• Opini
  • Kota Bandung yang Tak Beranjak

Kota Bandung yang Tak Beranjak

Pemerintah Kota Bandung tidak pernah serius membangun transportasi publik yang baik untuk menyelesaikan masalah kemacetan. Membangun jalan tol dalam kota gagasan usa

Fiqih Rizkita Purnama

Pekerja di bidang arsitektur. Tertarik di bidang pembangunan fasilitas umum dan perkotaan. Saat ini sedang menjadi buruh migran di Australia.

Kemacetan lalu lintas di Jalan Oto Iskandar Dinata, Kota Bandung, 4 ‎Oktober ‎2022. Setiap tahunnya kemacetan lalu lintas di Bandung dirasakan meningkat. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

12 Maret 2024


BandungBergerak.id – Dua dari tiga wali kota Bandung dalam 20 tahun terakhir ini adalah koruptor. Kenyataan ini menjengkelkan. Selain karena itu adalah waktu yang panjang, sebagai warga kota Bandung kita merasakan sendiri stagnasi yang terjadi dalam perkembangan kota Bandung. Dan yang lebih mengenaskan, alih-alih terjadi peningkatan kualitas hidup, warga kota Bandung terus dihadapkan dengan permasalahan yang selalu berulang di setiap periode pemerintahan. Sampah menumpuk, kemacetan, begal, banjir, buruknya transportasi publik, dan memburuknya kualitas udara. Eta-eta deui.

Katanya, hanya keledai yang bisa jatuh di lubang yang sama. Lalu apa sebutan yang pantas disematkan untuk Kota yang melakukan kesalahan yang sama selama 20 tahun dan berencana untuk mengulangnya di waktu yang akan datang?

Dalam 20 tahun ini di Kota Bandung, setiap pergantian periode Pemkot, mereka mempunyai kebiasaan buruk untuk meneruskan dan menerapkan program periode sebelumnya yang sudah terbukti gagal. Maka tak jarang muncul lelucon berseliweran di media sosial yang mengatakan bahwa Kota Bandung ini Kota Auto-pilot. Sebuah istilah yang mewakili kegelisahan warga karena merasa ada atau tidaknya pemerintah Kota, warga tidak merasakan pemerintah yang berfungsi dengan baik.

Baca Juga: Menghitung Kerugian Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan karena Kemacetan di Kota Bandung
Kemacetan, Kegagalan Sistem, dan Dosa Individu
Pembangunan Jalan TOL Dalam Kota Bandung Bukan Solusi Mengatasi Kemacetan

Buruknya Transportasi Publik dan Kemacetan Kronis

Dalam RPJPD Kota Bandung 2005-2025, disebutkan bahwa selain rasio kapasitas jalan dengan jumlah kendaraan yang tidak seimbang, faktor lain yang menyebabkan kemacetan di kota Bandung adalah belum tersedianya Sistem Angkutan Umum Masal atau disingkat SAUM. Dua dekade yang lalu, pemerintah kota dengan gamblang menyebutkan masalah utama kemacetan Kota Bandung, dan menawarkan beberapa solusi antara lain menciptakan transportasi publik yang terpadu, membangun lebih banyak jalan, lalu membangun flyover.

Sampai dengan saat ini, Kota Bandung telah merampungkan beberapa pembangunan flyover di beberapa titik yaitu flyover Soekarno-Hatta, flyover Antapani, flyover Jl. Jakarta-Supratman, dan flyover Gatot Subroto-Laswi. Tapi ironinya, rencana untuk mengentaskan kemacetan itu gagal. Hal ini diakui dalam laporan RPJMD Kota Bandung 2018-2023 yang menyatakan bahwa salah satu janji wali kota dan program prioritas yang tidak tercapai adalah Bebas Macet.

Di lain sisi, kegagalan mengentaskan kemacetan ini juga diakibatkan karena Pemkot Bandung tidak serius dalam membangun transportasi publik yang baik, tiap periodenya Pemkot hanya berkutat pada pembaruan moda dan unit, namun tidak pernah merencanakan hal yang bersifat lebih sistemik, tidak solutif dan inovatif. Di setiap periodenya warga Bandung hanya diwariskan halte bus nir-guna yang tersebar di koridor-koridor jalan Kota Bandung.

Selalu ada alasan keterbatasan anggaran dalam pengembangan transportasi publik, tapi kita sepatutnya tidak lupa bahwa hibah Rp 1,8 triliun dari pemerintah Perancis untuk proyek double track Padalarang-Cicalengka pun telah mundur cukup lama. Ini mencerminkan tidak kompetennya pemerintah daerah kita dalam persoalan implementasi. Jadi sebaiknya kita tak perlu berharap banyak soal peremajaan kereta, transformasi menjadi kereta Listrik, monorail, cable car, atau janji-janji manis lain yang pernah terucap karena menyelesaikan apa yang sudah lama dimulai-pun tidak becus. Apalagi mengelola politik anggaran untuk kepentingan publik yang lebih bermanfaat.

