• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #41: Punya Percetakan Sendiri sejak 1 Agustus 1936

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #41: Punya Percetakan Sendiri sejak 1 Agustus 1936

Drukkerij Soekapoera, Drukkerij Galoenggoeng, Drukkerij Tjahja Pasoendan, serta Drukkerij Pengharepan adalah deretan percetakan yang pernah mencetak Sipatahoenan.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Iklan Drukkerij Soekapoera. (Sumber: Sipatahoenan, 2 Januari 1929)

30 Maret 2024


BandungBergerak.id – Sejak 1 Juli 1924 hingga dilarang terbit oleh Bala Tentara Jepang tahun 1942, Sipatahoenan pernah dicetak oleh empat percetakan. Secara ringkas, sejak 1 Juli 1924 hingga 28 Desember 1929 Sipatahoenan dicetak Drukkerij Soekapoera di Tasikmalaya. Sejak 2 Januari 1930 hingga 31 Agustus 1933 dicetak oleh Drukkerij Galoenggoeng di Tasikmalaya dan Bandung. Sejak 1 September 1933 hingga 31 Juli 1936, dicetak oleh Drukkerij Tjahja Pasoendan di Bandung dan sejak 1 Agustus 1936 mulai dicetak oleh percetakan milik Paguyuban Pasundan sendiri, Drukkerij Pengharepan.

Dari kilasan itu, saya mendapatkan fakta antara 1924-1933 di Tasikmalaya ada dua percetakan yang mencetak Sipatahoenan. Oleh karena itu, saya pikir ada baiknya memulai tulisan ini dengan membahas percetakan di Tasikmalaya, paling tidak hingga 1942. Tentu saja penekanannya tetap ada pada percetakan yang mencetak Sipatahoenan, yaitu Drukkerij Soekapoera dan Drukkerij Galoenggoeng.

Sejarah kehadiran percetakan di Tasikmalaya dapat saya telusuri dari Bijlagen van het Verslag der Handelingen van de Tweede Kamer der Staten-Generaal 1917-1918 hingga 1923-1924; Sijthoff’s Adresboek voor Boekhandel, Uitgeverij, Grafische Industrie: Gids voor Dagbladen en Tijdschriften, Vol 75 (1928); dan Catalogus dari Boekoe-boekoe dan Madjallah-madjallah jang diterbitkan di Hindia Belanda dari tahoen 1870-1937 (1940) susunan G. Ockeloen.

Dalam Bijlagen 1917-1918 hingga 1919-1920, baru tercatat satu percetakan di Tasikmalaya, yaitu Soekapoera Handels-drukkerij yang dimiliki Khouw Beng Hwat. Dalam Bijlagen 1920-1921 dan 1921-1922, sudah ada dua percetakan, yaitu Soekapoera Handels-drukkerij dan Galoenggoengsche Drukkerij yang dimiliki oleh H. O. Adjhoeri. Selanjutnya pada Bijlagen 1922-1923 dan 1923-1924 ditambah lagi dengan keterangan percetakan yang dimiliki oleh Hadji Bakri. Dari berita lama, saya tahu Hadji Bakri adalah ayahnya H.O. Adjhoeri, sehingga dengan demikian hingga 1924 masih ada dua percetakan di Tasikmalaya.

Dari Sijthoff’s Adresboek, saya mendapatkan dua nama percetakan di Tasikmalaya. Keduanya Drukkerij Galoenggoeng yang dimiliki oleh H. O. Sobari dan beralamat di Tjihideung, satu lagi Drukkerij Soekapoera yang dimiliki oleh Goei Tjoen Ie di Singaparnaweg. Selanjutnya, dari buku susunan G. Ockeloen, saya mendapati empat percetakan, yaitu Drukkerij Djoengdjoenan, Drukkerij Galoenggoeng, Snelpersdrukkerij D.A.S Koernia, dan Drukkerij Soekapoera.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #38: Bidjaksana sebagai Bumper
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #39: Lampiran Aoseun Moerangkalih dan Kaboedajan
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #40: Tanda Tanya untuk Pemerintah Kolonial

