• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #40: Tanda Tanya untuk Pemerintah Kolonial

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #40: Tanda Tanya untuk Pemerintah Kolonial

Oto Iskandar di Nata menggunakan berita dan laporan surat kabar Sipatahoenan untuk mempertanyakan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Tanggal 1 Juni 1940, Oto Iskandar di Nata melepaskan jabatannya sebagai direktur Sipatahoenan, karena sibuk. (Sumber: Sipatahoenan, 1 Juni 1940)

12 Maret 2024


BandungBergerak.id – Saya mendapatkan fakta menarik mengenai nama asli R. Oto Iskandar di Nata. Fakta tersebut saya temukan dari koran-koran lawas dan buku-buku almanak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sumber pertama yang saya temukan adalah koran De Preanger-bode edisi 22 Mei 1920. Di situ ada berita mengenai pengangkatan guru-guru bumiputra (“Bij het Openbaar Hollandsch Inlandsch onderwijs benoemd tot inlandsch onderwijzer”). Salah seorang yang diangkat itu “Otto Wiratmadja Iskandar ook genaamd Otto Iskandar di Nata” (Otto Wiratmadja Iskandar yang juga disebut Otto Iskandar di Nata).

Rupanya penggunaan nama alias bagi murid-murid sekolah bumiputra biasa dilakukan. Dalam edisi De Preanger-bode yang sama, hampir setiap guru yang diangkat mempunyai nama lain. Berikut contohnya: Mas Soemitra atau Mas Soeramidjaja; Enang alias Enang Sasmita Ardiwasana; Raden Moeljadi atau Koesoemawardaja; Oekas Anggapradja alias Oekas Wiradinata; Raden Gani atau Raden Soetan Iskandar di Brata; Parmasasmita atau Parma Iskandar. Mereka semua, termasuk Oto lulusan Hoogere Hweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (HIK) Purworejo.

Nama Oto Wiratmadja Iskandar terus digunakan dalam pengumuman resmi. Misalnya saat ia diangkat menjadi anggota dewan pendidikan bumiputra di Weltevreden (“Onderwijsraad te Weltevreden”) tahun 1928, namanya tertulis “Oto Wiratmadja Iskandar alias Oto Iskandar Dinata” (Bataviaasch Nieuwsblad, 2 November 1928, dan Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, Deel 2, 1929).

Demikian pula dengan Soetisna Sendjaja yang punya nama lain, yaitu Momo Soekarma. Nama lain tersebut digunakan secara resmi, meskipun menggunakan tanda kurung. Misalnya, saat Wali Kota Bandung B. Coops mengumumkan calon-calon anggota Dewan Kota Bandung pada 16 Juli 1918, nama Soetisna Sendjaja ditulis “Soetisna Sendjaja (Momo Soekarma)”. Saat mencalonkan diri itu dia tinggal di Gang Affandi, Bandung (De Preanger-bode, 16 Juli 1918). Demikian pula saat Soetisna diangkat menjadi anggota Dewan Kota Bandung, namanya “Soetisna Sendjaja (Momo Soekarma)” (Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, Deel 2, 1919).

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #37: Tahun Kesepuluh
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #38: Bidjaksana sebagai Bumper
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #39: Lampiran Aoseun Moerangkalih dan Kaboedajan

Sebagai Direktur Sipatahoenan

Oto Iskandar di Nata sangat berkaitan dengan Sipatahoenan, terutama setelah surat kabar tersebut diambil alih oleh Pengurus Besar Paguyuban Pasundan sejak edisi No. 102, 9 Mei 1931. Oto adalah Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan sejak Desember 1929 hingga 1942. Dengan demikian, ia adalah direktur Sipatahoenan sejak koran tersebut diambil alih Paguyuban Pasundan.

Meski demikian, karena sejak 1930 ia juga terpilih menjadi anggota Volksraad atau dewan perwakilan rakyat zaman kolonial, jabatan direktur Sipatahoenan dijabat oleh Mochamad Enoch, aktivis Paguyuban Pasundan dan Direktur Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung. Mengenai hal ini, saya membaca laporan berjudul “Doea poeloeh lima taoen dina kadinesan (29 Juli 1912-29 Juli 1937). R. Mochamad Enoch, Directeur Regentschapswerken Bandoeng” (Sipatahoenan, 31 Juli 1937). Di situ antara lain tertulis, “Ti barang mimiti Sipatahoenan pindah ka Bandoeng (1931) nepi ki taoen 1936 sapandjang djoeragan Oto Iskandar di Nata aja di Batawi, djrg, Moch. Enoch noe ngapalaanana (wd. Directeur)” (Sejak Sipatahoenan dipindahkan ke Bandung [1931] hingga 1936, selama Oto Iskandar di Nata ada di Batavia, Moch. Enoch yang menjabat direkturnya).

