• Komunitas
  • PROFIL PASAR GRATIS BANDUNG: Sindiran pada Negara Lewat Aksi Berbagi untuk Tunawisma

PROFIL PASAR GRATIS BANDUNG: Sindiran pada Negara Lewat Aksi Berbagi untuk Tunawisma

Komunitas Pasar Gratis Bandung berkali-kali dibubarkan aparat. Padahal komunitas ini memberikan bantuan kepada masyarakat akar rumput seperti tunawisma.

Suasana gerakan Lumbung Kota yang digagas Pasar Gratis Bandung di Taman Pasupati, Kota Bandung, Sabtu, 2 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya7 Maret 2024


BandungBergerak.idDi kolong Jalan Layang Pasupati, Bunda Sinta (64 tahun) asyik memilih dan memilah pakaian yang baru saja ditata oleh kawan-kawan Pasar Gratis Bandung. Matanya cekatan mencari pakaian yang pas dengan ukuran tubuhnya yang kecil. Sebuah celana katun berwarna coklat muda kemudian menarik perhatiannya. Diambilah celana itu, diperhatikannya dengan seksama. Merasa kebesaran, tangan keriputnya kembali melipat celana tersebut dan menaruhnya di tempat semula.

Ketika dihampiri oleh BandungBergerak.id, Sabtu, 2 Maret 2024 sore itu, Bunda bercerita bahwa dirinya tidak datang sendiri. Dia datang bersama enam orang temannya, yang sama-sama tunawisma, sama-sama berusia senja, sama-sama orang tua tunggal. Bunda mengaku sudah beberapa kali mengikuti lapakan dari Pasar Gratis Bandung. Di tiap keikutsertaannya, Bunda tidak hanya sekadar mengambil, tapi juga sering membawa baju bekas layak pakai hasil pemberian tetangganya agar bisa dibagikan ke tunawisma lain.

“Di sini kan bisa diambil orang, kepake. Jadi ga mubazir,” lirih Bunda di antara deru macet kendaraan Kota Bandung. “Beli baju mahal.”

Bunda kemudian memperlihatkan isi tas jinjing kuning yang sedari tadi didekapnya. Rupanya pakaian para tentangga yang dia bawa dari rumah saudaranya di daerah Sukaluyu telah berganti dengan baju-baju “baru” hasil donasi dari yang lain. Bunda mengeluarkan satu per satu, ada kaos, jaket, daster, celana jeans, dan taplak meja. Selain pakaian, ada pula satu kresek kecil beras dengan berat kisaran dua kilogram, juga hasil pemberian dari Pasar Gratis Bandung.

Bunda pindah dari Bangka ke Bandung pada tahun 1977, sampai sekarang dirinya tidak mempunyai rumah. Sudah 25 tahun Bunda hidup tanpa suami, juga tidak punya pekerjaan tetap. Satu-satunya uang pemasukan Bunda dapatkan ketika ada tetangganya yang butuh bantuan untuk mengurusi anak atau orang tua. Meski bayarannya tidak seberapa, Bunda ternyata bisa menyekolahkan kedua anak perempuannya sampai lulus kuliah.

Hidup di jalanan pasti sulit, apalagi di kota besar seperti Bandung. Pemerintah kerap menjadikan para tunawisma sebagai “objek kesusahan”, tutur Bunda. Program-program pemerintah sering kali hanya sebatas formalitas. Bunda menyaksikan sendiri bagaimana temannya yang sudah berusia 70 tahun terlunta-lunta di trotoar lantaran kesulitan mendapat bantuan dari pemerintah.

“Saya ndak gampang lho, membesarkan dua anak tuh dengan air mata lho. Saya seorang diri, single parent,” kata Bunda ketika mengingat-ngingat hanya dua kali mendapat bantuan dari pemerintah ketika Covid-19.

Sejak berdiri pada awal pagebluk Covid-19, Pasar Gratis Bandung secara konsisten membantu orang-orang yang hidup di jalanan. Aktivitas utama dari komunitas ini adalah berbagi, baik itu berbagi pakaian, makanan, pengetahuan, bahkan hiburan. Namun bukan untuk beramal, tapi mengkritik absennya negara dalam menjamin kelangsungan hidup kelompok miskin kota. Sesuai slogannya, "not for charity, this is protest".

Suasana gerakan Lumbung Kota yang digagas Pasar Gratis Bandung di Taman Pasupati, Kota Bandung, Sabtu, 2 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)
Suasana gerakan Lumbung Kota yang digagas Pasar Gratis Bandung di Taman Pasupati, Kota Bandung, Sabtu, 2 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)

Dari Hitungan Jari sampai Ditiru di Bebagai Daerah

“Harusnya ini kan tugas pemerintah. Pertanyaannya, kenapa jadi kita yang harus melakukan ini?” tanya Bara (19 tahun), salah satu pegiat Pasar Gratis Bandung ketika diwawanca di sela-sela agenda Lumbung Kota, Sabtu, 2 Maret 2024, retoris. “Pasar Gratis adalah ruang alternatif (untuk) membentuk kesadaran”.

