• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #27: Hari Itu Aku Tiba di Bandung

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #27: Hari Itu Aku Tiba di Bandung

Aku mendapat kamar di rumah kos di daerah Teluk Buyung Kaler. Aku kembali ke Bandung sebagai pegawai muda di industri pesawat terbang Nurtanio.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Bangunan terminal bandara Husein Sastranegara. (Foto: BandungAirport.com)

24 Maret 2024


BandungBergerak.id – Hari itu aku tiba di Bandung. Dari Jakarta naik bus di Cililitan pagi-pagi kemudian turun tepat di Jalan Padjadjaran, tempat aku dulu sempat tinggal saat kerja praktik di masa STM dulu. Tidak menyangka aku akan kembali lagi ke sini sebagai pegawai muda di industri pesawat terbang Nurtanio. Letak rumah kosku tidak jauh dari jalan besar, Teluk Buyung Kaler tepatnya. Aku langsung masuk, kebetulan ibu kosku dan keluarga sedang kumpul.

Aya naon Li, ameng?,” kata ibu kos, yang aku sapa tante, tidak lama ketika aku sampai. Mungkin ia kaget tiba-tiba aku kembali ke Bandung. Tanpa mengabari pula, maklum di zaman itu belum ada ponsel seperti sekarang, telepon juga belum semua keluarga punya.

Muhun tante,” jawabku. Sambil menyapa sejumlah penghuni kos lain yang kebetulan ada di situ. Mereka latar belakangnya macam-macam. Ada karyawan, mahasiswa, maupun pelajar.

“Ada kamar kosong enggak, tante?” aku bertanya.

“Buat siapa?” tanya tante.

“Buat saya tante, Alhamdulillah saya keterima kerja di Nurtanio,” jawabku dengan senyum.

“Yang bener? Beneran keterima Li? Alhamdulillah. Selama tes bobo di mana?” tanya tante pemilik kos tampak antusias. Aku diberondong banyak pertanyaan, mulai dari bagaimana proses tesnya, kenapa selama tes tidak mampir ke tempatnya, atau cerita tante tentang anak-anak lain yang bolak balik tes tetapi belum keterima. Tante juga menanyakan kabar dari teman-teman seangkatanku di STM yang pernah tinggal juga di tempat tante selama kerja praktik  Sayang aku sudah lama tidak bertemu mereka, jadi tidak tahu kabarnya.

“Ada Li kamar kosong mah, tenang saja,” kata tante kemudian.

Alhamdulillah. Paling tidak tempat tinggalku di Bandung sudah aman. Saat itu aku sendiri masih linglung dengan semua hal yang terasa buru-buru. Aku harus berangkat sementara Baba, ayahku belum lama meninggal dunia. Selama percakapan dengan tante pemilik kos aku juga menyembunyikan dukaku.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #24: Baba Meninggal Dunia (2)
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #25: Mempersiapkan Diri ke Bandung
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #26: Bada Zuhur, Aku Berangkat ke Bandung

Kos di Bandung

Tetapi aku tetap bersyukur. Aku mengambil hikmah dari kehidupanku ini. Aku hidup dalam satu atap, bisa mengenal banyak orang dari perbedaan suku, budaya, karakter, pendidikan, kelas sosial, keturunan, dan sifat orang per orang. Hidup di rantau kita tidak bisa merasa menjadi “yang paling”, kita tidak bisa merasa “yang ter-“. Di sini kita merasa saudara ketemu gede. Di perantauan kita tidak bisa membawa nama keturunan, yang kita bisa bawa hanyalah nama kita sendiri.

Di tempat kosku ada banyak orang dari berbagai wilayah di Indonesia. Ada yang dari Tasikmalaya, Medan, Jakarta, Solo, Madiun, Cirebon, Kuningan, atau Purwakarta. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa di Unpar atau IKIP yang kini lebih dikenal dengan nama UPI.

Karena sudah dapat kamar dan sudah membayar untuk satu tahun ke depan, setelah beramah-tamah aku pun pamit masuk ke kamarku. Sekadar beres-beres. Kemudian ke kamar mandi karena waktu juga sudah mau Magrib. Begitu aku jalani aktivitas di malam pertamaku di Bandung. Mencari makan setelah sembahyang dan kembali lagi ke kos. Aku lihat banyak anak kos sudah di kamar masing-masing di malam hari. Mungkin sedang belajar. Aku sendiri tidak berlama-lama di luar. Masih lelah karena sudah beberapa hari sejak meninggalnya ayahku, aku kurang tidur, dan besok aku baru mulai masuk kerja di Nurtanio.

Sambil memandang langit-langit kamar aku membayangkan kalau di Jakarta, di rumahku, orang-orang mungkin masih sibuk Tahlilan. Baru malam kedua setelah ayahku wafat. Pikiranku bercabang memang. Badanku di Bandung, tetapi pikiranku di Jakarta. Ya, semoga semuanya berjalan baik-baik saja, semoga sesuatunya dalam pertolongan Allah, hanya itu pintaku.

Besok aku harus bangun lebih pagi. Aku belum tahu teman-teman kos ini seperti apa aktivitasnya, apakah mereka bangun pagi semua atau ada yang siang. Lebih baik aku antisipasi daripada rebutan kamar mandi. Sudahlah, aku tidur sekarang, semoga malam ini bisa tidur nyenyak.

Bismika Allahumma Ahya wa Bismika Amuut.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//