Dalam kapasitasnya sebagai direktur Sipatahoenan, Oto antara lain menerbitkan kebijakan untuk mengangkat Mohamad Koerdie sebagai pemimpin redaksi sementara, setelah pemimpin redaksi sebelumnya, Bakrie Soeraatmadja, dijatuhi vonis dalam kasus delik pers tahun 1935. Di bawah judul “Hoofdredactie Sipatahoenan” dalam edisi 8 Maret 1935, “De Directeur” Oto Iskandar di Nata mengumumkan sepanjang Bakrie menjalani vonis, posisi pemimpin redaksi dijabat Mohamad Koerdie (“Sapandjang andjeunna ngadjalankeun eta poetoesan beleid, Hoofdredatie Sipatahoenan, nja kitoe deui tanggelan kana eusina, ditjepeng koe plv. Hoofdredacteur djoeragan Mohamad Koerdie”).

Tetapi ada masanya Oto pindah ke Bandung. Kepindahan itu diumumkan Sipatahoenan edisi 1 April 1935, dengan tajuk “Directeur Sipatahoenan”. Di situ dikatakan bagi siapa saja yang berkepentingan dengan Oto, direktur Sipatahoenan dan ketua Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, alamatnya sudah berubah, karena pindah ke Bandung (“Pikeun anoe baroga kapentingan djeung djoeragan Oto Iskandar di Nata, Directeur Sipatahoenan djeung Voorzitter Hoofdbestuur Pasoendan, ajeuna adres andjeunna robah, sabab ngalih ka Bandoeng”). Sekarang ia beralamat di Oosteinde 9, telepon 647, Bandung (“Pikeun adres ajeuna, nja eta Oosteinde 9 telefoon 647 Bandoeng”).

Pengumuman itu dengan redaksi lebih singkat terus dimuat di Sipatahoenan sejak 6 hingga 24 April 1935. Bunyi pengumannya: “Di etang ti ngawitan sasih ieu April 1935, sim koering pindah tempat ti Djakarta ka Bandoeng, Oosteinde 9” (terhitung sejak bulan April 1935 ini, saya pindah tempat dari Jakarta ke Bandung, yaitu ke Oosteinde 9). Oleh karena itu, segala persuratan ia mohon untuk dialamatkan ke situ. Sementara untuk urusan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan dialamatkan ke Gang Kadji 17, Batavia Centrum (“Kanggo kaperloean Hoofdbestuur Pasoendan mah teras sakoemaha noe parantos bae, nja eta ka Gang Kadji [Batavia Centrum]”).

Ada masanya pula Oto harus melepaskan jabatannya sebagai direktur Sipatahoenan. Ini terjadi pada 1 Juni 1940, dengan alasan karena kesibukannya yang terbilang luar biasa. Pengumuman berhentinya sebagai direktur diumumkan dalam Sipatahoenan edisi 1 Juni 1940, dengan judul “Pingpinan Sipatahoenan”. Di situ ditulis begini: “Patali sareng seueur deui padamelanana noe sanes, djrg. R. Oto Iskandar di Nata, Directeur-Hoofdredacteur Sipatahoenan, ngawitan dinten ieu ping 1 Juni 1940, ngetjagkeun pingpinan ieu serat kabar sadidintenna”.

Penggantinya, sejak 1 Juni 1940, yang menjadi direksi Sipatahoenan adalah R. Poeradiredja dan R. Ir. Oekar Bratakoesoemah (“Directie koe para djoeragan: R. Poeradiredja sareng R. Ir. Oekar Bratakoesoemah”). Sedangkan pimpinan redaksi dijabat oleh Mohamad Koerdie (“Hoofdredactie koe djoeragan: Mohamad Koerdie”).

R. Poeradiredja dan R. Ir. Oekar Bratakoesoemah terus menjabat sebagai direksi Sipatahoenan hingga 10 November 1941. Sejak saat itu, Oto Iskandar di Nata kembali menjadi direktur Sipatahoenan, merangkap sebagai direktur surat kabar berbahasa Indonesia, Sepakat, yang juga diterbitkan Paguyuban Pasundan. Pengumumannya disiarkan dengan tajuk “Wartos Directie” dalam Sipatahoenan edisi 10 November 1941. Di situ terbaca: “Ngawitan ti dinten ieu pingpinan Sipatahoenan sareng Sepakat dirobah kieu: Directie aja dina pingpinan djrg. R. Oto Iskandar di Nata” (Mulai hari ini pimpinan Sipatahoenan dan Sepakat diubah demikian: Direksi ada pada pimpinan R. Oto Iskandar di Nata). Sementara yang menjadi pimpinan redaksinya Mohamad Koerdie.