Berawal dari keresahan akan jurang ketimpangan sosial yang semakin mengaga ketika Covid-19, sekelompok orang muda di kawasan Bandung tengah mencoba menggalang solidaritas. Jumlahnya tidak banyak, hanya terhitung jari. Pembatasan sosial kala itu membuat orang-orang ini memiliki banyak waktu luang untuk berbagi. Bara adalah salah satu dari pemuda tersebut.

Bara bercerita, awalnya kelompok ini hanya membagikan makanan dan obat-obatan untuk kebutuhan Covid-19. Semua logistik tersebut didapatkan dari seruan donasi yang dia dan kawan-kawan sebarkan di media sosial masing-masing. Ternyata, konsep mutual aid, rakyat bantu rakyat, mendapatkan atensi publik.

Tiga bulan berjalan, tercetuslah ide untuk membuat satu saluran informasi di Instagram. Pasar Gratis pun dipilih sebagai nama pengguna. Sekalipun ada embel-embel “pasar”, tidak ada praktik jual-beli di dalamnya. Semua komoditas dibagikan cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan. Ambil secukupnya, sisakan untuk yang lain.

“Kita menilai orang yang memberi itu tidak lebih mulia dari orang yang diberi. Aksi ini adalah aksi solidaritas tanpa sekat, tanpa kelas sosial, jadi setiap orang bisa kontribusi dengan kesadaran dan kemampuan masing-masing,” ucap Bara, dengan semangat membara.

Tujuan utama Pasar Gratis Bandung adalah untuk membangun kesadaran. Pasar Gratis Bandung ingin kelompok ekonomi menengah atas memecah sekat-sekat sosial yang diciptakan oleh kapitalisme. Sementara untuk kelompok ekonomi menengah bawah, Pasar Gratis Bandung ingin mereka, tunawisma khususnya, sadar bahwa semua yang didapatkannya mestinya menjadi tanggung jawab negara.

Untuk memecah sekat-sekat sosial, Bara mengatakan bahwa komunikasi adalah kunci. Di ruang-ruang yang diciptakan Pasar Gratis Bandung, kelompok ekonomi menengah atas dan menengah bawah berbaur menjadi satu. Tidak peduli si kaya atau si miskin, setiap yang datang harus mengobrol.

“Makanya kita ingin, untuk teman-teman di jalan (tunawisma) itu, supaya lebih paham bahwa hak-hak mereka itu telah dirampas oleh pemerintah, akses kalian itu dibatasi,” lanjut Bara. “Kita percaya bahwa kebebasan itu adalah hak setiap orang.”

Dari yang hanya berjumlah beberapa orang, pegiat Pasar Gratis Bandung perlahan mulai bertambah. Sifat keanggotan yang cair dan tidak ekslusif membuat siapa pun boleh bergabung tanpa harus mendaftar. Di setiap agendanya, hampir selalu ada orang baru yang ditemui. Sampai-sampai, Bara sendiri kadang-kadang tidak bisa mengenali semua orang yang pernah bergiat di Pasar Gratis Bandung.

Gagasan dari Pasar Gratis Bandung kemudian ditiru oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Lewat penelusuran Instagram, Pasar Gratis sudah menyebar mulai dari Subang, Depok, Brebes, Semarang, Gresik, Denpasar, Ambon, bahkan Palu. Semangat akan kesadaran untuk saling bantu dan menghilangkan sekat sosial semakin meluas.

“Kita juga bukan Nabi yang diutus Tuhan buat berbagi atau menolong orang miskan, engga. Bukan kita yang ngasih, tapi mereka yang ngambil sendiri. Karena kalau kita kasih nih, ga akan ada kemajuan berpikir,” kata Bara.

Suasana gerakan Lumbung Kota yang digagas Pasar Gratis Bandung di Taman Pasupati, Kota Bandung, Sabtu, 2 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)
Suasana gerakan Lumbung Kota yang digagas Pasar Gratis Bandung di Taman Pasupati, Kota Bandung, Sabtu, 2 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)

Agenda Berkembang, Berulang Kali Dibubarkan

Sejak membagikan kebutuhan masyarakat di era Covid-19, agenda Pasar Gratis Bandung kian berkembang. Melihat banyak sekali pakaian yang menumpuk yang jarang digunakan, kegiatan pengumpulan dan pembagian baju-baju bekas layak pakai pun dicoba. Partisipasi luar biasa. Bahkan hingga hari ini, selalu saja ada orang-orang yang mendonasikan pakaiannya.

Kemudian, mulai muncul agenda-agenda seperti belajar bersama anak-anak jalanan, cukur gratis, live cooking, lapakan buku, dan penampilan-penampilan musik. Selain manusia, Pasar Gratis Bandung juga memberi perhatian kepada hewan-hewan di jalanan. Sebab, di samping manusia, ada makhluk hidup lain juga yang membutuhkan makanan.

Pasar Gratis Bandung memang diciptakan untuk menjadi ruang yang hangat bagi siapa saja, tanpa terkecuali. Hal itu cukup membuat Atnan (20 tahun) memilih untuk terus bertahan. Terhitung hampir 4 tahun perempuan muda ini terlibat di berbagai kegiatan yang dihelat oleh Pasar Gratis Bandung.

