• Kampus
  • Masalah Gas Metana Sampah Organik Sampai Filter Puntung Rokok, Sama-sama Berdampak Buruk pada Lingkungan

Masalah Gas Metana Sampah Organik Sampai Filter Puntung Rokok, Sama-sama Berdampak Buruk pada Lingkungan

Sampah filter puntung rokok maupun sampah organik memerlukan pengelolaan yang tepat. Jika tidak, sampah jenis ini membahayakan manusia sendiri selain lingkungan.

Para pemulung mengais berkah dari sampah yang menggunung di TPA Cicabe, Kota Bandung, yang difugnsikan sebagai TPA Darurat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana5 Maret 2024


BandungBergerak.idTak ada habisnya bicara soal sampah. Apa pun jenisnya, setiap sampah sama-sama memiliki daya rusak pada lingkungah hidup maupun kesehatan. Contohnya, sampah yang terlihat kecil seperti filter puntung rokok, rupanya memiliki bahaya tersendiri. Belum lagi dengan sampah organik yang meski bisa terurai secara alamiah, namun memiliki gas metan yang memicu pemanasan global.

Bahaya sampah filter puntung rokok dibedah dalam webinar bertajuk “Dampak Filter Plastik Puntung Rokok Terhadap Kesehatan dan Lingkungan” yang digelar Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Lentera Anak, dan Nexus3 Foundation. Selama ini, filter puntung rokok kurang jadi perhatian di ranah publik padahal mengandung daya pencemar yang serius terhadap lingkungan hidup.

Senior Advisor Nexus3 Foundation yang juga Dewan Pengarah AZWI Yuyun Ismawati menjelaskan, puntung rokok adalah barang yang paling banyak dibuang sembarangan secara global. Sekitar 4,5 triliun filter rokok dibuang ke lingkungan setiap tahunnya.

Sampah ini dengan mudah dibawa melalui aliran air hujan melalui sistem drainase dan akhirnya sampai ke sungai, sungai lokal, dan jalur air lainnya. Bahkan Survei Kualitas Lingkungan Lokal di Inggris pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 52 persen perokok yang merokok setiap hari menganggap membuang rokok di saluran air adalah hal lumrah.

“Puntung rokok adalah benda paling banyak berserakan di bumi,” kata Yuyun Ismawati, diakses dari laman AZWI, Selasa, 5 Maret 2024.

Yuyun mengatakan, terdapat berbagai macam zat berbahaya beracun yang terkandung di dalam filter puntung rokok, sehingga jika terbuang ke dalam air maka akan dapat mencemari biota-biota, dan jika dalam jumlah dan volume tertentu dapat membunuh 50 persen populasi yang ada.

Berdasarkan laporan WHO, bahan kimia berbahaya yang terlarut dari filter yang dibuang (termasuk nikotin, arsenik, dan logam berat) dapat bersifat toksik bagi lingkungan. Dari setiap rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia dan penelitian menunjukkan bahwa satu filter dapat mencemari hingga 40 liter air.

Filter pada puntung rokok membutuhkan waktu sedikitnya 15 tahun untuk terurai. Selama proses ini, ribuan serat mikroplastik terbentuk. Hal ini karena puntung filter yang terdapat di ujung rokok terbuat dari asetat selulosa yang dapat terdegradasi oleh cahaya.

“Selama 40 tahun produsen rokok telah membohongi publik. Filter rokok yang mengandung cellulose acetate yang memang diproduksi (man-made). Dalam kondisi normal produk yang terdapat kandungan tersebut termasuk produk cacat. Dalam campuran filter itu juga bermacam-macam ditambahkan supaya tidak terbakar dan tidak basah. Racunnya sangat banyak,” jelas Yuyun.

Perwakilan Komite Nasional Pengendalian Tembakau Jalal menyebutkan, sampah filter rokok yang tersebar seharusnya menjadi tanggung jawab produsen tembakau. Saat ini Industri rokok merupakan contoh dari Corporate Social Irresponsibility. Artinya industri tidak bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan karena masih menggunakan zat karsinogenik, yang bertentangan dengan standar ISO 26000 untuk tanggung jawab sosial perusahaan.

“Seharusnya, tanggung jawab ini melihat dari dampak yang ditimbulkan dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Prinsipnya perlu mengacu pada ISO 2010 pada dokumen “Guidance on Social Responsibility” yang meliputi akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, penghormatan kepada kepentingan stakeholder, kepatuhan kepada hukum, penghormatan, kepada norma perilaku internasional, penegakan HAM,” tegas Jalal.

