Mengintip Fenomena War Takjil, Keharmonisan Beragama atau Konsumerisme?
Konsumerisme menjadi pemersatu umat. War takjil bukan keributan, tapi keseruan bagaimana semua umat ikut meriahkan Ramadan dengan ngabuburit sambil membeli makanan.
Penulis Adelia Putri Rejeki26 Maret 2024
BandungBergerak.id - Istilah war takjil lagi populer-populernya di Ramadan tahun ini. Istilah ini mengacu pada perburuan takjil, makanan untuk berbuka puasa, yang bukan hanya dilakukan oleh orang-orang muslim melainkan warga non-Islam (yang disingat dengan istilah kekinian menjadi nonis) pun tak mau ketinggalan.
War takjil menunjukkan bukti keharmonisan antarumat beragama. Warga muslim dan nonis bersama-sama berbelanja dalam nuansa vibes Ramadan. Kehangatan yang terpancar merupakan manifestasi kehidupan masyarakat yang rukun dan damai. Namun di sisi lain, ada semangat konsumerisme yang juga menyatukan mereka, walaupun berbelanja takjil ini juga memajukan UMKM yang berjualan di musim Ramadan.
War takjil ramai dibicarakan di dunia nyata maupun di linimasa media sosial akun Tiktok @budisantoso.96 yang ramai dibicarakan, war takjil dibahas hingga lintas agama. Seorang pendeta Gereja Tiberias Indonesia ikut menyerukan war takjil.
“Soal agama kita toleran, kalau soal takjil kita duluan, jam 3 kita standby pas yang lain lagi lemes-lemesnya, walaupun ada yang bilang nanti pas paskah mereka belanja duluan, kita paskah pake kinder joy,” ungkap pendeta, saat menyampaikan khotbah sambil berguyon.
Kawasan Jatinangor, Sumedang yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung menjadi salah satu titik seru perburuan takjil. Minggu, 24 Maret 2024, pukul 17.50 terpantau banyak penjual takjil yang sudah mulai tutup karena dagangannya ludes. Bukti kalau war takjil jadi kegiatan yang memajukan UMKM terlihat dari slogan “dagangan laku, pedagang lucky”.
“Ngerasa persaingan war takjil semakin sengit, soalnya tahun lalu tidak seperti tahun ini. Jadi, aku sendiri makin semangat buat war takjil juga. Pokoknya tahun ini seru bangetlah, banyak sisi positifnya, salah satunya melariskan UMKM yang berjualan saat bulan Ramadan,” seru Aziza, warga yang mengantre gorengan.
Beberapa nonis juga terpantau sedang mengantre makanan. Michelle (21 tahun), di antaranya. Mereka sesekali mencuri pandang sambil sembunyi-sembunyi mencicipi makanannya.
“Seru banget ikut beli takjil, karena ramai. Mungkin, karena yang jualan banyak terus berdekatan jadi ramai. Nah, itu yang jadi daya tarik aku buat ikut beli, jenis makanannya pun juga beragam, siapa yang bisa nolak makanan banyak dan menarik.” kata Michelle (21) dengan muka semringah sembari menunggu pisang coklat miliknya.
Banyak yang senang dengan euforia membeli takjil. Namun, ada prioritas yang kadang harus dimengerti oleh orang-orang yang tidak berpuasa. Salah satunya, ketika mepet waktu berbuka para pembeli diharapkan mendahulukan orang-orang yang berpuasa.
Mahasiswa Unpad Rayhan Tamam (21 tahun) mengatakan, mengenai prioritas tersebut sebenarnya tergantung kesadaran para pelaku war takjil.
“Ngabuburit tuh seru dan asik banget kalau jajan atau war takjil. Masalah war takjil sebenarnya aku gak masalah sih, malah seneng banget jadi bisa silaturahmi sama saudara beda agama. Kalau diperumpamakan, ketika war takjil ada dua barisan, satu yang berpuasa dan satunya lagi yang tidak, nah prioritaskan aja dulu yang berpuasa. Walaupun sebenarnya ga ada barisan ya, cuma kesadaran masing-masing aja sih,” ungkap Rayhan, saat dihampiri di Gerbang Lama Unpad.
Namun ada juga yang tidak setuju dengan orang yang tidak puasa tapi ikut war takjil gratis. Alasannya, para nonis melakukan war takjil lebih awal.