Drukkerij Soekapoera

Bila membaca Bijlagen 1917-1918 hingga 1923-1924, saya tahu mula-mula Drukkerij Soekapoera didirikan dan dimiliki oleh Khouw Beng Hwat. Ia pengusaha dan ketua kampung (wijkmeester) Tionghoa di Tasikmalaya (De Preanger-bode, 4 Juni 1919), yang diangkat menjadi letnan Tionghoa Tasikmalaya pada 27 November 1921 (De Locomotief, 2 Desember 1921; Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, Deel: 2, 1922-1925). Bahkan dari koran lawas, diketahui paling tidak sejak 1912, Khouw Beng Hwat sudah mengiklankan usaha percetakannya Soekapoera Boek en Handelsdrukkerij (De Expres, 2 Juli 1912).

Seiring waktu, Drukkerij Soekapoera kemungkinan besar dijual Khouw Beng Hwat kepada Goei Tjoen Ie setelah tahun 1924, seperti yang terbukti dari Sijthoff’s Adresboek (1928) pemilik Drukkerij Soekapoera sudah beralih dari Khouw Beng Hwat kepada Goei Tjoen Ie. Namun, yang terang, Sipatahoenan mula-mula dicetak oleh percetakan milik orang Tionghoa di Tasikmalaya. Kemungkinan besar ketika masih dimiliki oleh Khouw Beng Hwat.

Bukti edisi pertama yang merupakan edisi percobaan (proefnummer) Sipatahoenan dicetak Soekapoera Drukkerij dapat kita baca dari Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers (IPO) No. 27 (1924). Untuk edisi perdana yang bertitimangsa 1 Juli 1924 itu, redaktur IPO menulis begini: “Dit is het proefnummer van een nieuw verschenen Soendaneesch weekblad, uitgegeven door de vereeniging Pasoendan afdeeling Tasikmalaja en voorloopig onder redactie van Soetisna Sendjaja en Atmawinata. Het blad wordt gedrukt bij de drukkerij Tasikmalaja te Soekapoera, terwijl de administratie, welke door K. Martakoesoema wordt gevoerd, gevestigd is aan den stationsweg Tasikmalaja”.

Artinya, ini adalah edisi percobaan dari majalah mingguan Sunda baru, yang diterbitkan oleh Paguyuban Pasundan cabang Tasikmalaya dan untuk sementara waktu diedit oleh Soetisna Sendjaja dan Atmawinata. Majalah ini dicetak di Drukkerij Soekapoera di Tasikmalaya, sementara administrasinya dijalankan oleh K. Martakoesoema, yang terletak di Stationsweg, Tasikmalaya.

Drukkerij Soekapoera mencetak Sipatahoenan sekitar lima tahun setengah, yaitu sejak edisi 1 Juli 1924 hingga edisi 28 Desember 1929. Pada halaman pertama edisi 28 Desember 1929 masih tertulis “Ditjitak di Drukkerij Soekapoera Tasikmalaja” (dicetak di Drukkerij Soekapoera, Tasikmalaya). Selain itu, surat kabar lainnya yang dimiliki Paguyuban Pasundan dan dicetak oleh Drukkerij Soekapoera adalah Langlajang Domas sejak 28 Juni 1927 (IPO, No. 28, 1927).

Iklan Drukkerij Galoenggoeng. (Sumber: Sipatahoenan, 7 Januari 1930)
Iklan Drukkerij Galoenggoeng. (Sumber: Sipatahoenan, 7 Januari 1930)

Drukkerij Galoenggoeng

Sebagaimana terbaca dari Bijlagen 1920-1921 dan 1921-1922, selain Drukkerij Soekapoera di Tasikmalaya ada Galoenggoengsche Drukkerij yang dimiliki oleh H. O. Adjhoeri. Ia yang bernama lengkap Hadji Oeli Adjhoeri itu seorang aktivis Sarekat Islam (SI). Buktinya dia dilaporkan terlibat dalam gerakan SI Afdeeling B oleh pihak pemerintah kolonial, sehingga dicari-cari dan dijadikan buronan pada tahun 1920. Dalam laporan De Preanger-bode edisi 15 Maret 1921, disebutkan salah satu kasus SI Afdeeling B menyeret Hadji Oeli Azhoeri, pemilik Drukkerij Galoenggoeng, yang menjadi buronan sejak Desember 1920.

