Kesaksian Warga Korban Longsor Kabupaten Bandung Barat, Tanah Lumpur Menyapu Kampung Mereka
Peta Kajian Resiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten Bandung Barat tidak aktif, menyulitkan pendataan dan penanganan korban.
Penulis Prima Mulia27 Maret 2024
BandungBergerak.id - Dana berdiri di atas pematang sawah Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Senin, 25 Maret 2024. Sepasang mata pria berusia 60 tahun ini tak lepas dari rumah-rumah yang hampir terkubur lumpur dan tanah longsoran dari puncak bukit setinggi hampir 200 meter di atas Kampung Gintung.
"Dua adik saya masih di rumah itu, mungkin terkubur di sana,” ujar Dana, sambil menunjuk ke arah reruntuhan rumah yang hanya terlihat atapnya saja.
Sulitnya medan membuat petugas penyelamat belum bisa mencapai daerah tersebut. Lumpurnya masih sangat dalam dan akan sangat menyulitkan tim pencarian.
Dari kejauhan longsoran tanah coklat terlihat jelas. Vegetasinya terdiri dari kebun pertanian, sawah, dan tutupan hutan.
Kampung Gintung yang berada di kaki bukit disapu longsoran tanah dan banjir lumpur, Minggu malam, 24 Maret 2024. Permukiman di bawah kampung yang berdekatan dengan sungai juga ikut terdampak bencana banjir bandang. Jembatan roboh, perkampungan terendam.
Bencana ini datang di saat sebagian warga kampung sudah terlelap. Tebing bukit yang ambrol meluncur deras menghantam permukiman di bawahnya.
Dampak dahsyatnya bencana tanah longsor ini terlihat keesokan harinya. Sekitar 30-an rumah, sawah, dan ladang di Kampung Gintung habis tersapu longsor. Sisa puing dan beberapa konstruksi rumah menyembul di antara timbunan tanah. Selebihnya lumpur dan tanah menghampar luas menutup permukaan.
Warga yang mendiami puluhan rumah lain yang tidak secara langsung terkena longsor juga harus mengungsi karena permukiman mereka masih terancam potensi longsor susulan.
Pakaian warna oranye terang tim BPBD dan Basarnas tampak mencolok di antara lautan lumpur berwarna coklat. Mereka juga dibantu TNI, Polri, dan relawan kebencanaan. Mereka terus berupaya mencari warga yang dinyatakan masih hilang pascabencana longsor.
Harus ekstra hati-hati, salah langkah kaki bisa masuk lumpur sampai sepaha. Sangat berbahaya, kita tak bisa melihat apakah itu jalan kampung, sawah, atau bahkan sumur di rumah warga, karena semuanya tertutup lumpur tebal.
Menurut Muhtar, santri pondok pesantren Nurul Anwar di kampung Gintung, sebelum musibah datang terjadi hujan lebat. Para santri baru saja selesai salat terawih. Mereka semua masuk kobong (pondokan) sambil menunggu ustaz untuk akan mengaji bersama. Tiba-tiba sekitar pukul 22 atau 23, warga di sekitar kampung berteriak-teriak longsor dan banjir.
“Air banjir tiba-tiba datang sangat deras, dalam kondisi panik warga dari kampung di atas berhamburan, ternyata di atas kena longsor," kata Muhtar. Santri berusia 17 tahun tersebut mengaku baru pertama kali pondok pesantrennya terkena banjir bandang dengan volume air besar.
Warga lainnya, Opon, perempuan 50 tahun dari Kampung Gintung yang rumahnya ikut terdampak bencana longsor, menceritakan paniknya mereka saat berlarian keluar rumah dalam gelap. Kejadian horor ini diperkirakan pukul 23.
"Saya sama suami dan anak saya kaget waktu dengar tetangga teriak-teriak sambil berlarian. Pokoknya kami semua keluar rumah bersama warga kampung lainnya ngungsi ke tempat aman. Nggak ada yang dibawa, ya cuma pakaian yang kami kenakan saja," kata Opon, di GOR kantor Desa Cibenda yang menjadi posko pengungsian.
Susi (34 tahun), warga lainnya yang terdampak bencana, sewaktu kejadian tidak sedang berada di dalam rumah. Ia bersama suami dan anak sedang menginap di rumah saudara yang masih satu desa.
“Saat tengah malam saya ditelepon kalau kampung kami kena longsor. Tadi baru bisa lihat kondisi kampung, pokoknya rumah habis terkubur longsoran tanah, nggak ada apa-apa lagi. Kami cuma bawa pakaian yang dipakai sekarang saja," kata Susi.
Kabupaten Bandung Barat atau KBB memiliki banyak wilayah permukiman yang berdiri di kawasan pegunungan dengan kemiringan 30 derajat atau lebih. Permukiman di kawasan seperti ini akan selalu terancam pergerakan tanah atau longsor, seperti longsoran bukit milik Perhutani yang terjadi di Kampung Gintung.
Dari data di posko pengungsi, lebih dari 500 jiwa (32 orang di antaranya adalah balita) terdampak tanah longsor. Mereka mengungsi di sebuah bangunan di kantor desa dan di SDN Cibenda dan SDN Padakati. Basarnas memastikan warga yang hilang ada 10 orang (sebelumnya disebutkan 9 orang).
Sampai 26 Maret 2024, empat korban tewas telah berhasil ditemukan. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi akan melakukan asesmen terkait kemungkinan relokasi permukiman pascabencana tanah longsor di Kampung Gintung.
Baca Juga: Longsor di Kabupaten Bandung Barat Menyebabkan Ratusan Warga Mengungsi, Makanan dan Perlengkapan Tidur Menjadi Kebutuhan Mendesak
Bencana Banjir dan Longsor masih Mengancam Bandung Sepanjang Musim Hujan Tahun ini
Memetik Pelajaran dari 18 Tahun Tragedi Longsor TPA Leuwigajah
Peta Kajian Resiko Bencana Kabupaten Bandung Barat Tidak Aktif
Dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat hanya 24 daerah yang memiliki peta Kajian Resiko Bencana (KRB) aktif, sedangkan yang memiliki Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) hanya 15 pemerintah daerah. Ironisnya, KRB dan RPB Kabupaten Bandung Barat tidak aktif sejak dua tahun lalu. Padahal BNPB mengandalkan dua dokumen tersebut untuk dijadikan asesmen pra sampai pascabencana.
Dikutip dari mongabay Indonesia, peta kerawanan bencana sudah tersedia namun skalanya masih nasional, belum detail sampai level daerah. Peta bencana yang jadi rujukan masih peta bencana skala nasional 1:250.000. Peta ini masih belum mampu untuk mereduksi dampak bencana seperti korban jiwa maupun kerugian ekonomi.
Pemerintah sebaiknya belajar dari cara pembangunan di masa Hindia Belanda yang membuat peta geologi sebagai acuan pembangunan. Kegunaan peta geologi ini setidaknya untuk mengukur risiko dan menyelamatkan sumber daya dalam setiap pembangunan yang dirancang.
Peta geologi yang detail merupakan investasi jangka panjang untuk membangun kota atau daerah di negeri cincin api seperti Indonesia, yang rawan bencana geologi serta hidrometerologi.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Prima Mulia atau artikel lain tentang Bencana Alam