• Kolom
  • BUNGA DI TEMBOK: Seekor Kera dan Seorang Badut yang Mampir Menjadi Loper Koran

BUNGA DI TEMBOK: Seekor Kera dan Seorang Badut yang Mampir Menjadi Loper Koran

Noni berhenti menjadi loper koran begitu ia memperoleh uang tabungan. Kasim harus berubah menjadi badut agar bisa menghibur anak-anak.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Sampul buku Noni sebagai Pengantar Koran (2006) karya Andy Wasis. Ilustrasi buku terbitan Panca Anugerah Sakti, Jakarta ini dikerjakan oleh Sukmana. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

23 Maret 2024


BandungBergerak.id – Di tengah lapangan, menjelang petang, Noni tercenung sendirian setelah puas bermain dengan teman-teman barunya. Ia menyadari kesalahan besar yang baru saja ia buat. Dua puluh koran yang mestinya ia kirimkan kepada 20 pelanggan ludes sebagai bahan membuat layang-layang.   

Di waktu yang sama, di kantor agen koran, para pelanggan berdatangan untuk mengeluh karena tidak kunjung mendapatkan koran. “Hari ini Noni tidak datang menyampaikan koran kepada kami,” ujar para pelanggan.

Noni, si loper koran, adalah seekor kera kecil yang sedang berusaha mengumpulkan uang untuk bekal perjalanan berikutnya. Kisahnya termuat dalam buku cerita anak bergambar Noni sebagai Pengantar Koran (2006), bagian dari serial Petualangan Noni, karya Andy Wasis. Ilustrasi buku terbitan Panca Anugerah Sakti, Jakarta ini dikerjakan oleh Sukmana. Gayanya serupa sapuan cat air.

Sebelum menjadi penjual koran, Noni dikisahkan mengalami berbagai kejadian yang banyak didorong oleh rasa ingin tahunya, dimulai dari kaki yang sakit akibat terjatuh dari tangga. Oleh Sang Juru Masak, teman lamanya, si monyet kecil lalu dibawa berobat ke dokter. Di tengah perawatan, Noni dibuat penasaran oleh sebuah botol berisi ether. Dia menghirup aromanya, lalu jatuh pingsan sehingga membuat geger satu rumah sakit.

Setelah sembuh, di tengah perjalanan meninggalkan rumah sakit, Noni berkenalan dengan Ali, seorang bocah yang melintas dengan sepedanya. Lagi-lagi, si kera kecil penasaran dengan cara kerja sepeda. Ia pun meminta izin untuk menjajal keajaiban itu dan dalam waktu cepat menguasai tekniknya.

Di tengah permainan sepeda, Noni mengetahui Ali bekerja sebagai loper koran. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, sang bocah mengantarkan puluhan koran ke para pelanggannya dengan naik sepeda. “Bolehkah aku bekerja sebagai pengantar koran?” tanya Noni.

Ilustrasi buku Noni sebagai Pengantar Koran (2006) menggunakan gaya serupa sapuan cat air. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)
Ilustrasi buku Noni sebagai Pengantar Koran (2006) menggunakan gaya serupa sapuan cat air. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

Begitulah Noni memulai petualangannya sebagai loper koran. Semua berjalan lancar sampai suatu ketika ia bertemu dengan sekelompok anak-anak yang sedang membuat layang-layang. Rangka sudah beres, tapi bahan kertas sebagai penampangnya tiada. Noni pun dengan lugunya menawarkan koran-koran yang dia bawa untuk digunakan.

Kisah Noni ditutup dengan akhir yang membahagiakan. Sang agen, yang mendapati Noni tercenung sendirian di lapangan, memaafkan kesalahan sang loper. Ia memberi kesempatan pada Noni untuk kembali mengantarkan koran dan dengan demikian bisa menabung uang. Ketika Noni pamit, setelah memiliki cukup uang sebagai bekal perjalanan mencari kawannya, Si Pemburu, sang agen memberikan juga hadiah.

Mengenakan tas punggung warna hijau, Noni, si kera kecil yang serba ingin tahu, melambaikan tangan kiri ketika berjalan dengan penuh percaya diri meninggalkan kantor agen koran.

Sampul buku Mimi dan Penjual Koran Bernama Kasim (2009) karya Cara Djalil. Ilustrasi buku terbitan Kreasi Imaji Sakti, Jakarta ini dikerjakan oleh Isti. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)
Sampul buku Mimi dan Penjual Koran Bernama Kasim (2009) karya Cara Djalil. Ilustrasi buku terbitan Kreasi Imaji Sakti, Jakarta ini dikerjakan oleh Isti. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

Menyulap Koran Jadi Bola

Cerita lain tentang loper koran, meski sama-sama terkesan sekadar mampir, datang dari Kasim. Setiap hari ia menjajakan koran di depan sebuah rumah sakit. Namun begitu jam berkunjung selesai, setelah suasana menjadi sepi, ia berubah menjadi seekor badut demi menghibur anak-anak yang sedang dirawat.

Kisah Kasim termuat dalam buku cerita anak bergambar Mimi dan Penjual Koran Bernama Kasim (2009), bagian dari serial Mimi, karangan Cara Djalil. Ilustrasi buku yang diterbitkan oleh Kreasi Imaji Sakti, Jakarta ini dikerjakan oleh Isti. Warna-warna pastel amat dominan.