Sebelum dan setelah mencetak Sipatahoenan, Drukkerij Galoenggoeng aktif mencetak surat kabar maupun buku baik yang terbit di Tasikmalaya maupun di Bandung. Surat kabar yang sempat dicetak antara lain Soeara-Postel (IPO, No. 28, 1920), Sora Merdika sejak 31 Mei 1920 (De Preangerbode, 8 Juni 1920), Taman Soeara (IPO, No. 7, 1930), Madjallah Boelanan dari Natipy: Padvinderij Jong Islamieten Bond, April 1933 (Ockeloen, 1940), Al-Moechtar: Soerat kabar Agama Islam tahun 1933-1935 (Ockeloen, 1940), dan Al-Mawaidz: Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaja tahun 1935 (Ockeloen, 1940).

Beberapa judul buku yang sempat diterbitkan Drukkerij Galoenggoeng dapat kita ikuti dari buku Ockeloen (1940).  Di antaranya Ijeu Doa Kandjeng Nabi Hidlir asl (1928) yang dipetik dari karya Imam Al-Ghazali; Wawatjan Poetoechoel-Chebar (1928) karangan R. Abdoellah Pakih; jilid pertama Tjarios Lalampahan Bi Sarinem (Panoelak bahla noe Laki Rabi) (1929) karangan Moehamad Satibie; Roetjatan Sadjarah Soemedang samemeh Koempeni nepi ka tjampoerna (1934) karya R. Djainal Asikin Widjajakoesoemah; Hikmatna Agama Islam dina Hiroep Koemboeh (1936) karya R.P. Soeria Nata Pamekas.

Dari sisi kepemilikannya, setelah H.O. Adjhoeri, Drukkerij Galoenggoeng beralih ke tangan Hadji Obal Sobari paling tidak sejak 1928, sebagaimana yang terlihat dari Sijthoff’s Adresboek (1928). Di masa kepemilikan oleh Hadji Obal Sobari inilah, Drukkerij Galoenggoeng mencetak Sipatahoenan, tepatnya sejak 2 Januari 1930.

Saya menemukan perubahan percetakan itu dalam IPO No. 2 (1930). Di situ dituliskan: “Van 2 Jan af verschijnt de Sipatahoenan dagelijks. Als hoofdredacteur wordt genoemd de heer Bakrie Soeraatmadja, als redacteur Mo. Soetisna Sendjaja en A.S. Tanoewiredja, terwijl het blad niet meer wordt gedrukt bij de drukkerij Soekapoera, maar bij de drukkerij Galoenggoeng” (Dari 2 Januari 1930, Sipatahoenan akan muncul secara harian. Bakrie Soeraatmadja disebutkan menjadi pemimpin redaksi dan Mo. Soetisna Sendjaja dan A.S. Tanoewiredja menjadi editornya. Surat kabar itu tidak lagi dicetak di Drukkerij Soekapoera, melainkan di Drukkerij Galoenggoeng).

Dalam iklan Drukkerij Galoenggoeng (Sipatahoenan, 7 Januari 1930) disebutkan “Oepami djoeragan njebatkeun: Drukkerij Galoenggoeng teh hidji drukkerij noe pangageungna, noe pangenggalna, noe pangmirahna di Kota Tasikamlaja, eta teh sajaktosna. Margi? a. Seueur ngagadoehan mesin-mesinna; b. seueur noe didaramelna, sareng; c. tara seueur ngabantoen oentoeng sapertos noe sanes. Boektina? Ngawitan ti sasih Januari 1930 dagblad Sipatahoenan ditjitakna koe: Snelpersdrukkerij Galoenggoeng, Passarstraat 34-36-Tasikmalaja, Telef. No. 51”.

