• Opini
  • Pascapemilu 2024, dari Pencitraan Berbasis AI hingga Sengitnya Parlemen

Pascapemilu 2024, dari Pencitraan Berbasis AI hingga Sengitnya Parlemen

Jalan politik Indonesia di masa depan akan banyak diwarnai pencitraan berbasis AI serta perang sengit di parlemen.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Aksi Koalisi Rakyat Demokratik di Bandung mengusung tajuk Semua Tidak Bermutu terkait Pemilu 2024, Selasa, 13 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 Maret 2024


BandungBergerak.id – Rabu, 14 Februari 2024, masyarakat di Republik Indonesia merayakan pesta demokrasi periodik lima tahunan sekali. Pada perhelatan kali ini, seluruh warga akan dihadapkan dengan pilihan calon untuk presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk masa jabatan 2024-2029. Pemilu tahun ini dirasa penuh gimik yang unik, mulai dari label “gemoy”, “milenial”, “kaum muda”, “perubahan”, “slepet”, “desak”, “uhuy”, dan lainnya. Semua simbol-simbol semiotik yang dipakai tersebut dipandang sebagai fenomena menarik dalam tradisi promosi politik elektoral Indonesia di era informasi. Strategi “gemoy” dan “anak muda” menjadi salah satu faktor pembawa angin segar untuk pasangan Prabowo dan Gibran pada pemilu kali ini.

Untuk real count, dikutip langsung dari laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) (2024), terhitung bahwa Sabtu, 2 Maret 2024 pukul 13:24 WIB , progres perhitungan per Tempat Pemungutan Suara (TPS) sudah mencapai 78% dengan kalkulasi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendapatkan 24,49% (31.385.479) suara, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sebanyak 58,83% (75.383.720) suara, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebesar 16,68% (21.377.140) suara. Kendati sudah mencium aroma kemenangan salah satu paslon, setidaknya promosi elektoral sangat efektif dan layak dianalisis.

Baca Juga: Hasil Pemilu 2024 Dibayang-bayangi Pelemahan Demokrasi
Koalisi Masyarakat Sipil Mengungkap Bukti-bukti Pemilu 2024 tidak Demokratis
Refleksi Pemilu 2024, Demokrasi Kehilangan Marwahnya

Branding, Promosi, dan Polesan

Branding atau pengemasan adalah strategi mutakhir dalam mempengaruhi perspektif publik dalam banyak hal. Bahkan, pandangan lebih sarkastik menyebutkan bahwa branding hadir dengan asumsi bahwa “konsumen itu tidak cerdas atau bahkan bukan manusia” (Bazos, 2009). Berangkat dari pandangan ini, kecenderungan orang untuk melakukan promosi diri melalui label dan simbol yang dilekatkan diri, justru dilandasi bahwa tidak semua orang dengan sadarnya dan kecerdasannya mau menggali lain perspektif dari kemasan. Penulis tidak menyalahkan persoalan ini, mengingat sekarang era informasi, di mana produksi informasi lebih cepat dari produksi pikiran yang mendalam. Dalam pandangan yang lebih luas, branding digambarkan dengan suatu upaya sadar untuk memberitahukan atribut identitas seseorang dalam bentuk proposisi (rancangan) yang didefinisikan secara jelas dengan maksud komunikatif, yaitu pembeda sang personal dengan yang lain atau serupa, juga mampu meningkatkan pemangku kepentingan dan persepsi jejaring tentang kemampuan seseorang untuk memenuhi harapan dari tujuan proposisi yang dibangun (Balmer, 2001). Sederhananya, memoles personal seseorang dengan atribut bagus untuk kepentingan tertentu yang telah didesain.

