• Kolom
  • Yang Hilang Ditelan Tembok di Gedebage #1: Bermula dari Rumah

Yang Hilang Ditelan Tembok di Gedebage #1: Bermula dari Rumah

Di tahun 1980-an, gelombang besar kaum pendatang mulai memasuki daerah tempat tinggal kami. Inilah cikal-bakal pembangunan deretan rumah kontrakan.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Area penggilingan padi di depan rumah yang sudah dibenteng tembok di Kelurahan Babakan Penghulu. (Foto: Hafidz Azhar)

29 Maret 2024


BandungBergerak.id - Tiga puluh empat tahun lalu, saya lahir dari rahim ibu di Bandung. Masa kecil Ibu banyak dihabiskan di Majalengka, tetapi setelah beranjak dewasa dia kemudian tinggal di Bandung. Saya tidak ingat jelas di mana saya menetap pertama kali. Ibu sempat bercerita bahwa usai persalinan, saya diboyong ke rumah yang letaknya tidak jauh dari Stasiun Gedebage.

Di usia enam tahun, saya bisa mengingat bentuk rumah, pekarangan, dan juga siapa saja yang tinggal berdampingan, meskipun secara samar-samar. Ketika ibu menyodorkan foto-foto saya di masa kecil, saya tambah yakin dengan sisa-sisa ingatan yang belum hilang sepenuhnya.

Sebuah foto berukuran 5R menunjukkan bahwa dulu pernah ada pekarangan kecil di teras depan rumah. Pekarangan itu ditumbuhi bunga-bunga cantik berwarna putih dan beberapa tumbuhan yang bisa dimakan. Salah satunya yang tidak pernah saya lupa, sebuah pohon arbei dengan tinggi sekitar dua meter saja. Setiap pohon ini berbuah, saya selalu ingin memetiknya sendiri. Namun kata ayah, buah yang saya petik tampak belum matang sehingga ia selalu memilihkan buah arbei terbaik untuk saya makan.

Mengingat kembali masa-masa itu, saya dibawa pada masa kecil yang bahagia. Sayangnya, kebahagiaan itu hanya membekas dalam kenangan. Waktu berjalan dan suasana pun kian berubah, termasuk suasana di sekeliling rumah. Bunga-bunga putih yang bemekaran dengan disertai pohon arbei yang berbuah ranum kini sudah tidak dapat lagi dinikmati. Yang ada hanyalah tembok sebagai banteng pemisah antara area penggilingan padi dengan akses jalan menuju rumah-rumah warga.

Kata nenek, sebelum menjadi tempat penggilingan padi, terdapat hamparan rerumputan yang letaknya berada sangat dekat dari pelataran rumah. Dengan panjang kurang lebih 100 meter, warga kemudian memanfaatkan lahan tersebut menjadi lapangan untuk bermain bola. Tidak jarang pertandingan bergengsi antarkampung digelar di sana. Di lahan yang sama, anak-anak remaja bermain kucing-kucingan. Namun, hak kepemilikan tanah mengubah semuanya. Perlahan-lahan area lapangan dibuat beton, lalu semakin tergerus oleh rumah-rumah kontrakan.

Cerita Keluarga Kaya

Ibu menuturkan bahwa di tahun 1980-an gelombang besar kaum pendatang mulai memasuki daerah tempat tinggal kami. Berasal berbagai kota di luar Jawa Barat, kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh pabrik. Inilah cikal-bakal pembangunan deretan rumah kontrakan oleh keluarga-keluarga dengan nama mentereng dan kekayaan di atas rata-rata.

Nama Haji Habibah berada di urutan nomor wahid. Salah satu penandanya adalah rumah bertingkat tiga disertai dengan ratusan hektare tanah di beberapa lokasi, termasuk lahan yang dibangun untuk deretan kontrakan dengan jarak sekitar 500 meter arah barat dari tempat tinggal saya.

Tepat bersebelahan dengan rumah, ada nama lain yang tidak boleh dilupakan: Haji Sambas. Dalam silsilah orang-orang kaya di Gedebage, nama Haji Sambas mempunyai kedudukan yang terhormat. Sayangnya, saya sendiri belum pernah sekali pun bertatapan muka dengan tokoh yang dihormati warga ini. Waktu saya masih berumur empat tahunan, Haji Sambas sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Segala urusan duniawi, termasuk pengelolaan rumah dan alat penggilingan padi, diserahkan kepada istrinya, Bu Haji Neneng.

Harta yang melimpah, beserta gelar haji yang tertera di depan nama, melekat erat pada keluarga Sambas. Selain area penggilingan padi dan puluhan unit kontrakan, keluarga ini juga memiliki lahan persawahan yang cukup luas. Konon, kalau dirupiahkan, nilainya bisa untuk membeli empat rumah yang per unitnya seharga satu miliar. Dan ini baru sebagian harta. Masih ada tanah-tanah kosong yang belum dibangun.

Sejak tahun 1990-an, area penggilingan padi yang cukup luas itu dijadikan ruang publik oleh masyarakat setempat. Ruang publik yang dimaksud, yaitu pemanfaatan ruang untuk berbagai kegiatan formal seperti hajatan dan acara peringatan tujuh belas Agustus. Area itu juga kerap digunakan oleh anak-anak kecil untuk bermain hingga menjelang malam. Ada semangat kolektif yang melibatkan warga beragam usia.

Meski bisa memanfaatkan lahan sebagai ruang publik, kami kerap berselisih juga dengan sang pemilik. Problemnya ialah sang empunya tidak ingin agar tempat berukuran 30x40 meter persegi itu  kotor. Kami, yang kala itu masih remaja, ngotot, tidak mau kalah, sehingga terjadi adu mulut yang tidak terelakkan. Akhirnya salah seorang tetangga turun tangan untuk menghentikan perselisihan kami. Setelah kejadian itu, kami harus sembunyi-sembunyi untuk bsia kembali masuk ke area tersebut.

Baca Juga: GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #1: Balada Banjir di Calon Pusat Kota
GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #2: Berebut Jalan Menuju Masjid Al Jabbar
GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #3: Mengorbankan Pertanian Demi Mimpi Membangun Kota Pintar

Dalam Kepungan Tembok

Hari ini, tempat tinggal saya tak urung dikepung oleh tembok. Udara tidak lagi sejuk seperti dulu sebab pohon-pohon sudah banyak ditebang. Jika musim kemarau datang, jalanan terlihat gersang. Angin yang betiup ke arah barat mengangkut banyak debu yang masuk ke rumah, termasuk serpihan yang berasal dari gabah bekas penggilingan. Bila terkena, kulit akan terasa merang atau gatal-gatal. Tak ada jalan lain, kami musti menutup pintu rapat-rapat.

Sepertinya kami akan terus hidup dengan gempuran tembok. Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan Gedebage didesak oleh banyak proyek pembangunan berskala besar. Sejak tahun 2014, pemerintah Kota Bandung mencanangkan kawasan ini menjadi teknopolis. Ruang terbuka hijau terkena imbasnya. Sawah-sawah dijual kepada para korporat.

Sebetulnya, jarak antara rumah dengan kawasan yang disebut-sebut sebagai teknopolis itu relatif cukup jauh. Namun imbasnya terasa betul hingga di depan mata. Jika berkunjung ke rumah kami, Anda tentu akan berhadapan dengan tembok di setiap sudut yang menatap dengan sorot penuh kemenangan. Mereka seolah bilang: “tempat ini tidak boleh dimasuki secara cuma-cuma”.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//