SISI LAIN SCHOEMAKER #20: Masa-masa Akhir
Wolff Schoemaker dihadapkan pada masa-masa sulit setelah pensiun dari Technische Hoogeschool Bandung hingga meninggal dunia di usia 66 tahun pada 22 Mei 1949.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
18 Maret 2024
BandungBergerak.id – Sejak menjadi arsitek terkemuka, perjalanan hidup Wolff Schoemaker banyak menampilkan hal-hal di luar keilmuannya dalam bidang seni arsitektur. Meskipun tidak dapat dimungkiri, bahwa dari bidang yang digelutinya itu, Wolff Schoemaker juga banyak menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan, atau bahkan ikut terlibat dalam urusan politik dan dunia akademik. Hal itu ia tunjukan kala menjadi anggota Gemeenteraad Bandung dan didaulat sebagai guru besar pada Technische Hoogeschool Bandung. Lalu, nama Schoemaker pun kian menjadi sorotan dan dianggap sebagai tokoh penting sampai menjelang akhir hayatnya.
Baca Juga: SISI LAIN SCHOEMAKER #17: Polemik Masjid Cipaganti Bagian II
SISI LAIN SCHOEMAKER #18: Masjid Cipaganti Diresmikan
SISI LAIN SCHOEMAKER #19: Pergi ke Jazirah Arab
Pensiun sebagai Guru Besar
Pada 19 September 1940, surat kabar berbahasa Belanda, De Sumatra Post melaporkan bahwa Wolff Schoemaker direncanakan akan pensiun sebagai guru besar THS Bandung pada tanggal 31 Desember. Surat kabar itu pun mengulas sedikit perjalanan hidup Schoemaker dari masa kelahirannya hingga ia aktif dalam berbagai studi arsitektur. Konon, sebagai orang Belanda yang lahir di Banyubiru pada 25 Juli 1882, Wolff Schoemaker mula-mula menjabat sebagai insinyur perwira di Hindia Belanda dari tahun 1905 sampai 1911. Lalu Schoemaker tinggal di Batavia sebagai arsitek, tempat dirinya bekerja Bersama P.A.J. Mooyen. Pada tahun 1913 Wolff Schoemaker menjadi insinyur dalam biro desain B.O.W. Departemen Bangunan Nasional. Meski demikian pada tahun berikutnya Schoemaker didaulat sebagai direktur Pekerjaan Umum di Batavia hingga tahun 1917. Di tahun-tahun ini, Schoemaker melakukan studi banding ke negeri Jepang dan Amerika Serikat.
Pada tahun selanjutnya, Schoemaker kembali ke Hindia Belanda dan memantapkan dirinya sebagai arsitek di Bandung. Setelah menetap selama tiga tahun, Wolff Schoemaker melakukan studi ke negara Eropa, Mesir dan British India. Kemudian ia kembali ke Bandung untuk bekerja sebagai profesor biasa, hingga diangkat menjadi guru besar penuh pada Tecnische Hoogeschool (kini Institut Teknologi Bandung) (De Sumatra Post, 19 September 1940).
Di samping itu, surat De Sumatra Post juga mengulas berbagai karya yang dihasilkan Wolff Schoemaker dalam bidang arsitektur. Sebut saja antara lain, rancangan mengenai Gedung Concordia, Pabrik Gas, Gedung Jaarbeurs, Gedung Gebeo, Hotel Preanger, fasilitas renang Centrum, monument Dr. de Groot, masjid, gereja Katolik dan Protestan, Observatorium di Lembang, Villa Isola, dan lain-lain. Sementara di Batavia, Wolff Schoemaker merancang bangunan-bangunan penting seperti sekolah dokter STOVIA, serta ketika menjadi direktur Pekerjaan Umum ia merancang perluasan kota dan saluran untuk pipa air.
Bataviaasch Nieuwsblad 14 September 1940 melaporkan bahwa Wolff Schoemaker melakukan pensiunnya sebagai profesor dengan merujuk pada keputusan tanggal 13 September 1940. Berhentinya Schoemaker sebagai guru besar pada Fakultas Ilmu Teknik tersebut mulai berlaku tanggal 31 Desember 1940 berbarengan dengan berhentinya seorang kepala Kompi Teknik Pembentukan Angkatan Laut di Surabaya bernama F. K. Kuper yang sama-sama dianggap telah mengerjakan tugasnya dengan baik.