Artinya, bila tuan menyebutkan: Drukkerij Galoenggoeng itu satu percetakan paling besar, paling cepat, paling murah di Kota Tasikmalaya, memang demikian adanya. Sebab? a. mesinnya banyak; b. banyak pekerjanya, dan; c. tidak pernah mengambil keuntungan lebih lebih seperti yang lain. Buktinya? Sejak bulan Januari 1930 harian Sipatahoenan dicetak oleh: Snelpersdrukkerij Galoenggoeng, Passarstraat 34-36-Tasikmalaja, Telef. No. 51.

Dua tahun lebih kemudian, tersiar kabar Drukkerij Galoenggoeng dijual pemiliknya kepada pemilik surat kabar Pemandangan di Jakarta, Saeroen, pada bulan Juli 1933. Saya mendapatkan kabar pembeliannya dari Sinar Deli edisi 10 Juli 1933. Di situ dikatakan, “Toean Saeroen, eigenaar uitgever dari soerat kabar Minggoean Pemandangan jang terbit di Betawi telah membeli drukkerij Galoenggoeng di Bandoeng jang menjitak soerat kabar Sipatahoenan. Drukkerij itoe akan pindahkan ke Betawi dan kemoedian Pemandangan itoe akan diterbitkan sebagai soerat kabar harian”. Itu sebabnya edisi terakhir Sipatahoenan yang dicetak oleh Drukkerij Galoenggoeng adalah 31 Agustus 1933.

Iklan Drukkerij Tjahja Pasoendan. (Sumber: Sipatahoenan, 1 September 1933)
Iklan Drukkerij Tjahja Pasoendan. (Sumber: Sipatahoenan, 1 September 1933)

Drukkerij Tjahja Pasoendan

Dari berbagai pustaka, diketahui Drukkerij Tjahja Pasoendan bernama lengkap Drukkerij & Boekhandel Tjahja Pasoendan. Percetakan dan toko buku tersebut semula berada di Rangkasbitung, Banten. Hal ini dapat ditengarai dari produk-produk yang dihasilkannya. Di antaranya dari buku-buku yang dicetak dan diterbitkan di sana, yaitu Enden Siti: Hoetang tjoerang bajar wirang (1932) karangan P dan Wawatjan Pasoelajan: Soeloek Elmoe Oesoel Babaran Kabatinan (1933) karya Haroen Atmawidjaja.

Dua buku itu diberi keterangan diterbitkan oleh Drukkerij Tjahja Pasoendan. Selain itu, ada pula beberapa surat kabar yang dicetak percetakan tersebut semasa di Rangkasbitung, yaitu Warta Kemadjoean dan Sinar Pasoendan. Mengenai Warta Kemadjoean beritanya saya baca dari IPO No. 9, 1933. Di situ dikabarkan “mingguan umum berbahasa Melayu yang baru telah diterbitkan di Serang dengan nama Warta Kemadjoean. Mingguan ini dicetak di Drukkerij Tjahja Pasoendan di Rangkasbitung dan diedit oleh Poespadiningrat dan wakil editornya Soenarjo Satiadiningrat. Penerbit mingguannya adalah Poetjoek Oemoem Lebak dan staf editorialnya ada di Rangkasbitung”.

Sementara dalam IPO No. 17, 1933, tersaji berita tentang terbitnya surat kabar Sunda yang baru dan diberi nama Sinar Pasoendan. Di situ dikatakan tidak lama setelah surat kabar Sinar Pasoendan diterbitkan, surat kabar Sunda berbentuk mingguan muncul di Batavia, dengan nama Bidjaksana. Para pengurusnya ada A. Kadaroesman (yang kadang-kadang menulis di Siang Po) dan O.K. Jaman seorang Digulis. Mingguan tersebut dicetak di Drukkerij Pasoendan di Rangkasbitung, dan dinyatakan bahwa pemilik percetakan tersebut adalah I. Sasmitaatmadja (“Het blad wordt gedrukt bij Tjahja Pasoendan te Rangkasbetoeng, volgens verklaring eigendom van den heer I. Sasmitaatmadja”).

