• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #26: Bada Zuhur, Aku Berangkat ke Bandung

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #26: Bada Zuhur, Aku Berangkat ke Bandung

Tuhan mengabulkan tekadku sejak duduk di bangku sekolah untuk berkembang di luar kampung. Semua jalan dibuka, walau dalam prosesnya Baba meninggalkanku selamanya.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Penulis. (Foto: Asmali)

17 Maret 2024


BandungBergerak.id – Akhirnya hari itu datang juga. Aku siap berangkat ke Bandung sebagai tanah perantauanku. Tentu ini akan berbeda dengan kedatanganku ke Bandung yang lalu. Kali ini jangka panjang, entah sampai kapan, dan entah akan bagaimana hidupku di sana. Aku hanya bisa mengucap Bismillah, semoga semuanya dilancarkan.

Aku berangkat di hari Selasa siang, selepas jam salat Zuhur. Di rumah saat itu masih banyak saudara yang tinggal mengingat belum lama juga Baba, ayahku meninggal dunia. Aku lantas pamit dengan adik Baba yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Mereka tampak masih menahan kesedihan, sementara aku, tak banyak yang bisa aku katakan, hanya bisa mengucap agar sanak saudara sekalian mendoakan aku. Sambil aku titipkan ibuku selagi aku merantau ke Bandung. Semua yang ada terlihat haru.

Semua ini aku terima memang sudah jalan hidupku, dan aku juga tak bisa menyangkal kalau ini adalah hal yang aku cita-citakan. Sejak aku masih sekolah, aku memang sudah bertekad untuk berkembang di luar kampung, dan ternyata apa yang aku tekadkan dikabulkan oleh Tuhan, seakan-akan semua jalan dibuka, tak ada yang menyangka, tak ada yang tahu. Meskipun dalam prosesnya, saat aku diterima bekerja, Baba meninggalkanku untuk selamanya.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #23: Baba Meninggal Dunia (1)
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #24: Baba Meninggal Dunia (2)
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #25: Mempersiapkan Diri ke Bandung

Perjalanan Menuju Bandung

Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung banyak yang aku pikirkan. Salah satunya tentang rumah kos yang belum aku siapkan. Rencananya sih, setibanya di Bandung aku akan langsung menuju Jalan Padjadjaran untuk mencari rumah kos. Karena aku sudah berulang kali ke Bandung aku sudah tidak merasa asing, begitu pun saat aku harus mencari rumah kos. Aku cari yang gampangnya saja, yakni rumah kos yang waktu itu aku huni saat kerja praktik dulu. Pertimbanganku, aku sudah kenal dengan pemilik kos, bahkan mereka sudah pernah ke rumahku di Jakarta. Setidaknya aku akan lebih terbiasa. Mudah-mudahan saja ada kamar kosong di sana.

Jujur saja perasaanku masih campur aduk. Masih bingung dan masygul, walaupun aku harus berpikir jernih dan mempersiapkan hidup baruku di perantauan ini. Tapi bagaimana pun di hati kecilku, aku masih belum menyangka kalau ketika aku pergi, Baba sudah tiada.

Teringat detik-detik kejadian itu dan teringat juga betapa pedulinya orang-orang di lingkunganku pada keluarga kami. Kak Nyoman, seorang tetangga yang bekerja di Rumah Sakit Pertamina misalnya, sempat bilang padaku, andaikan Baba dibawa ke rumah sakit mungkin masih akan tertolong. Ah tapi itu sudah takdir Ilahi.  Semua hanya tinggal kenangan. Yang hanya selalu terlintas di benakku, mestinya aku senang dengan kepergianku ini, yang lama aku cita-citakan. Tetapi Allah berkehendak lain, seakan-akan Allah selalu menyuruhku dekat dengannya.

Tak terasa bus ini sudah masuk Bandung. Sebentar lagi aku turun, aku bersiap-siap mendekati pintu bus. dan akhirnya ke tempat yang kutuju, yakni rumah kos yang sebelumnya aku huni selama kerja praktik. Bus yang aku tumpangi tepat berhenti di Gerbang Teluk Buyung Kaler. Aku langsung datang ke rumah kos tersebut, keluarga ibu kos kebetulan sedang berkumpul. Mereka menyambutku riang.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//