• Kolom
  • SUARA SETARA: Fenomena “Sephora Kids”, Kegagalan Feminisme?

SUARA SETARA: Fenomena “Sephora Kids”, Kegagalan Feminisme?

Hak anak untuk mendapat pengasuhan dan pendidikan yang layak merupakan salah satu fokus feminisme. Anak berhak mengekspresikan diri tanpa tuntutan dan diskriminasi.

Khalisa Nisrina Rayhan

Anggota Gender Research Student Center (GREAT) UPI, bisa dihubungi di [email protected] atau Instagram @khalisa.n.r

Kosmetik yang dijual di pasar minggu komplek pertokoan Sumbersari Indah, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Juni 2021. (Foto Ilustrasi: Sarah Ashilah/Bandungbergerak.id)

26 Maret 2024


BandungBergerak.id – Seperti kebanyakan anak perempuan pada umumnya, waktu usia sekitar sepuluh tahun, aku juga senang mencoba riasan milik orang tua atau keluargaku. Bersenang-senang dengan pensil alis meski pada akhirnya terlihat seperti tokoh Shin-chan. Dulu aku paling senang ketika ada acara pernikahan di keluarga, karena aku jadi punya kesempatan untuk memakai kebaya dan riasan yang membuatku merasa jadi perempuan paling cantik sedunia. Pikiranku waktu itu sederhana, aku melihat orang dewasa melakukannya, maka aku ingin juga.

Kira-kira begitulah cara pandangku menyikapi banyaknya konten di TikTok luar negeri yang heboh dengan ramainya anak-anak memenuhi Sephora, salah satu toko kecantikan yang terkenal. Anak-anak dengan usia yang kelihatannya kurang dari 15 tahun berbondong-bondong membeli produk skincare dan make-up dengan uang orang tua mereka. Reaksi netizen beragam, tentunya bisa ditemukan komentar sejenis “Waktu gue kecil, gue sibuk main sepeda sama manjat pohon,” mengindikasikan ketidaksetujuannya dengan perilaku anak-anak tersebut. Kemudian ada satu hal yang menarik, apakah ada dari kalian yang menganggap fenomena ini adalah bentuk dari kegagalan feminisme?

Gerakan feminisme sering disalahpahami sebagai gerakan “wanita liar” oleh masyarakat adat ketimuran. Pemikiran ini terbentuk dari sering viralnya gerakan oleh perempuan berkulit putih seperti “Free the Nipple” atau gerakan lain seperti kebebasan untuk berpakaian terbuka sebagai bentuk perlawanan dari norma. Dalam kasus Sephora Kids, feminisme dianggap mengotori pikiran anak-anak karena masifnya konten perempuan dewasa yang dengan bebas mempromosikan gaya hidup bersolek di internet. Feminisme disebut sebagai pemikiran yang gagal dengan anggapan bahwa tanpa adanya feminisme, konten tersebut tidak akan bertebaran di internet, kemudian anak-anak tidak akan ternoda.

Baca Juga: SUARA SETARA: Puan yang Merdeka, Belum Terlambat untuk Memaknai Kemerdekaan yang Sesungguhnya
SUARA SETARA: 16 HAKTP yang selalu Kita Rayakan Sebenarnya Berawal dari Sejarah Penuh Luka
SUARA SETARA: Stereotip Maskulinitas Mengakibatkan Pelecehan Seksual pada Laki-laki Menjadi Bahan Guyonan

Kegagalan Feminisme?

Namun, benarkah demikian? Kata ternoda saya rasa tidak pantas untuk menggambarkan anak-anak yang sedang mengeksplorasi dirinya. Mari kita telaah lagi fenomena ini. Dari banyak video mengenai masalah tersebut, sebenarnya lebih banyak keresahan dari para pekerja Sephora karena anak-anak ini membuat toko berantakan dengan menggunakan produk tester tanpa merapikan bekasnya, hingga membuka produk baru tanpa membelinya. Tentu hal tersebut membawa kerugian, sampai akhirnya beberapa cabang toko memutuskan untuk tidak menyediakan produk tester. Selain masalah produk, terdapat pula keluhan mengenai perilaku anak-anak tersebut yang berkata tidak sopan kepada pekerja di Sephora ketika anak-anak itu bertanya mengenai ketersediaan produk.

Melihat masalah utamanya, dirasa kurang tepat untuk menyatakan bahwa feminisme merupakan akar dari masalah ini. Telah saya singgung mengenai fase eksplorasi diri pada anak serta pemikiran saya saat kecil bahwa saya ingin menjadi seperti orang dewasa.

Faktor pengasuhan orang tua atau figur orang dewasa lainnya berperan lebih besar pada perkembangan perilaku anak. Orang tua dengan pola asuh permisif atau memberikan kebebasan pada anak tanpa batasan larangan yang jelas, akan memberikan dampak negatif pada perkembangan sosial maupun emosional anak. Anak dengan orang tua yang permisif cenderung lebih agresif dan hanya mementingkan diri sendiri. Perilaku tersebut merupakan masalah yang terjadi pada fenomena ini, di mana anak tidak tahu bagaimana sepantasnya bersikap atau memperlakukan pekerja dan produk di Sephora.

Namun, bukan berarti fenomena ini tidak ada kaitannya dengan feminisme. Pengasuhan anak telah menjadi landasan bagi sebagian besar visi feminis gelombang kedua tentang kesetaraan. Feminis menekankan bahwa feminisme akan memungkinkan perempuan mempunyai pilihan atas keputusan-keputusan dan mendasar seperti melahirkan dan mengasuh anak. Gerakan feminisme dengan pandangan interseksionalitas juga meliputi masalah kesejahteraan anak. Hak anak untuk mendapatkan pengasuhan yang layak dan berpendidikan merupakan salah satu fokus feminisme. Anak berhak untuk dapat mengekspresikan dirinya tanpa tuntutan dan diskriminasi. Maka dari itu, fenomena Sephora kids bukanlah suatu kegagalan dari feminisme, melainkan merupakan hal yang diperjuangkan oleh feminisme.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//