Dengan data yang dapat dikumpulkan di atas, saya dapat menarik kesimpulan bahwa antara 1932 hingga 1933, Drukkerij Tjahja Pasoendan masih ada di Rangkasbitung, Banten, dan dimiliki I. Sasmitaatmadja atau Ili Sasmitaatmadja. Namun, tahun 1933 juga rupanya menjadi masa dipindahkannya Drukkerij Tjahja Pasoendan dari Rangkasbitung ke Bandung, seiring berhentinya Sipatahoenan dicetak oleh Drukkerij Galoenggoeng. Sipatahoenan mulai dicetak Drukkerij Tjahja Pasoendan sejak 1 September 1933.

Di dalam edisi itu ada pemberitahuan dari redaksi dan administrasi Sipatahoenan, dengan tajuk “Disalin Pakean” (berganti pakaian). Di situ tertulis begini, “Poe ieu pisan, Sipatahoenan ganti roepa, disalin pakean. Salin roepa anoe letterlijk, minangka gemetamorfoseerd, moen dina oraj tea mah megar, ngagibrigkeun sisit kolot diganti deui koe noe anjar, nja lemes nja aloes. Ngahadja midangkeun ieu soerat kabar” (Tepat hari ini, Sipatahoenan berganti rupa, berganti pakaian. Ganti rupa secara harfiah, seperi bermetamorfosis, layaknya ular yang berganti menetas, mengenyahkan sisik tua diganti dengan yang baru, yang halus dan bagus. Kami sengaja menyajikan surat kabar ini). Di bawahnya dicetak dengan huruf kapital dan tebal “DRUKK. TJAHJA-PASOENDAN” Njadiakeun intertype noe model panganjarna, dubbele snelpers anoe pangtohagana dj.r.r.d” (Drukkerij Pasoendan menyediakan intertype dengan model paling baru, percetakan dengan kecepatan ganda yang paling kuat dan lain sebagainya).

Di bawahnya lagi masih ada paragraf: “Ajeuna mangsana nembongan meunang disalin teh, ditanggoeng sarerea bakal bengong, pangling, samar koe kagandanganana! Tina djadjaran mimiti, nepi ka noe pangtoekangna, sakoemna letters djeung teekens noe sedjen, matak mohon nendjo, sono noe taja petotna” (Sekarang saatnya memperlihatkan diri setelah berganti rupa, ditanggung semua orang akan bengong, pangling, samar dengan penampilannya! Dari jajaran pertama hingga yang paling belakang, semua huruf dan gambar yang lain akan menyebabkan betah melihat, rindu tiada hentinya).

Pada gilirannya, di edisi itu Drukkerij Tjahja Pasoendan memasang iklan, yang letaknya persis bersebelahan dengan pengumuman Sipatahoenan. Di antaranya percetakan itu menyatakan menerima berbagai pekerjaan cetak baik besar maupun kecil, sesuai kehendak pemesan (“Nampi roepi-roepi padamelan tjitakan anoe ageung sareng anoe alit, padamelan noemoetkeun kahojongna pamesen”). Mereka menjamin tidak akan menyebabkan menyesal dan kapok (“Ditanggel moal handeueul …! Ditanggel moal kapok …!”), melainkan ditanggung memuaskan dan menggembirakan (“Namoeng: Ditanggel njoegemakeun …! Ditanggel ngabingahkeun …!”). Hingga akhirnya merayu untuk mencoba membuktikannya (“Moal handeueul, moal kapok, njoegemakeun sareng ngabingahkeun teh tiasa diboektikeun koe ngadamel pertjobian!”). Di akhir iklan kita menemukan alamat percetakannya: Groote-Postweg 123 Bandoeng.