Hingga Jepang datang dan Sipatahoenan harus membubarkan diri dan bersatu dengan koran-koran lain menjadi surat kabar Tjahaja pada tahun 1942, Oto tetap menjadi direktur Sipatahoenan. Bahkan kemudian ia pula yang menjadi direktur koran Tjahaja.

Sejak 10 November 1941, Oto menjabat lagi direktur Sipatahoenan, merangkap sebagai direktur Sepakat, yang juga diterbitkan Paguyuban Pasundan. (Sumber: Sipatahoenan, 10 November 1941)
Sejak 10 November 1941, Oto menjabat lagi direktur Sipatahoenan, merangkap sebagai direktur Sepakat, yang juga diterbitkan Paguyuban Pasundan. (Sumber: Sipatahoenan, 10 November 1941)

Hak Interpelasi sebagai Anggota Dewan Rakyat

Meski Oto Iskandar di Nata jauh di Jakarta dan Sipatahoenan di Bandung, hubungan keduanya terjalin sangat erat. Naskah-naskah pidatonya baik untuk disampaikan di hadapan Volksraad maupun untuk kongres-kongres Paguyuban Pasundan, kerap dimuat dalam Sipatahoenan.

Untuk pidato kongres Paguyuban Pasundan antara lain dapat dibaca dalam Sipatahoenan edisi 31 Maret 1934, dalam konteks Kongres Pasundan ke-19 di Tasikmalaya (“Congres Pasoendan ka XIX: 30 Maart-April 1934”); dalam Sipatahoenan edisi 20 April 1935 untuk Kongres Pasundan ke-20 (“1915 Pasoendan 1935, 20 Taoen”) dengan tajuk “Congres Pasoendan”; dalam Sipatahoenan edisi 11 April 1936 mengenai “Poetoesan Kongres Pasoendan ke 21” yang ditandatangani oleh Oto; dalam Sipatahoenan edisi 30 Maret 1937 dengan tajuk “Openbare vergadering Pasoendan” untuk Kongres Pasundan ke-22; pidato mengenai “Theerestrictie” pada Kongres Pasundan ke-23 dalam Sipatahoenan edisi 20 April 1938; dan “Biantara Rd. Oto Iskandar di Nata dina Congres Pasoendan ka XXIV” dalam Sipatahoenan edisi 11-12 April 1939.

Selanjutnya untuk pidato-pidato Oto di hadapan dewan perwakilan rayat kolonial, antara lain pernah dimuat dalam Sipatahoenan edisi 16-22 Juli 1935 dengan tajuk “Biantara Djr. Oto Iskandar di Nata (dina koempoelan Volksraad)”; “Biantara Djrg. Oto Iskandar di Nata (Lebah Algemeene Beschouwingen” dalam Sipatahoenan edisi 25-29 Juli 1936; “Onderwijs di Volksraad: Pamandangan wakil Pasoendan, R. Oto Iskandar di Nata” dalam Sipatahoenan edisi 18-20 November 1940; dan “Naha Istri Indonesia teu Dibere Actief Kiesrecht (Hak Milih)? [Biantara djrg. R. Oto Iskandar di Nata di Volksraad]”) dalam Sipatahoenan edisi 6 September 1941.

Dalam konteks Sipatahoenan, ternyata bagi Oto Iskandar di Nata, berita-berita dan laporan-laporan yang dimuat dalam surat kabar tersebut menjadi bahan untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, terkait kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang dilakukan aparatnya. Dengan kata lain, Sipatahoenan bagi Oto adalah titik berangkat untuk mengajukan hak interpelasinya sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, terutama ketika terjadi peristiwa-peristiwa yang merugikan kepentingan warga bumiputra.

Paling tidak sepanjang 1932 hingga 1941, ada beberapa kasus yang diangkat Oto untuk mengajukan hak interpelasi kepada pemerintah kolonial berdasarkan berita, laporan dan artikel yang dimuat dalam Sipatahoenan. Sekaligus ada pula peristiwa penyitaan yang dialami Sipatahoenan dan dipertanyakan Oto kepada pemerintah. Semua kasus tersebut diliput secara luas dalam surat kabar-surat kabar berbahasa Belanda, misalnya De Indische Courant, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, De Koerier, De Sumatra Post, dan Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie.

