• Kolom
  • BUNGA DI TEMBOK: Bocah Loper Koran Bernama Al

BUNGA DI TEMBOK: Bocah Loper Koran Bernama Al

Bagi G. Glenwood Clark dan E.Angel, penulis biografi Thomas Alva Edison; saat tokoh tersebut bekerja sebagai loper koran merupakan fase hidupnya yang terpenting.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Sampul buku Thomas Alva Edison. Sebelah kiri karangan G. Glenwood Clark terbitan PT. Pustaka Rakjat (1956). Dan sebelah kana karangan E. Angel terbitan Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K, Jakarta (1955). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

30 Maret 2024


BandungBergerak.id - Suatu pagi di awal musim semi tahun 1859 di stasiun Port Huron, Michigan, seorang bocah 12 tahun meloncat ke gerbong kereta api menuju Detroit, Amerika Serikat. Di atas nampan kayu yang digantungkan pada lehernya, terdapat roti, permen, dan buah-buahan. Di kedua tangannya tergenggam tumpukan koran dan majalah.

Jarak antara Port Huron dan Detroit sekitar 100 kilometer. Berangkat jam 7 pagi, ular besi milik perusahaan Grand Trunk Railway tersebut akan kembali ke Michigan pada jam 9.30 malam. Di sepanjang perjalanan itulah, si loper koran berjalan hilir mudik dari gerbong ke gerbong menjajakan barangnya.

“Ibu, terimalah satu dolar ini untuk keperluan rumah tangga. Tiap-tiap malam akan saya berikan kepadamu satu dolar dari pendapatan saya,” kata si loper koran kepada ibunya begitu ia sampai di rumah dengan mengantongi lima dolar di hari pertama bekerja.

Nama bocah loper koran itu Al. Lengkapnya, Thomas Alva Edison. Kelak, dunia akan mencatatnya sebagai salah satu penemu paling cemerlang sepanjang masa. Yang paling sohor tentu saja lampu listrik.

Percakapan antara Edison remaja dan ibunya termuat dalam buku Thomas Alva Edison karangan G. Glenwood Clark. Terbit pertama kali pada 1951, biografi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sjaukat Djajadiningrat. Cetakan pertamanya diterbitkan oleh PT. Pustaka Rakjat pada 1956.

Diceritakan, Al tidak cukup menjadi loper koran. Ia melihat peluang yang lebih besar ketika menyaksikan betapa hausnya warga akan informasi terkini tentang perang antara negara-negara bagian. Ketika pecah perang besar di Shiloh pada awal April 1862, seribu eksemplar koran yang dibawa Al dari Detroit ludes dibeli warga yang mengantre di stasiun-stasiun pemberhentian menuju Port Huron. Hari itu, ia mendapatkan uang 100 dolar.

Al membeli mesin cetak, kertas, dan tinta. Di gerbong barang kereta api yang sedang berlari, ia memproduksi surat kabarnya sendiri. Dinamai “Weekly Herald”, mingguan itu dijual tiga sen per eksemplar atau delapan sen untuk pelanggan satu bulan. Dari mulanya loper, Al kemudian menjalankan sekaligus tugas reporter, penata letak, redaktur, dan bahkan penerbit.

Petualangan Al di dunia koran di kereta api Port Huron-Detroit berakhir pada 1864. Berusia 17 tahun, ia menjadi pekerja telegraf di sebuah stasiun di Kanada.

Thomas Alva Edison dalam buku karangan G. Glenwood Clark terjemahan Sjaukat Djajadiningrat terbitan PT. Pustaka Rakjat (1956). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)
Thomas Alva Edison dalam buku karangan G. Glenwood Clark terjemahan Sjaukat Djajadiningrat terbitan PT. Pustaka Rakjat (1956). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Wartawan itu "Tidak Diperintah, Tidak Didikte"
BUNGA DI TEMBOK: Francisca C. Fanggidaej, Kupu-kupu yang Hanyut dalam Pergerakan Pemuda Revolusioner
BUNGA DI TEMBOK: Seekor Kera dan Seorang Badut yang Mampir Menjadi Loper Koran

Melampaui Krisis

Selain karangan Clark, terdapat biografi serupa yang ditulis oleh E. Angel. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul sama persis, Thomas Alva Edison, dikerjakan oleh Zuber Usman. Cetakan pertamanya terbit pada 1949, disusul cetakan kedua pada 1955. Buku setebal 164 halaman ini diterbitkan oleh Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K, Jakarta.