Tentang pemiliknya, Ili Sasmitaatmadja, ia pernah mengalami masa-masa sulit dengan Sipatahoenan, karena harus turut berurusan dengan polisi kala surat kabar itu terkena delik pers yang menyeret pemimpin redaksinya, Bakrie Soeraatmadja. Dalam berita tahun 1934, Ili Sasmitaatmadja disebut-sebut sebagai Chef Drukkerij Sipatahoenan. Dalam edisi 6 Maret 1934 dikabarkan, ia bersama administratur Sipatahoenan Asikin diperiksa di Hoofdbureau van Politie Cicendo. Selanjutnya, pada 13 Juli 1934, I. Sasmitaatmadja, Corrector Onong Soma di Nata, Expediteur Soemirat, dipanggil lagi polisi. Akhirnya, buntut kasus delik 5 Januari 1934 adalah Bakrie dibui selama tiga bulan di Sukamiskin pada 1935.

Ili Sasmitaatmadja bahkan pernah pula berurusan dengan pengadilan, setelah Drukkerij Tjahja Pasoendan berhenti mencetak Sipatahoenan. Kasusnya bermula saat dia menjual percetakan itu pada 21 Desember 1938, saat seorang Jepang bernama T. Kubo hendak mempunyai surat kabar. Ia meminta tolong kepada Saeroen untuk mencarikan percetakan dan yang dibeli adalah Drukkerij Tjahja Pasoendan dengan harga f. 11.000. Ili Sasmita disebutkan baru menerima uang sebesar f. 4.900. Namun, menurut keterangan orang Jepang ia telah melunasi sisanya melalui Saeroen. Oleh karena itulah, Saeroen dianggap melakukan penggelapan uang (Sipatahoenan, 25 Mei 1939; Indisch tijdschrift van het recht, Deel honderd drie en vijftig, 1941).

Namun, ternyata, T. Kubo bukan orang pertama yang hendak membeli Drukkerij Tjahja Pasoendan, karena sebelumnya pada 1937, Prawoto sebagai ketua pengurus organisasinya diminta melakukan negosiasi akuisisi Drukkerij Pasoendan di Bandung, percetakan yang mencetak surat kabar Perbintjangan yang redaksinya dipimpin oleh Bakrie Soeraatmadja. Prawoto sendiri menginginkan agar susunan redaksinya yang baru terdiri atas Saleh Soeriawinata (mantan sekretaris kabupaten Bandung), Abas Natadiningrat (mantan camat Majalaya dan sepupu bupati Bandung), dengan pilihan lainnya Wignjadisastra dan Doeta Koesoemaningrat (IPO, No. 25, 1937).

Sejak 1 Agustus 1936, Sipatahoenan pindah alamat ke kantor percetakan miliknya, Drukkerij Pengharepan. (Sumber: Sipatahoenan, 30 Juli 1936)
Sejak 1 Agustus 1936, Sipatahoenan pindah alamat ke kantor percetakan miliknya, Drukkerij Pengharepan. (Sumber: Sipatahoenan, 30 Juli 1936)

Drukkerij Pengharepan

Bila dicermati, sejak awal terbit hingga akhir Juli 1936, Sipatahoenan secara bergantian dicetak oleh rekanan. Lalu, apakah selama Paguyuban Pasundan sebagai penerbit Sipatahoenan tidak punya keinginan memiliki sendiri percetakan? Atau pihak administrasi dan redaksi Sipatahoenan, misalnya?

Dari berita dan tulisan yang dapat ditelusuri dari koleksi Sipatahoenan, sebenarnya keinginan memiliki percetakan sendiri sudah terbilang lama ada. Upaya paling seriusnya melalui terbentuknya Fonds Sapoeloeh Reboe atau “Fonds F. 10.000” pada 1930. Pengumuman penggalangan dana itu mulai disiarkan Hoofdredacteur A.S. Tanoewiredja, atas nama directie Sipatahoenan, sejak edisi 13 Desember 1930 dengan tajuk “Milari Tanaga” (mencari tenaga).