“Ngerasa bahagia ngeliat war takjil karena secara tidak langsung mereka ikut meramaikan bulan Ramadan,” kata Asti, pemburu takjil lainnya. Ia mengeluhkan kadang suka kehabisan di saat war takjil, hal ini yang menurutnya kurang adil.
“Kita yang berpuasa jadi kadang tidak kebagian. Aku merasa hal itu jadi kurang menghargai aja sih,” kata Asti yang sedang menggenggam takjil di tangannya.
Beberapa di antaranya para pelaku war takjil terdorong karena ikut-ikutan saja. Mereka merasa waktu sebelum berbuka merupakan kesempatan untuk ikut merasakan vibes seperti event besar, karena yang berjualan sangat banyak dan jenis makanan yang dijual juga beragam. Jadi, sangat sayang jika terlewatkan.
“Aku sih beli takjil karena ikut teman aja, sekalian nganter. Lagian kapan lagi ada event-event kayak gini selain bulan puasa, ya. Walaupun aku ga puasa tapi ikut seneng aja, soalnya ramai, banyak pilihan, pokonya mah jarang-jarang suasana kaya gini.” ucap Albert (20 tahun) yang sedang menunggu temannya berjualan kolak.
Warganet ada yang beranggapan bahwa orang Indonesia memang dasarnya konsumtif. Maka, ketika ada tren war takjil tidak heran mereka bersatu. Ini menjadi bukti bahwa semua orang ingin ikut merasakan sesuatu yang sedang banyak dikonsumsi, dipakai, atau dilakukan.
“Banyak nonis yang ikutan war takjil adalah bukti bahwa sebenarnya agama kita semua satu yaitu konsumerisme” celoteh warga twitter @AditMKM.
Baca Juga: KABAR DARI REDAKSI: Nyantren Jurnalistik, Menulis Feature Adalah Menulis Manusia
Suci dan Takjil Ramadan
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (4): Rujak Kolangkaling dan Efek Kecanduan Gawai
Fenomena Konsumerisme Ramadan
Ramadan melahirkan fenomena konsumerisme di masyarakat. Dan ini sudah lama menjadi perhatian kalangan akademik, di antaranya Azwar Iskandar dari Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasar Arab (STIBA) Makassar yang menulis jurnal ilmiah “Ramadan dalam Bayang-bayang Konsumerisme”. Azwar menyatakan, Ramadan semestinya menjadi bulan menahan diri dari berbagai godaan, termasuk godaan untuk menjadi konsumtif secara berlebihan. Akan tetapi, realitas yang ada, godaan diskon, ajakan makan bersama, dan tunjangan hari raya, kerap membuat buta dan lupa.
“Budaya konsumerisme menjadi merajalela dan menjadi bayang-bayang di balik kesucian dan kemuliaan Ramadan. Tidak semua orang memang, tetapi kita mesti mengakui, konsumerisme adalah sesuatu yang menggoda,” tulis Azwar.
Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat terjadi peningkatan permintaan barang kebutuhan pokok seperti beras, aneka daging, dan aneka bumbu pada bulan Ramadan. Peningkatan permintaan ini didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat. Prarel dengan dengan BPS, Bank Indonesia (BI) melansir kebutuhan uang tunai masyarakat dan perbankan pada setiap bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri meningkat rata-rata dalam kisaran 10 - 20 persen.
Di berbagai media, Azwar menyampaikan bahwa sepanjang bulan Ramadan masyarakat dijejali dengan iklan-iklan produk konsumtif. Secara masif, masyarakat terus-menerus digempur oleh iklan-iklan yang membius sehingga terbuai dan kehilangan kesadaran akan hakikat dari kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, masyarakat kemudian mengusahakannya dengan kegiatan konsumsi.
Keberadaan iklan menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu (false needs) yang bertemu dalam suatu cara yang tidak memuaskan secara fundamental. Tingkat konsumtif yang tinggi pun terjadi.
“Fenomena ini menjadi sebuah paradoks yang ironi. Pada satu sisi, melalui puasa, kaum muslimin diimbau untuk “menahan” dan “menekan”. Namun pada sisi lainnya, pada kenyataannya, mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan justru penuh-padat pengunjung, apalagi menjelang sore,” ungkap Azwar.
*Kawan-kawan bisa mengakses karya lain dari Adelia Putri Rejeki, atau topik-topik lain terkait Ramadan