiranku, dalam hati kecilku berkata, kalau panggilan manusia saja sulit untuk menundanya, seperti aku yang akan pergi untuk bekerja ini, apalagi panggilan Allah pada Baba-ku. Tidak bisa ditunda atau dimajukan. Semua ada waktunya.

“Sebagai batu loncatan aja dulu di sana , sambil cari-cari lagi di sini. Nanti sekali-kali abang juga ke sana,” begitu kata kakak iparku melanjutkan nasihatnya.

Sambil mendengarkan orang yang sedang mengaji Quran tiada lagi suara yang terdengar di kesunyian malam itu. Akhirnya malam itu aku putuskan kalau besok akan berangkat.

Pada malam itu juga aku menyiapkan beberapa pakaian untuk beberapa hari. Yang rencananya semula aku akan diantar oleh keluarga, tetapi apa boleh buat, rencana tinggallah rencana. Semua ini aku jalani dengan tabah dan semua ini sudah kehendak yang Maha Kuasa.

Sebetulnya aku tak kuat melihat ibuku. Ibuku tak banyak berkata. Aku tahu ia menyimpan kesedihan, tapi aku harus kuat menerima kenyataan ini semua.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//