“Hai kawan, jangan murung. Aku akan menghiburmu,” kata Kasim di dalam ruang rawat yang berisi enam orang anak.

Sang loper koran sudah berbungkus kostum badut berwarna oranye dengan motif bola-bola hijau. Hidungnya ditempeli dengan bola karet warna merah menyala yang kontras dengan rampul kribo warna ungu.

Atas permintaan Tita, salah seorang anak yang dirawat, Kasim membacakan buku cerita bagi mereka. Setelah itu, ia mulai beraksi dengan bantuan sebuah kantong kain dan tongkat ajaib. Lembaran koran ia masukkan ke dalam kantong itu.

“Tok tok tok! Koran-koran, hibur teman-temanku!” katanya seraya mengetukkan tongkat.

Dan keajaiban memang terjadi! Dari kantong kain itu, muncullah sebuah bola hijau. Semua anak yang ada di ruang perawatan bertepuk tangan gembira. Demikianlah Kasim, yang juga mahir berdendang dan bersalto itu, berhasil menghibur para pasien anak.

Lalu, di manakah koran yang tadi dimasukkan ke dalam kantong? Ia digambarkan tergeletak begitu saja di lantai! Nama koran itu, yang dituliskan dengan font dan kemiringan yang amat ikonik, cukup menohok juga: “Kompos”.

Warna-warna pastel dominan digunakan pada ilustrasi buku Mimi dan Penjual Koran Bernama Kasim (2009). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)
Warna-warna pastel dominan digunakan pada ilustrasi buku Mimi dan Penjual Koran Bernama Kasim (2009). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

Kesementaraan yang Menjelang Punah (?)

Pekerjaan loper koran, yang ada di ujung alur bisnis media, bagaimanapun pernah (dan mungkin masih) menjadi sandaran hidup bagi ratusan atau mungkin ribuan keluarga. Namun orang-orang yang bergelut di dalamnya sering kali adalah sosok-sosok tanpa nama. Tidak seperti para wartawan apalagi taipan media yang memiliki kemampuan, dan lebih dari cukup modal, untuk menuliskan cerita mereka sendiri.

Kisah Noni dan Kasim mengingatkan kita pada kesementaraan yang amat sering dilekatkan pada pekerjaan loper koran. Tidak sedikit komik, novel, dan bahkan memoar yang menceritakan sang tokoh sebagai ia yang pernah menjadi penjual koran. Dan cukup sampai di situ. Cerita utamanya tetaplah tentang seorang pengusaha sukses atau seorang jenderal berkarier cemerlang yang, sebagai adegan tambahan, dulunya (entah di masa kecil, remaja, atau kuliahan) harus hidup susah sebagai loper koran.

Pekerjaan menjual koran menjadi ‘sekadar’ persinggahan. Menjadi tempat mampir sebelum sang tokoh melanjutkan perjalanan kehidupannya ke posisi yang sering kali dicap ‘lebih baik’. Seperti Noni yang melanjutkan petualangan menemukan kawannya Si Pemburu atau Kasim yang berubah menjadi badut penghibur.

Bekerja sebagai loper koran menjadi bahan bernostalgia yang berlumur kebaikan dan kemuliaan. Ada pengorbanan dan kerja keras dalam rutinitas mengantarkan koran tiap pagi benar, dan mungkin kebiasaan melemparkannya ke halaman rumah yang pagarnya tergembok. Ada tanggung jawab untuk membantu perekonomian keluarga dengan mengais rezeki tambahan. Semua yang baik, yang sebagiannya heroik, yang dikisahkan. Menjadi loper koran adalah sebuah teladan.

Terbit tepat sebelum era internet dan media sosial datang bergelombang menyapu kejayaan masa emas media cetak, dua buku cerita anak bergambar Noni sebagai Pengantar Koran (2006) dan Mimi dan Penjual Koran Bernama Kasim (2009) menjadi arsip berharga sebelum pekerjaan ini, seperti juga penjaga warung telepon (wartel) dan warung internet (warnet), nantinya benar-benar punah. Kita menyaksikan bagaimana dalam 10 tahun terakhir bisnis media cetak bergegas menuju senjakalanya. Satu per satu koran tutup. Yang lain bersiasat dengan mengurangi jumlah oplah. Di Bandung, bursa koran Cikapundung yang dulu mirip pasar subuh, kian hari kian lengang.

Tak ayal, perpisahan dengan koran, dan tentu juga pekerjaan loper koran, tinggal menunggu waktu. Dan ketika hari itu akhirnya tiba, boleh jadi ia akan berlangsung secara syahdu seperti adegan Noni berjalan meninggalkan kantor agen koran. Ada senyuman dalam lambaian tangan.

Namun bisa juga perpisahan atau kepunahan itu terjadi secara keras dan kejam. Seperti kertas koran yang tercampak di dinginnya lantai ruang rawat anak yang dikunjungi Kasim. Bukan lagi berita-berita yang sanggup memberi hiburan, melainkan bola hijau yang menggantikannya! Bukan lagi loper koran yang ditunggu-tunggu kedatangannya, melainkan badut lucu nan menggemaskan!

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//