Kota ini gagal dalam mengatasi permasalahan yang telah tertulis dengan gamblang sejak 20 tahun yang lalu. Tapi bodohnya, kegagalan yang sama akan terus direproduksi dengan mencanangkan pembangunan flyover baru di jalan Ciroyom dan Nurtanio. Terlebih lagi, muncul wacana untuk melanjutkan rencana Pembangunan Jalan Tol Dalam Kota Bandung atau Bandung Intra Urban Tol Road (BIUTR) kota yang telah mangkrak lebih dari 17 tahun dan digagas ulang pada tahun 2024 oleh PUPR dan Pemrov Jabar.

Lagi pula gagasan pembangunan highway atau tol dalam kota itu sudah terlampau usang dan terbukti tidak berkelanjutan. Pasca perang dunia ke-2 di sekitar tahun 1960-1970 gagasan Pembangunan Tol Dalam Kota ini bermunculan di banyak kota di dunia. Gagasan yang percaya perlu ada perubahan besar pada kota dengan mengubah area residensial dan beberapa area lainnya termasuk bangunan bersejarah menjadi jalan bebas hambatan, menciptakan ruang yang lebih besar untuk kendaraan bermotor.

Pada saat yang sama terjadi juga banyak penolakan karena daripada manfaatnya, perencanaan model ini lebih banyak berpotensi untuk menghancurkan kehidupan kota. Adri Duivesteiin Anggota Dewan (Alderman) Den Haag menyebut gagasan perencanaan kota itu disebut sebagai sebuah ide yang megalomaniak. Dia tidak setuju dengan gagasan pembangunan modernist yang berspekulasi bahwa kendaraan bermotor (mobil) memegang peranan penting dalam sebuah perkembangan kota.

Bertolak belakang dari gagasan tersebut, dia justru memiliki pandangan bahwa kota yang baik adalah kota dengan perkembangan yang mixed-use, kota yang mengintegrasikan area residensial, komersial dan cultural yang dipadukan dengan infrastruktur transportasi publik yang baik. "Kota yang menjadikan interaksi warganya salah satu poin penting, maka dari itu transportasi publik menjadi hal yang esensial dalam perencanaannya, dan kendaraan pribadi menjadi opsi yang sekunder,” ujarnya

Penolakan terhadap rencana pembangunan jalan tol juga terjadi di London pada tahun 1970-an. Penolakan itu digalakkan oleh Partai Buruh (Labor Party) dengan alasan  pembangunan jalan tol ini akan terjadi penggusuran pada 20 ribu warganya dan tidak ada perencanaan mengenai relokasi dan nasib yang jelas bagi warganya di kemudian hari.

Pembangunan yang Tak Beranjak

Kredo “City is not for car but for people” dari Jane Jacobs sebagai aktivis perkotaan menjadi pemantik penolakan warga kota terhadap pengistimewaan kendaraan bermotor dalam perencanaan kota pasca perang dunia kedua di berbagai belahan dunia. Tak lain karena pembangunan jalan tol dalam kota ini akan menciptakan kerusakan pada ruang hidup kota. Akan memunculkan masalah urban lainnya selain kemacetan, antara lain adalah penggusuran dan terjadi penghilangan sejarah dan kultur kota. Gelombang penolakan ini menjadi fenomena yang vital dalam perkembangan kota di Belanda, Inggris, dan kota-kota lainnya untuk menjadi kota seperti hari ini.

Jadi bisa kita bayangkan hilangnya nalar pemegang kewenangan daerah kita, ide yang muncul dan sudah ditolak keras sejak 50 tahun yang lalu di berbagai kota di dunia malah akan direproduksi lagi di hari ini, di kota kita.

Hal ini juga menjadi sebuah gambaran bahwa pemerintah daerah kita rupanya bukan hanya tidak becus dalam tataran implementasi, tapi juga terbelakang dan malas sejak dalam tataran pikiran. Sebagai warga yang 20 tahun memiliki pemerintah korup, menjadi hal yang wajar jika kita berpikir bahwa rencana-rencana yang dicanangkan pemerintah ini bukan bertujuan untuk mengatasi akar permasalahan perkotaan, tapi hanya perencanaan program pengadaan-pengadaan yang mudah diselewengkan dan menjadi bancakan.

Itu juga yang menjadi alasan kita warga Kota Bandung untuk menolak pembangunan flyover atau tol dalam kota juga program lainnya yang merupakan insentif kepada kendaraan bermotor. Kita perlu mulai mengawasi dan mendorong pemerintah kota untuk lebih serius membangun fasilitas umum dan transportasi publik yang lebih baik.

Warga Kota Bandung yang sehari-harinya di atas kendaraan bermotor mengeluh tentang kemacetan, yang jengkel sudut kotanya dihiasi oleh sampah yang menumpuk, yang dihantui banjir ketika hujan besar mengguyur, yang merasa tidak aman bepergian di malam hari, yang tidak nyaman menggunakan transportasi publik, pernahkah kalian berangan-angan kapan hal tersebut membaik?

Dan sadarkah kalian bahwa hal-hal itu tidak akan membaik dalam beberapa periode ke depan karena kota ini sedang tidak melakukan apa-apa, dan mulailah menyadari bahwa kita warga yang hidup di kota yang tak beranjak.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//