Keterkaitannya dengan pemilu Indonesia hari ini, sebuah cara unik pemenangan pemilu telah membuka strategi dan peluang baru melalui personal branding. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, paslon nomor 2 adalah juara dalam promosi ini melalui “gemoy” dan “milenial”-nya. Bayangkan, sebuah ilustrasi yang dibuat kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau Generate Image AI dengan sosok Prabowo yang dibuat imut nan lucu ditemani pasangan calonnya, Gibran Rakabuming, berhasil mengubah sosok kaku, serius, galak, dan gagahnya –mantan Komando Pasukan Khusus (Kopassus)– menjadi lebih bersahabat. Tentunya, masa lalu tidak bisa dihilangkan begitu saja dari ingatan publik, tapi masa lalu bisa dipoles lebih baik. Jelas, fase ini akan menjadi kamus baru dalam promosi dan pengemasan politik Indonesia di masa depan. Apalagi, dengan biaya dan tenaga yang murah, cara ini akan benar-benar merevolusi gaya elektoral Indonesia, meskipun cara lama tidak benar-benar hilang.

Presiden Semua Orang, Sebagian Dewan

Hasil hitungan cepat lembaga survei dan hitungan asli Komisi Pemilihan Umum (KPU), kendati belum utuh dan menyeluruh, sudah menunjukkan gelagat kemenangan salah satu paslon. Bahkan, secara kalkulatif kasar, persentase paslon 02 berada unggul di atas paslon lain dengan angka rerata di atas 50% sejauh ini. Tepat, pada hari Rabu (14/2/2024), di Istora Senayan, Gelora Bung Karno, Prabowo menyampaikan pidato “kemenangannya”. Pada bagian menariknya, ia menyebutkan bahwa kemenangannya ini merupakan kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Lebih lanjut, ia berjanji untuk mengayomi dan merangkul seluruh rakyat Indonesia, semua unsur dan kekuatannya. Gaya orasi ini menandaskan bahwa kembali pada hakikat bahwa presiden Indonesia adalah presiden semua orang tanpa kecuali.

Tetapi, sepertinya, bila kemenangan ini terwujud, maka ada potensi riak-riak di setiap pengambilan keputusan dan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-undang (UU). Mari berkaca pada perolehan suara di Pemilihan Umum Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (Pileg DPR) RI. Dikutip dari laman resmi KPU (2024), terhitung hingga Sabtu (2/3/2024) pukul 13.28 WIB dengan progres perhitungan dari keseluruhan TPS mencapai 65,74%, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai politik dengan perolehan suara terbanyak sejauh ini dengan perolehan suara 12.583.459 (16,41%), disusul Golongan Karya (Golkar) dengan 11.557.459 (15,07%), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan 10.209.342 (13,31%). Tiga klasemen teratas ini, diikuti oleh Partai Kebangkitan Bangsa (11,56%) dan Nasional Demokrat (Nasdem) (9,43%). Jika melihat peta koalisi, kemungkinan besar eksekutif akan dibanjiri koalisi 02, sedangkan eksekutif akan dibanjiri koalisi 03 dan 01, yang berarti pemerintahan saat ini akan semakin sengit dalam memenuhi tuntutan “check and balances”. Potensi oposan yang gendut akan masuk ke mode “tidak sepakat” dan “walk out” ketika eksekutif hendak mewujudkan eksekusinya dalam RUU maupun kebijakan. Nuansa ini bagus, mengingat selama hampir satu dekade, hanya satu dua partai yang konsisten kerap memberikan catatan kepada pemerintahan dalam berbagai hal. Namun, kali ini, sepertinya partai-partai oposan justru akan mendominasi dan mulai beralih dari “iya, iya, heeuh” menjadi “tidak, tidak”. Itupun bila tiada serta pembagian “kue” dan tukar tambah politik didalamnya.

Dua hal penting yang akan mengisi jalan politik Indonesia di masa depan, yaitu semakin masifnya penggunaan personal branding berbasis Generate Image AI dengan pemanfaat instrumen digital sebagai promosi dan dongkrak politik juga adanya “perang sipil” dalam arus penentuan kebijakan dan peraturan, yang justru dipandang menjadi angin segar bagi prinsip check and balances demokrasi atau justru penghambat arus kemajuan yang sama seperti periode 1955-1959 hingga munculnya Dekrit Presiden 1959. Apa pun itu, mari kita rayakan siapa pun yang terpilih hari ini, semoga mengemban amanah konstitusi dengan baik dan diwujudkan dengan penuh komitmen dan tanggung jawab, tentu saja secara ilmiah dan terencana.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//