• Kolom
  • BUNGA DI TEMBOK: Wartawan itu "Tidak Diperintah, Tidak Didikte"

BUNGA DI TEMBOK: Wartawan itu "Tidak Diperintah, Tidak Didikte"

Menjelang akhir Orde Baru, sebuah buku jurnalistik anak terbit dengan sampul merah menyala, dengan kredo yang keras. Wartawan tidak bisa didikte.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Sampul buku Mari Menjadi Wartawan Kecil karya Eddy Junaidi terbitan Medya Wiyata (1992). (Foto: Tri Joko Her Riadi)

6 Maret 2024


BandungBergerak.id - Sampul buku setebal 35 halaman ini segera mencuri perhatian. Warna latarnya merah menyala. Sesuatu yang tidak biasa bagi buku yang diperuntukkan anak-anak. Yang lebih istimewa, setidaknya yang saya bayangkan, gambar bocah perempuanlah yang tampil sebagai ilustrasi utama. Rambut sebahu dengan bola mata berbinar, membawa tas selempang dan buku catatan berikut bolpoin.

Buku Mari Menjadi Wartawan Kecil (1992), yang diterbitkan di Semarang oleh Media Wiyata, adalah sebenar-benarnya buku panduan praktis dunia kewartawanan bagi anak-anak. Semacam buku how to yang sempat ngetren beberapa tahun lalu. Tidak berlama-lama di teori dan pengertian-pengertian mendasar, penulis segera memberikan contoh-contoh praktis.

Salah satu peristiwa yang dijadikan contoh adalah pertandingan sepakbola yang berubah jadi perkelahian massal. Beberapa orang terluka. Ilustrasi hasil goresan tangan Gunawan Pranyoto mengejek kejadian ini dengan sebuah kartun yang menampilkan si wartawan kecil bertanya: “Mas, ini pertandingan sepak bola apa tinju?”

Eddy Junaidi, sang wartawan-penulis, menunjukkan pilihan-pilihan bagi seorang reporter untuk melaporkan peristiwa itu. Ada enam teras (lead) yang diajukan si penulis. Semua mempertimbangkan jurus 5W+1H (Who, What, Where, When, Why, How). Pilihan pertamanya begini: “Pertandingan sepak bola di Desa Makmur, Kecamatan Bahagia, Kabupaten Sentosa, Jawa Tengah pada hari Minggu berubah menjadi perkelahian massal yang mengakibatkan beberapa orang cedera”.

Di bab berikutnya (Bab IV), pembaca dikenalkan dengan tahap “melengkapi data”. Penulis mengingatkan ada beberapa data penting yang harus dikejar karena tidak akan tuntas diperoleh di lapangan bola sebagai tempat kejadian perkara (TKP), seperti bagaimana penanganan mereka yang terluka dan bagaimana nasib sang kapten yang menjadi pemicu perkelahian massal. Wartawan disarankan untuk menemui beberapa narasumber ketika menggali informasi tambahan, mulai dari panitia pertandingan, pihak rumah sakit, hingga kepala desa. Memang harus seribet itu!

Wartawan Eddy lalu menutup buku dengan apa yang disebut dengan “daya cium berita”. Cara mengasahnya ya hanya satu: terus memelihara rasa ingin tahu. Baiknya keterampilan ini dipraktikkan sejak dari peristiwa-peristiwa kecil yang wara-wiri di lingkungan terdekat.

“Selalulah bertanya kepada diri sendiri atau kepada orang lain: ada apa? Atau apa yang terjadi?” tulisnya.

Ilustrasi karya Gunawan Pranyoto dalam buku Mari Menjadi Wartawan Kecil terbitan Medya Wiyata (1992). (Foto: Tri Joko Her Riadi)
Ilustrasi karya Gunawan Pranyoto dalam buku Mari Menjadi Wartawan Kecil terbitan Medya Wiyata (1992). (Foto: Tri Joko Her Riadi)

Baca Juga: Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat
Mengawal Implementasi Perpers Publisher Right untuk Upah Layak Jurnalis dan Jurnalisme Berkualitas
BUNGA DI TEMBOK: Sudjinah, Harapan yang Melampaui Siksaan

Belajar sejak Dini

Eddy Junaidi, sang penulis buku, adalah seorang jurnalis dengan lebih dari 20 tahun pengalaman liputan. Ia mengerti betul bahwa dibutuhkan waktu yang cukup bagi siapa saja yang ingin menjadi wartawan yang “mandiri dan mumpuni”. Ia menyebut angka lima tahun.

“Rasanya langkah paling tepat adalah mendidik atau mengajarkan seseorang tentang dasar-dasar ilmu jurnalistik (cara mengumpulkan dan menulis berita untuk koran atau majalah) sedini mungkin, misalnya sejak sekolah dasar. Dengan kata lain, kita berusaha mencetak para wartawan kecil,” tulisnya dalam “Prakata”.

Buku Mari Menjadi Wartawan Kecil tak pelak sebuah buku jurnalistik anak yang agak lain, meski di halaman Kepustakaan harus tercantum judul buku tentang pers Pancasila. Ia memuat panduan praktis bersumber pengalaman nyata dari lapangan. Kita bisa menandai kelugasan ini sejak dari bagaimana si penulis menjejalkan definisi wartawan di halaman-halaman awal. Apa itu wartawan?

“Wartawan adalah sosok yang bebas, sejauh tidak melanggar sopan-santun dan tata krama. Mereka bekerja pada umumnya atas prakarsa sendiri, tidak diperintah, tidak didikte, dan tidak terikat pada masalah-masalah resmi,” begitu tertulis di sana.

Bayangkanlah deretan kalimat membius itu termuat di sebuah buku anak-anak yang terbit di tahun 1992, ketika kebebasan berpendapat masih sangat dibatasi di negeri ini, ketika pemerintah menghendaki semua berjalan teratur dan tertib! Siapa tidak terpikat?

Di beberapa halaman pertama buku bekas yang saya peroleh, terdapat cap milik sebuah sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Jepara, Jawa Tengah. Saya lalu membayangkan seorang siswa kelas 3 di sekolah di kotanya Kartini di pantai utara Jawa itu pernah membaca buku ini secara khusyuk di sudut ruang perpustakaan yang lembap. Setahun kemudian, di pertengahan 1993, ia melanjutkan pendidikan ke SMA dengan sudah menggenggam cita-cita: menjadi wartawan, menjadi sosok bebas yang tidak diperintah dan tidak didikte.

Ketika suhu politik negeri ini memanas dan lalu meledak pada 1998, bocah Jepara yang telah membaca buku Mari Menjadi Wartawan Kecil itu sudah ada di tahun kedua kuliahnya, mungkin di sebuah universitas di Yogyakarta. Ia tumbuh sebagai mahasiswa kritis yang aktif di pers kampus. Ia saksikan bagaimana rakyat semakin tak terbendung menghendaki perubahan.

Detik-detik kejatuhan rezim Orde Baru ketika itu, saya membayangkan, ia kabarkan dengan sebaik-baiknya lewat reportase-reportase yang kritis. Tanpa diperintah, tanpa didikte.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//