Refleksi Pemilu 2024, Demokrasi Kehilangan Marwahnya
Perjalanan demokrasi tak berhenti di pemungutan suara Pemilu 2024. Masyarakat sipil kritis tetap harus melakukan pengawalan terhadap kekuasaan.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah1 Maret 2024
BandungBergerak.id - Pesta demokrasi telah usai. Tidak lama lagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi mengumumkan pemenang Pemilu 2024. Meski begitu, perjalanan demokrasi tidak berhenti di pemungutan suara. Masyarakat tidak boleh berhenti bersikap kritis dan harus tetap mengawal demokrasi dan merefleksikan esensi-esensinya.
Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Yasraf Amir Piliang menilai, esensi demokrasi tidak pernah hadir di panggung politik yang hanya dilakukan lima tahunan. Esensi demokrasi bahkan telah hilang dalam kehidupan sehari-hari, yang hadir hanyalah di permukaan saja melalui proses kampanye dan proses negosiasi.
Padahal, kata penulis buku-buku filsafat tersebut, bagian terdalam demokrasi adalah sikap, pandangan, karakter, dan ideologi. “Kalau kita mempraktikkan, di satu pihak demokrasi dilakukan dengan tampak luarnya. Tapi di dalamnya, itu hancur di antaranya itu nilai, moralitas, etika,” kata Yasraf, dalam acara Talkshow FSK FSRD ITB & Studia Humanika BPP Salman ITB, Politik = Kekuasaan Refleksi Pemilu 2024 Pra Penguman KPU, melalui Zoomeeting, Jumat, 1 Maret 2024.
Dewan Pakar Salman ITB ini mengatakan, proses pemilu yang dilakukan selama lima tahunan ini tidak lagi membicarakan ideologi. Semua berarah tujuan pada kekuasaan.
“Kalau kita lihat beberapa kali pemilu, ideologi itu disampingkan demi kekuasaan. Padahal, ideologi itu harus dicita-citakan dan ingin dicapai. Kekuasaan itu adalah kendaraannya,” terang Yasraf.
Jika demokrasi yang dipraktikkan hanya bersifat permukaan, maka substansi dari demokrasi sendiri seperti ideologi, kemanusiaan atau keadilan akan ditinggalkan. Fenomena tidak hadirnya ideologi terlihat pada aktor-aktor politik yang begitu mudah keluar masuk partai.
Dari sisi pemilih, sama saja. Penulis buku Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas ini menuturkan, budaya popular dan media baru mewarnai politik di Indonesia menyebabkan orang-orang memilih bukan karena kapasitas dan kemampuan. Sejak 2014 artis-artis masuk ke Senayan (DPR), pada Pemilu 2019 jumlah artis yang masuk gelanggang politik meningkat.
“Sekarang terulang lagi, mengapa begitu, orang memilih bukan dasar kapasitas tapi popularitas,” tutur Yasraf.
Popularitas tersebut didongkrak dengan hadirnya media baru yang melahirkan para buzzer. Kehadiran para pendengung ini menjadikan politik layaknya iklan. Di sisi lain, masyarakat Indonesia belum siap melakukan pemilihan secara langsung dikarenakan tidak hadirnya sosok figur panutan.
Situasi itu diperparah dengan hilangnya marwah demokrasi akibat praktik tidak jujur dan membahayakan. Fenomena ini mesti dicegah dengan pemerataan pendidikan. Oleh sebab itu, Yasraf menegaskan pendidikan yang mendepankan etika publik perlu dilakukan.
Baca Juga: Walhi Serukan Publik Mencermati Program-program Prolingkungan pada Pemilu 2024
Unisba Mendesak Presiden Jokowi Bersikap Netral Dalam Pemilu 2024
Aktivis 98 Unpad: Elite Politik yang Mewacanakan Penundaan Pemilu 2024 sebagai Begal Demokrasi
Generasi Muda Songong
Seperti memasuki lorong pameran seni, pemilihan umum merupakan pameran dari proses politik. Produser sekaligus sutradara kawakan Garin Nugroho Riyanto menjelaskan, pemilu idealnya pameran sebagai warga yang beradab yang dijaga kualitasnya dan sistemnya melalui peraturan. Sayangnya, pameran sebagai warga bangsa beradab ini tidak terwujudkan sebab keinginan berkuasa dan ambisi yang menjadi kuratornya.
Garin menyoroti peran media baru atau media sosial yang membingkai orang muda haus kekuasaan atau generasi songong. “Generasi songong ini menutup generasi muda berpretasi, generasi muda cerdas,” sebut Garin.
Bingkai dari media baru menjadikan warga negara menjadi warga konsumsi. Garin mengatakan, Pemilu 2024 juga menunjukan ketidaksiapan mengelola seluruh unsur-unsur dalam karakter dan berbangsa. “Demokrasi yang muncul hanya demokrasi prodousral bukan esensial. Warga bangsa kehilangan dirinya,” ucap Garin.
Citra Politik Demi Kuasa
Citra untuk mendapatkan suara rakyat dilakukan oleh aktor-aktor politik melalui slogan, pose foto, simbol, dan kosa kata yang berusaha untuk meningkatkan partisipan. Hal ini terlihat pada kampanye Pemilu 2024 di mana alat paraga kampanye tertempel di ruang dan sudut kota.
Walau pun cara ini terbilang kuno, tapi konstestan politik melakukannya. Menurut pemerhati tata kota asal Bandung Jejen Jaelani, tujuan tersebut untuk meraih suara. “Para politisi ini berusaha mendekatkan diri ke audiens,” jelas Jejen.
Tidak hanya itu, saat Pemilu 2024, aktor-aktor politik banyak mencitrakan diri mereka yang bukan bagian dari subtansi, akan tetapi lebih menyuguhkan hal remeh temeh.
Dalam laporan Remotivi sebagaimana diberitakan oleh BandungBergerak.id, terdapat 600 berita yang menjadikan fokus pada tokoh dari sikap, gerak-gerik, karakter, bahkan keluarga kandidat. Hasil dari informasi tidak didapatkan manfaatnya. Pemberitaan di media juga banyak yang menggunakan pembingkaian pertandingan antara satu kandidat dan kandidat yang lain.
Di samping itu, terjadi ketidaksetaraan dalam pemberitaan akibat frekuensi pemilik media terhadap capres dan cawapres tertentu. “Kita tahu, pemilik MNC Group Hary Tanoesoedibjo mendukung Ganjar Pranowo dan pemilik Media Indonesia, Surya Paloh, mendukung Anies Baswedan. Data yang dikumpulkan relawan kami menunjukkan kecenderungan frekuensi pemberitaan Anies yang lebih tinggi di Metrotvnews.com dan Ganjar di Okezone dan Sindonews,” tulis Remotivi.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau membaca artikel-artikel tentang Refleksi Pemilu 2024