Dikisahkan dalam buku ini, karier Al di dunia persuratkabaran tidak serta-merta berhenti dengan mandeknya produksi “Weekly Herald” akibat terbakarnya gerbong barang yang ia jadikan laboratorium. Bersama seorang kawan, ia menerbitkan koran “Paul Pry” yang memuat artikel-artikel bernada tajam. Gaya pemberitaan semacam inilah yang membuat Al suatu hari dicegat seorang pria berperawakan besar yang “kurang senang hatinya”. Batang lehernya dicengkeram, tubuhnya dilemparkan ke dingin air sungai Saint Clair. Sejak hari itu Al kapok menerbitkan lagi surat kabar meskipun ia kembali berjualan koran di kereta api Grand Trunk Railway untuk waktu yang tidak lama. Ketertarikan pada telegraf menyeretnya ke petualangan-petualangan berikutnya.

Yang istimewa dari buku Clark dan Angel adalah sampulnya yang berbeda dari kebanyakan buku tentang Edison. Tidak ada gambar stereotip yang menampilkan Edison tua berpose sedang memegang bola lampu. Kedua sampul buku menampilkan gambar bocah Al sebagai loper koran. Di buku Clark, ilustrasi dibuat oleh Millard McGee. Di buku Angel, hanya tercantum informasi bahwa rencana kulit dikerjakan oleh Bagian Layout.

Mengapa, setidaknya bagi kedua penulis buku biografi dan penerbitnya, penggal hidup Thomas Alva Edison sebagai loper koran menjadi teramat penting sehingga dijadikan gambar sampul? Barangkali karena tahun-tahun itu merupakan salah satu fase paling menentukan dalam hidup Edison. Ia, dan keluarganya, berhasil melampaui krisis.

Kecamuk perang membuat keluarga Edison hijrah dari Kanada ke Milan, Ohio. Mereka bertahan hidup dengan membuka usaha penggergajian kayu.  Kehadiran jalur baru kereta api yang memunggungi kampung mereka membuat usaha tersebut terus merugi. Keluarga Edison memutuskan pindah ke Port Huron, sebuah kampung di dekat stasiun. Samuel Edison, ayah Al, memulai bisnis jual beli gandum yang tidak selalu berjalan mulus.

Ketika itu Al, yang hanya beberapa bulan saja merasakan bangku sekolah, sudah memiliki ketertarikan yang kuat dengan ilmu pengetahuan. Tidak hanya membaca banyak buku, ia memulai penelitian-penelitiannya sendiri. Al membangun semacam laboratorium pribadi di rumah. Eksperimen kimia menjadi yang paling menarik baginya.

Akibat kesulitan ekonomi keluarganya, Al kesulitan mengembangkan minat menelitinya. Tidak ada cukup uang untuk membeli bahan-bahan yang harus ia uji di laboratorium. Itulah saatnya ia mengajukan diri untuk mulai bekerja. Kedua orang tua Al keberatan, namun pada akhirnya tidak kuasa membendung keteguhan hati sang anak.

Loncatan Edison remaja ke gerbong kereta api di stasiun Port Huron adalah loncatan manusia dari zona nyaman. Loncatan yang mengakhiri krisis, sekaligus membuka semesta kemungkinan baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Berkat petualangan di kereta api itu, Edison remaja bertemu dengan orang-orang tepat yang akan memanjakan rasa ingin tahunya pada telegraf dan piranti-piranti modern lain. Berkat petualangan  itu juga, ia tidak hanya menjadi loper koran. Dengan membuat surat kabarnya sendiri, ia menemukan pola yang akan ia terapkan di sepanjang hidup sebagai penemu dan pengusaha: menemukan piranti baru lalu memproduksinya secara massal.

Dunia boleh saja lebih mengenal Thomas Alva Edison dengan segala kisah suksesnya di bidang kelistrikan, piranti komunikasi massal, dan gambar bergerak, tapi gambar sampul buku biografi karya Clark dan Angel mengingatkan kita: untuk sampai ke sana, dibutuhkan keberanian menghadapi dan lalu melampaui krisis.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//