• Kolom
  • SUARA SETARA: Tantangan dan Dinamika Ketidaksetaraan Gender di Asia Selatan

SUARA SETARA: Tantangan dan Dinamika Ketidaksetaraan Gender di Asia Selatan

Selain pengaruh faktor budaya dan agama, wilayah Asia Selatan juga dihadapkan pada tantangan serius terkait hak-hak perempuan dan kekerasan berbasis gender.

Nadia Cyntia Dewi

Anggota Gender Research Student Center (GREAT) UPI, bisa dihubungi di Instagram @nadiacynd2 atau [email protected]

Perempuan mahasiswa berorasi dalam aksi Mimbar Demokrasi dan Maklumat Jawa Barat, Rabu 7 Februari 2024 sore di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

11 Maret 2024


BandungBergerak.id"Kita tidak bisa diam dan mentolerir ketidakadilan," Martin Luther King Jr.

Ketidaksetaraan gender di Asia Selatan melibatkan kompleksitas yang terus mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Pengaruh patriarki, norma budaya, dan agama turut berperan dalam menyumbang pada bentuk ketidaksetaraan ini. Kemudian termanifestasi dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Meskipun beberapa kemajuan telah terjadi, tantangan besar masih menghambat perjalanan menuju kesetaraan gender.

Situasi perempuan di Asia Selatan masih menunjukkan ketidaksetaraan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, kepemimpinan, dan kekerasan. Data dari UNESCO tahun 2021 mencatat tingkat melek huruf perempuan hanya mencapai 61,6%, dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 74,4%. Begitu juga dalam pendidikan tinggi, menurut World Bank pada tahun 2022, partisipasi perempuan hanya mencapai 27%, sementara laki-laki mencapai 43%. Masalah serupa tercermin dalam bidang kesehatan, menurut WHO tahun 2020, angka kematian ibu mencapai 212 per 100.000 kelahiran hidup. Masalah gizi buruk juga lebih sering terjadi pada anak perempuan dengan tingkat mencapai 36% dibandingkan dengan anak laki-laki yang mencapai 27%, menurut data UNICEF tahun 2021.

Sementara itu dalam sektor ekonomi, ILO mencatat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja hanya mencapai 25%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 78%. Bahkan, perempuan hanya menerima upah sekitar 68% dari upah laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Tidak hanya itu, dalam kepemimpinan, perwakilan perempuan di parlemen hanya mencapai 24,9% dan perempuan di posisi kepemimpinan senior kurang dari 15%. Sedangkan dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, data dari UN Women tahun 2018 menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan di Asia Selatan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangannya. Situasi ini mencerminkan perlunya tindakan untuk mencapai kesetaraan gender di wilayah Asia Selatan.

Baca Juga: SUARA SETARA: Relasi Kuasa pada Kasus Kekerasan Dalam Pacaran
SUARA SETARA: Pinjaman Online, Normalisasi Kekerasan Verbal
SUARA SETARA: 16 HAKTP yang selalu Kita Rayakan Sebenarnya Berawal dari Sejarah Penuh Luka

Faktor Agama dan Norma Budaya

Patriarki memainkan peran sentral dalam memelihara ketidaksetaraan gender di Asia Selatan, sebagaimana penelitian di Sri Lanka menyoroti dominasi patriarki sebagai pemicu utama ketidaksetaraan gender. Demikian pula, studi di Iran menekankan kuatnya struktur sosial patriarki dan penindasan sistemik yang dihadapi perempuan. Daerah Asia Selatan, norma budaya dan pengaruh agama turut serta membentuk ketidaksetaraan gender, mengurangi akses perempuan terhadap kekuasaan, peluang, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Sementara itu di daerah Iran, struktur sosial patriarki menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai kekuasaan dan peluang. Faktor-faktor seperti peran agama dan norma budaya diakui sebagai pemicu ketidaksetaraan gender di wilayah ini.

Selain faktor-faktor sosial budaya, wilayah Asia Selatan juga dihadapkan pada tantangan serius terkait hak-hak perempuan dan kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender yang masih terjadi dan kurangnya respons yang efektif dari sistem hukum dan masyarakat menciptakan tantangan besar dalam meraih kesetaraan gender.

Kemacetan dalam kampanye kesetaraan gender dipicu oleh pengaruh gerakan anti-feminis dan hegemoni patriarki, yang semakin menghambat upaya penanggulangan ketidaksetaraan gender. Bagaimana mungkin kita membangun masyarakat yang adil dan inklusif jika ketidaksetaraan gender terus merajalela di setiap lapisan kehidupan? Bukankah saatnya kita bersama-sama mengejar perubahan yang lebih progresif dan menyongsong masa depan tanpa diskriminasi gender?

Meskipun terdapat upaya-upaya untuk mengatasi ketidaksetaraan gender di Asia Selatan, nyatanya masih diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan untuk menanggulangi akar permasalahan kesenjangan gender di wilayah Asia Selatan. Pendekatan ini tidak sekadar terbatas pada intervensi kebijakan, melainkan juga membutuhkan transformasi fundamental dalam pandangan masyarakat, norma budaya, dan struktur kekuasaan yang mempertahankan ketidaksetaraan gender.

Pendidikan Menjadi Kunci

Ketidaksetaraan gender di Asia Selatan bukan sekadar isu sepele, melainkan kompleks dan multifaset, berakar pada struktur sosial patriarki, norma budaya, dan pengaruh agama. Menanggapi tantangan ini memerlukan kolaborasi untuk mengubah akar penyebab ketidaksetaraan gender. Dalam menyikapi masalah ini, perlu terus mendorong kesadaran, mendukung program-program pendidikan yang inklusif, mengimplementasikan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, dan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap perempuan. Kesetaraan gender bukan hanya hak dasar, tetapi juga kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan adil.

Di Asia Selatan, perempuan dan anak perempuan menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang meluas, yang menghambat kemajuan dan pembangunan. Kesetaraan gender bukan hanya sebuah impian, tetapi suatu realitas yang kita bina dengan langkah-langkah konkret dan tekad bersama. Ketika kita bersatu dalam tekad untuk menghapus bayangan ketidaksetaraan gender, kita membentuk masa depan yang berkilauan dengan keadilan dan kesetaraan untuk semua.

Kesetaraan gender bukanlah tentang membuat perempuan sama dengan laki-laki. Ini tentang memberi perempuan kesempatan, akses, dan peluang yang sama.

"Jika Anda ingin melihat perubahan, jadilah perubahan itu sendiri," Mahatma Gandhi.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//