• Kolom
  • PAYUNG HITAM #27: Menggugat Demokrasi Kotak Suara

PAYUNG HITAM #27: Menggugat Demokrasi Kotak Suara

Ruang kebebasan sipil di Indonesia mengalami kemunduran yang cukup signifikan, bahkan mungkin bisa jadi yang terburuk semenjak Orde Baru berakhir.

Fayyad

Pegiat Aksi Kamisan Bandung

Aksi Kamisan Bandung di depan Gedung Sate, Bandung, Kamis, 1 Februari 2024. (Foto: Raihan Malik/BandungBergerak.id)

21 Maret 2024


BandungBergerak.id – Masih banyak kalangan yang mempercayai bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menganut prinsip-prinsip demokrasi dan menghormati nilai-nilai hak asasi manusia. Tidak jarang pula orang menganggap demokrasi itu adalah hanya ketika berpartisipasi dalam setiap pemilihan umum dan/atau pemilihan lembaga eksekutif dan legislatif yang biasanya digelar setiap 5 tahun sekali, dengan penyematan sebutan yang begitu luar biasa karena telah terlibat dalam "pesta demokrasi".

Produk-produk kebijakannya baik itu berbentuk undang-undang; peraturan pemerintah; peraturan daerah; dan lain sebagainya turut dimaknai sebagai kebijakan-kebijakan yang demokratis karena telah dirumuskan dan disahkan melalui representatif (perwakilan) eksekutif dan legislatif di parlemen sana. Hal-hal seperti ini terus dipelihara bahkan mungkin saja telah menjadi sebuah ajaran dan doktrin bahwa demokrasi memang hanya sebatas dan sedemikian sempit pemaknaannya.

Perlu diketahui bahwa situasi demokrasi di Indonesia pun cukup menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Sebagian kelompok masyarakat sipil juga menyoroti situasi dan kualitas demokrasi yang berada di wilayah yang bermasalah bahkan mengarah pada kemunduran (declining) signifikan. Indikator-indikator kemunduran nilai demokrasi dapat dilihat di antaranya dari memburuknya kebebasan sipil; pembungkaman kritik oleh kuasa eksekutif yang terus menggelembung; penggunaan cara-cara otoriter yang represif kepada siapa pun yang dianggap membahayakan kekuasaan; serta berbagai indikator lain yang tidak hanya sebatas menyasar aspek ruang kebebasan sipil dan pluralisme saja, namun juga fungsi pemerintahan.

Lebih terperinci lagi bagaimana kriminalisasi dengan menggunakan instrumen legal/hukum (somasi hingga UU ITE) masih digunakan untuk membungkam kritik; intimidasi (terror, kriminalisasi) dan kekerasan (penangkapan sewenang-wenang, penembakan/pembunuhan) bahkan hingga berujung kematian terhadap kelompok rentan dan minoritas masih terus terjadi; pun dalam ranah kebebasan akademik di kampus masih terlihat tren ancaman (skorsing/drop out) di dalamnya; serta pembatasan ruang berekspresi bagi orang-orang Papua.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #24: Aanmaning dan Ironi Pemilu bagi Warga Dago Elos
PAYUNG HITAM #25: Cerita Orde Baru yang (mungkin) Terjadi Kembali
PAYUNG HITAM #26: PN Bandung Enggan Mendengar, Warga Dago Elos Tak Gentar

Kemunduran Demokrasi

Dalam catatan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) pada kurun waktu 2018 - 2021 saja terdapat setidaknya 799 pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dengan rata-rata masih di atas 200 pelanggaran di setiap tahunnya. Pemberangusan ruang dan suara kebebasan masyarakat sipil yang merupakan bentuk pelaksanaan hak yang tentunya dijamin dan dilindungi secara konstitusional juga masih berlanjut bahkan di ruang publik sekalipun dengan kepolisian sebagai aktor dominan. Kepolisian dengan berbagai tindakan di lapangan sangat menunjukkan wataknya yang represif dan anti kritik, di mana hal tersebut sebagai perwujudan bahwa negara melalui aparaturnya masih melakukan tindakan-tindakan yang demikian. Kita masih mengingat bagaimana aksi #ReformasiDikorupsi dan penolakan terhadap Omnibus Law menjadi catatan hitam pelanggaran HAM berupa pengerahan kekuatan secara berlebih yang hingga kini tidak pernah benar-benar diusut secara serius.

Dengan adanya berbagai fenomena represif –yang belum dapat saya jelaskan secara rinci kasus-kasusnya– saya rasa telah cukup menunjukkan bahwa ruang kebebasan sipil di Indonesia benar-benar mengalami kemunduran (shringking) yang cukup signifikan bahkan mungkin bisa jadi yang terburuk semenjak Orde Baru berakhir. Begitu pula dengan ruang-ruang aktif dalam penyampaian pendapat/ekspresi yang kian menyempit menandakan krisis ruang kebebasan sipil benar-benar terjadi dan masyarakat menjadi semakin takut berekspresi terlebih ketika mengkritik negara. Apabila hal seperti ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin rezim otoritarian akan terlahir kembali dan situasi akan berangsur-angsur menuju penutupan ruang kebebasan sipil (closing civic space).

Maka, sudah selayaknya kita mencurigai demokrasi, terlebih demokrasi parlementariat yang penuh dengan omong kosong dan kebohongan yang dilakukan oleh para perwakilan elite politik dengan sokongan dari para pemodal dengan tujuan melindungi kepentingan dan mengakumulasi keuntungan mereka saja serta justru berdampak menghasilkan penyelewengan, kesewenang-wenangan bahkan ketidakadilan. Menggugat demokrasi kotak suara (elektoralisme) adalah keharusan dengan mulai memecat siapa pun yang mencoba mereduksi makna demokrasi itu sejak dalam pikiran kita.

Demokrasi itu bukan melalui kotak suara dan perwakilan di parlemen. Demokrasi justru muncul dari banyaknya perbedaan dan ketidaksepakatan dengan implementasi nyata melalui ruang-ruang otonom kecil yang bebas merdeka di mana setiap suara-suara individu di dalamnya memiliki hak untuk bersuara dan berekspresi tanpa adanya ancaman dan ketakutan.

Merebut kembali ruang dan waktu kebebasan sipil warga di tengah situasi krisis seperti ini membutuhkan keberanian dan keyakinan yang kuat bahwa hal tersebut merupakan hak yang tidak diberikan dari atas (kekuasaan) begitu saja, melainkan sesuatu yang harus direbut dan dipertahankan setiap waktu. Merebut ruang dan waktu kebebasan sipil juga berarti mengimajinasikan alternatif seperti apa dan bagaimana, di luar daripada apa yang konvensional (yang diajarkan oleh negara) dengan mengusulkan semangat desentralisasi yang hadir di banyak titik, di banyak diri tiap-tiap orang yang sadar akan kondisi ini, mungkin bisa disebut sebagai melokalkan perlawanan. Tidak lupa terus menyebar dan berjejaring secara horizontal antar warga tanpa adanya tokoh sentral. Semangat solidaritas yang terus dilatih dan dimiliki secara bersama sedikit demi sedikit akan mengikis ketakutan yang menyebar. Karena kita memaknai solidaritas sebagai senjata yang harus dikokang bersama-sama dengan menyebarkan keberanian.

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//