Melihat besarnya dampak kesehatan dan lingkungan yang disebabkan filter puntung rokok, para pakar sepakat perlu ada keseriusan dari pihak pemerintah untuk mengklasifikasikan sampah tersebut dalam kategori B3 dan meninjau kembali peraturan terkait cukai rokok.

Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan, diperlukan sistematika perhitungan khusus atas dampak yang ditimbulkan dari filter puntung rokok, seperti menimbang faktor dari ekonomi kesehatan.

“Betul memang Indonesia negara dengan penerimaan dari cukai rokok yang tinggi hingga 126 triliun (rupiah), tapi cukai bukanlah pendapatan namun pajak dosa yang harus dibayarkan karena membahayakan kesehatan dan lingkungan. Biaya cukai yang 126 triliun rupiah itu jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk penyakit yang disebabkan karena rokok itu mencapai 3x lipatnya,” papar Lisda Sundari.

Baca Juga: Menabur Sampah Menuai Bala
Darurat Sampah Bandung Raya
Vandalisme, Sampah, dan Pencurian di Taman-taman Kota Bandung

Inovasi Mahasiswa ITB dari Gas Metana Sampah Organik yang Mudah Terbakar

Sampah jenis lain yang juga tidak kalah bahayanya jika tidak dikelola adalah sampah organik. Bukti bahwa sampah dapur atau sisa makanan menimbulkan bahaya adalah kebakaran hebat yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, beberapa waktu lalu. Kebakaran TPA Sarimukti sampai melumpuhkan sistem pembuangan sampah di Bandung Raya.

Diduga kuat kebakaran terjadi karena sampah organik dan anorganik bercampur. Sampah organik yang mengalami dekomposisi anaerobik akan menimbulkan bau busuk dan melepaskan gas metana ke atmosfer. Gas ini adalah salah satu penyumbang gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global.

Latar belakang tersebut mendorong delapan mahasiswa ITB menggagas inovasi bernama Biomate, yakni alat konversi gas metana sampah menjadi energi kompor gas. “Kami menggagas Biomate untuk mengurangi sampah organik yang dihasilkan oleh bisnis FnB (food and beverage) dan untuk menghemat pengeluaran gas mereka,” ujar Naufal Fahmi Zakiuddin, salah satu tim Tim Biomate ITB, dikutip dari laman resmi.

Selain Naufal, tim ini terdiri dari Bene Genhaq Suseno, Suma Danu Ristianto, Annisa Wulandari, Angel Erwinda Putri Tambun, Muhamad Hilmi Fadhlurohman, Syita Fauziah, dan Pelita Maulida.

Pembuatan Biomate didasari oleh perilaku pelaku bisnis FnB yang mulai sadar untuk mengolah sampah organik, tetapi pengolahan tersebut membutuhkan biaya tambahan dan tidak memberikan manfaat secara langsung untuk bisnisnya. Maka dari itu, Biomate hadir dan menjadi solusi menguntungkan bagi mereka.

Cara kerja alat ini adalah sampah organik dari restoran dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam Biomate. Alat pengolahan sampah ini bekerja dengan memanfaatkan proses penguraian sampah organik sehingga menghasilkan gas metana. Gas metana inilah yang mudah terbakar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak. Residu cairan dan padatan dari proses fermentasinya dapat dijadikan sebagai pupuk tanaman.

“Gas yang terbentuk akan disalurkan dan ditampung ke wadah penampung gas. Apabila konsentrasinya telah lebih dari 50 persen, maka gas sudah metana sudah bisa digunakan untuk bahan bakar. Kami mengintegrasikan Biomate dengan IoT (Internet of Things) agar setiap tahapan dapat dipantau baik,” ungkap Bene.

Menurut Bene, IoT dapat menjadi salah satu nilai tambah dari Biomate, khususnya sebagai teknologi pemantauan, pemeliharaan, dan analisis proses biogas secara berkelanjutan. Keunggulan lainnya yang dimiliki adalah desain dan ukuran Biomate yang compact, mudah dioperasikan, dan biaya sewa yang lebih murah dibandingkan perangkat biogas konvensional.

Anggota lainnya, yakni Annisa, berharap Biomate ke depannya dapat menjawab juga permasalahan mengenai sampah di Kota Bandung dan sekitarnya. “Para pelaku FnB bisa melakukan pengolahan sampah organik mereka secara mandiri dan menghasilkan alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan serta ramah di kantong," ujar Annisa.

Inovasi Biomate memenangi ajang Pertamina CoRE ITB (Co-creation Research of Entrepreneurship) 2023 yang diadakan oleh Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB bekerja sama dengan Pertamina.

*Kawan-kawan bisa mengakses berita lain tentang Sampah Kota Bandung di tautan berikut ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//