Di samping itu, kabar mengenai pensiunnya Schoemaker diberitakan juga oleh De Indische Courant edisi 15 Januari 1941. Konon, dalam masa pensiunnya tersebut, Wolff Schoemaker digantikan oleh Ir. W. Lemei Jr. yang kala itu menjabat kepala sub divisi Bangunan Nasional Departemen van Verkeer & Waterstaat (Departemen Tranpostasi, Pekerjaan Umum dan Pengelolaan Air). Sebelumnya, Ir. Lemei pernah menduduki Kepala Dinas Pengelolaan Air Provinsi Jawa Timur, bahkan disebut-sebut mempunyai andil yang cukup besar dalam merancang pembangunan kantor gubernur yang baru. Selain itu ia juga merupakan anggota komisi yang mempelajari beragam isu untuk pembangunan kota.
Masa-masa Sulit
Setelah pensiun, Wolff Schoemaker mesti mendapati masa-masa sulit. Hal itu dialaminya selama memasuki Perang Dunia berkecamuk sampai kondisi fisik yang dirasa terus berkurang. Mula-mula perang memecahkan negara-negara di Eropa dan Asia, tetapi tampaknya peristiwa ini berimbas pada kehidupan Schoemaker. Pada saat Jerman menginvasi Belanda, Schoemaker menyatakan sikapnya yang bersimpati terhadap Jerman. Meskipun menurut Dullemen, sikap yang ditunjukkan oleh Schoemaker ini bukanlah bagian dari pengkhianatan. Pandangan Dullemen atas sikap Schoemaker tersebut dapat dilihat dari kesamaan sikap yang ditunjukkan oleh sebagian orang Belanda maupun Indo di Hindia Belanda, karena mereka ingin agar terciptanya pemerintahan yang kuat secara serius (2018: 76).
Selama dua tahun perang berlangsung, kala itu Schoemaker sedang berada di Bandung, sementara anak perempuannya, Lucie, berada di Belanda dan berhasil kabur dari tentara Jerman menggunakan kapal SS Sibajak menuju Batavia. Meski berhasil kabur, pelayaran Sibajak menuju Batavia tampaknya tidak berjalan dengan mulus. Lucie terpaksa harus berlayar ke Amerika dan Afrika Selatan selama dua bulan hingga akhirnya ia tiba di Pelabuhan Tanjong Priok (Dullemen, 2018: 76).
Tahun 1949, merupakan perjalanan hidup terakhir bagi Schoemaker. Penyakit yang kian menggerogoti tubuhnya membuat Schoemaker tak bisa bertahan lebih lama lagi. Tepat di tanggal 22 Mei, Schoemaker dinyatakan meninggal dunia. Beberapa koran berbahasa Belanda seperti De Locomotief: Samarangsch handels en advertensie-blad, Algemeen Handelsblad dan juga Indisch Courant voor Nedeland turut memberitakan kematian Schoemaker. Menurut Indisch Courant voor Nederland 1 Juni 1949, Wolff Schoemaker meninggal dunia secara mendadak pada tanggal 22 Mei di Bandung. Koran itu pun menyebut bahwa Schoemaker merupakan seorang perwira insinyur, profesor teknik di THS, sekaligus ksatria Ordo Singa Belanda.
Dengan kematiannya di usia 66 tahun itu tentu saja menimbulkan duka bagi keluarga beserta orang-orang terdekat. Sementara, pada pengujung kepulangannya menuju Pandoekerkhof, Schoemaker diantarkan oleh khalayak ramai dengan berbondong-bondong memadati jalanan di Kota Bandung. Media berbahasa Belanda, Het Dagblad 26 Mei 1949 menyebut, jika upacara pemakaman Wolff Schoemaker yang digelar di Pandoekerkhof dipenuhi oleh minat yang menyaksikan. Semula Sukarno menjanjikan bahwa prosesi pemakaman Schoemaker akan digelar dengan cara Islam. Namun, hal ini tidak terlaksana, karena Schoemaker disebut-sebut telah kembali memeluk agama Katolik beberapa saat menjelang kematiannya. Salah satu alasan logis terkait kepindahan tersebut menurut Dullemen, yakni, adanya tekanan mental dari pihak keluarga supaya Schoemaker kembali memeluk agama Katolik.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Hafidz Azhar, serta artikel-artikel lain bertema sejarah.