“Dari cerita-cerita orang homeless, kita jadi belajar bersyukur. Kita diberi hidup kayak gini. Jadi Alhamdulillah, ada kehidupan aku yang dimaukan orang lain,” ucap Atnan ketika diwawancara.

Nyatanya, sekalipun bermaksud baik, Pasar Gratis Bandung berulang kali dibubarkan oleh aparat. Ketika masa-masa Covid-19, regulasi tentang pembatasan wilayah sering dijadikan alasan. Selepas pagebluk, alasan pembubaran kian tidak logis. Pasar Gratis Bandung sering dikira Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan tanpa izin.

Kata “Gratis” yang selalu dipasang tinggi-tinggi tidak dibaca dan dimengerti oleh aparat. Atnan menduga ada maksud lain dari aparat setempat melakukan pengusiran terhadap Pasar Gratis Bandung. Salah satu dugaan Atnan adalah karena takut menganggu wisatawan yang singgah di Bandung.

“Ketika ngelapak di Braga, kan ketimpangan sosialnya ngeri. Niat bagi-bagi pakaian, makanan, masakan, eh malah dibubarin,” cerita Atnan, dengan suara seraknya.

Namun, pembubaran tentu tidak menghalangi tekad Pasar Gratis Bandung untuk terus berbagi. Pasar Gratis Bandung yakin, semakin sering dibubarkan, semakin membuktikan bahwa negara gagal mengayomi dan menjamin hak-hak masyarakat yang tinggal di jalan.

Baca Juga: PROFIL SAMAHITA: Merangkul Kelompok Marginal, Melawan Kekerasan Seksual
PROFIL PERPUS ALAM MALABAR: Perpustakaan di Kaki Gunung, Memadukan Pertanian dan Literasi
PROFIL KOMUNITAS EARTH HOUR BANDUNG: Gaya Hidup Hemat Listrik Demi Bumi

Warga memilih pakaian-pakaian yang ada di lapangan Pasar Gratis Bandung dalam gerakan Lumbung Kota, Sabtu, 2 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)
Warga memilih pakaian-pakaian yang ada di lapangan Pasar Gratis Bandung dalam gerakan Lumbung Kota, Sabtu, 2 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)

Menggantungkan Mimpi

“Cita-cita pengin punya rumahlah. Kan anak saya kerja, berjuang, cari duit supaya punya rumahlah. Rumah kecil. Saya mah ga muluk-muluk, yang penting rumah. Saya ga kepengin mobil. Satu-satunya rumah,” sampai Bunda, terbatuk-batuk ketika menyampaikan cita-citanya ini.

Pasar Gratis Bandung mengakui, selama pengalaman bertahun-tahun di jalan, mereka mendapati banyak sekali persoalan sosial yang terjadi di kaum tunawisma. Kompleks dan belum banyak mendapat sorotan. Ada tunawisma yang dijual oleh tunawisma lain. Ada tunawisma yang meninggal di jalan kemudian dibawa pergi dan tak ada rimbanya. Ada konflik horizontal antartunawisma. Ada anak-anak tunawisma yang tidak bersekolah dan belum bisa baca.

Bagi mereka yang sibuk di jalanan, seperti Pasar Gratis Bandung pun tunawisma, persoalan politik yang tengah berlangsung tidak terlalu menjadi perhatian. Pasalnya, orang-orang di jalanan sibuk mengurusi persoalan perut, kebutuhan primer manusia. Makan siang gratis sudah lebih dulu Pasar Gratis Bandung jalankan lewat cara gotong royong.

“Ini bisa membuktikan bahwa kita ga perlu nunggu mereka. Dengan kita membangun gerakan, membangun jaringan, membangun silaturahmi, kita bisa membangun gerakan solidaritas yang secara mandiri kita bisa melakukannya,” tegas Bara, menyoroti janji-janji politik Pemilu 2024 kemarin.

Atnan, memimpikan semakin banyak orang yang datang ke Pasar Gratis Bandung, baik itu dari tunawisma ataupun bukan. Atnan senang, semakin banyak yang datang maka semakin terkikis sekat sosial yang ada. Bisa saling membantu.

Mimpi Bara tidak berbeda jauh dengan Atnan, hanya saja Bara juga berpikir jangka panjang. Bara membayangkan Pasar Gratis Bandung suatu hari dapat membangun pusat sosial tunawisma otonom di bangunan-bangunan kosong, bangunan-bangungan terbengkalai. Bukan hanya sebatas penguasaan lahan, lebih dari itu adalah untuk membangun pola kerja ekonomi mandiri agar bisa saling menghidupi satu sama lain. Agar orang-orang seperti Bunda memiliki satu tempat yang dimiliki sendiri.

“Sebagai tuan rumah kita harus menghargai tamu. Dan tuan rumah di jalanan adalah tunawisma. Apa yang tidak kamu butuhkan, mungkin orang lain butuhkan. Makanya, berbagi,” tutup Febri.

* Kawan-kawan dapat membaca reportase lain Tofan Aditya dan tulisan-tulisan lainnya tentang Komunitas di Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//