Kasus pertama berkaitan dengan pemilihan kepala Desa Cikancung, Kabupaten Bandung, tahun 1932. Sipatahoenan mengangkatnya dalam artikel bersambung “Hakna noe djadi rahajat di Desa” (Haknya rakyat di desa) dalam edisi 27, 28, dan 30 Mei 1932. Kasus itu dijadikan bahan bagi Oto untuk mengajukan hak interpelasi pada 2 Juni 1932. Pertanyaannya terkait dengan ketidakadilan yang dialami oleh calon kepala desa bernama Alihasan. Calon tersebut dinyatakan tidak sah tanpa alasan yang jelas. Pada pemilu kedua (12 Mei 1932), Alihasan dipecat. Pada pemilu ketiga, para pemilih tidak puas dengan calon tunggal Wirasasmita dan menghendaki Alihasan, tetapi komite pemilu bersikukuh tidak mengabulkan keinginan mereka. Karena sudah dipecat, Alihasan tidak bisa menghadiri pemilu, karena dicegah polisi (De Indische Courant, 6 September 1932).

Kasus kedua terpaut dengan penyitaan lembaran kedua Sipatahoenan edisi 11 Februari 1933 oleh polisi, karena memuat laporan mengenai mosi pada pertemuan di Cirebon yang berkaitan dengan ordonansi pengawasan pendidikan swasta, yaitu Ordonansi Sekolah Liar (Wilde scholen-ordonnantie). Oto mempertanyakan mengapa pemerintah kolonial mengambil tindakan demikian kepada Sipatahoenan. Apakah pemerintah sudah memerintahkan kepada polisi Cirebon agar mencegah mosi dibacakan dalam pertemuan tersebut? (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14 Februari 1933; De Koerier, 14 Februari 1933; dan De Sumatra Post, 23 Februari 1933).

Kasus ketiga pemuatan berita kronologi dalam Sipatahoenan edisi 21 Juli 1933, yaitu: “Kalender. 21 Juli 1741. Ngamimitian Perang Soetji di sakoeliah Djawa Tengah djeung Djawa Wetan ngalawan bangsa Walanda” (Kalender. 21 Juli 1741. Mulainya Perang Suci di seantero Jawa Tengah dan Jawa Timur melawan bangsa Belanda). Dalam kasus ini, Sipatahoenan tidak dikenai delik pers dan Oto tidak mengajukan interpelasi. Namun, masalahnya, Oto yang merupakan ketua Paguyuban Pasundan, anggota Volksraad, dan dianggap loyal kepada pemerintah serta Mochamad Enoch yang notabene direktur pekerjaan umum Kabupaten Bandung disangkutpautkan dengan kasus tersebut (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 29 Juli 1933; Algemeen Handelsblad, 4 Agustus 1933).

Kasus keempat berasal dari pemuatan surat pembaca dalam Sipatahoenan edisi 21 Agustus 1935 terkait harga sawah di Rawa Lakbok. Surat tersebut ditandatangani Hardjoproewito dan bertitimangsa Banjar, 17 Agustus 1935. Oto Iskandar di Nata mengajukan hak interpelasinya kepada pemerintah kolonial pada 26 Agustus 1935, dengan pertanyaan mengapa harga tanah yang diubah menjadi sawah dan sebelumnya membentuk persil Bantardawa milik N.V. Cultuur Maatschappij Bantardawa, itu mahal ditambah lagi para petani yang sebelumnya menggarap lahan tersebut sebelum reklamasi juga menaikkan harga sawahnya (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28 Agustus 1935; De Koerier, 29 Agustus 1935; dan De Indische Courant, 31 Maret 1936).

Kasus kelima berpangkal dari tulisan “Ratoesan koeren djelema ditoendoeng di onderneming” dalam Sipatahoenan edisi 28 Januari 1939, yang melaporkan tentang pengusiran ratusan keluarga yang sudah bertahun-tahun menetap di lahan terbengkalai milik perkebunan Moendjoel dan Sinagar di Sukabumi. Oto mendesak pemerintah agar melakukan penyelidikan atas kejadian tersebut. Bila terbukti benar, pemerintah harus melakukan tindakan terhadap pihak perkebunan dan kepada masyarakat yang terusir dan hanya mendapatkan uang kompensasi sangat tidak layak (De Koerier, 3 Februari 1939).

Satu lagi, kasus keenam, adalah pertanyaan yang diajukan Oto Iskandar kepada pemerintah pada 19 Februari 1941 terkait dengan perlakuan tidak adil yang dilakukan hakim pengadilan negeri Purwakarta. Kasus ini bermula dari artikel bertajuk “Hakim Enteng-entengan” yang ditulis Sajuti dari Purwakarta dalam Sipatahoenan edisi 14 Februari 1941 (De Sumatra Post, 21 Maret 1941).

* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//