Selanjutnya pada edisi Selasa, 16 Desember 1930, dikatakan “dagblad Sipatahoenan boetoeh koe hidji drukkerij anoe pangaosna f. 10.000 atau Sipatahoenan membutuhkan satu percetakan yang harganya f. 10.000. Namun, maksud “Fonds Sapoeloeh Reboe” tidak terwujud.

Sipatahoenan baru resmi memiliki percetakan sendiri pada 1936 atau enam tahun setelah adanya Fonds Sapoeloeh Reboe. Mula-mula beritanya tersiar dari tulisan “Patoeraj Tineung” dalam edisi 31 Juli 1936 yang secara imajinatif ditulis oleh Sipatahoenan sendiri. Dalam tulisan tersebut Sipatahoenan menjelaskan kepindahannya dari Tasikmalaya ke Kota Bandung, atas inisiatif “ayahnya” (baca: Paguyuban Pasundan). Setelah enam tahun di Bandung, ia pindah ke alamat yang baru di Oude Kerkhofweg 34-36. Dalam bahasa Sunda ia menyatakan, “Koe bapa dipindahkeun ka Bandoeng, sarta sanggeusna koering ngoembara di kota ieu lilana 6 taoen, ajeuna koering kapaksa koedoe ninggalkeun tempat anoe ditjitjingan koe koering ti mimiti aja di nagara Bandoeng, nagara Bandoeng anoe aja di toetoegan Goenoeng Tangkoeban Parahoe tea, ka tempat anoe anjar, nja eta di Oude Kerkhofweg 34-36”.

Kepindahannya ke tempat baru dibarengi rasa gembira, karena Sipatahoenan atas usaha Paguyuban Pasundan sudah mempunyai percetakan sendiri (“koering dipindahkeun ka tempat anoe anjar teh ngagadoehan toetoerkeuneun anoe tjindek, beunang koering koeroe tjileuh kentel peudjit koekoempoel kekempel kalawan pangdjeudjeuhkeunana poen bapa tea, ajeuna sim koering gadoeh drukkery sorangan”). Ada pula rasa duka, karena harus berpisah dengan tempat yang sebelumnya ia tinggali selama sekitar empat tahun, yaitu Drukkerij Tjahja Pasoendan (“Doepi doekana, eta bae kedah pisah sareng anoe ajeuna dipatoehan, nja eta Drukkery Tjahja Pasoendan. Kirang langkoeng opat taoen koering matoeh di andjeunna”).

Sipatahoenan juga terkenang pengalaman sebelumnya. Ketika pindah dari Tasikmalaya ke Bandung ternyata ia disertai dengan kepindahan percetakan yang mencetaknya, Drukkerij Galoenggoeng, yang sekarang pindah ke Batavia (“Ti Tasik ka Bandoeng, koering sasarengan teh sareng Drukkery Galoenggoeng, namoeng koe margi andjeunna ngalih ka Batawi nja teras pisah”).

Ia menjelaskan lagi mulai besok, Sabtu, 1 Agustus 1936, punya rumah yang baru (“Ti kawit dinten endjing, manawi teu lepat mah dinten Saptoe Pon, kaleresan 1 Augustus 1936, koering gadoeh imah sorangan”). Penyebab punya percetakan sendiri itu merupakan amanat anggota Paguyuban Pasundan dalam kongres yang diselenggarakan di Bandung tahun 1935 dan 1936 (“Babakoena, anoe mawi sim koering ajeuna ngagadoehan rorompok teh, ngemoetkeun kana piwaranganana baraja-baraja, nalika kongres Pasoendan anoe diajakeun di Bandoeng taoen 1935 sareng 1936, koe arandjeunna koering keukeuh dipiwarang soepaja gadoeh drukkery sorangan”).

Adapun warta kepindahan Sipatahoenan dari tempat lamanya di Groote Posweg Oost No. 23, sekaligus kantor Drukkerij Tjahja Pasoendan, sudah dikabarkan pada edisi 30 Juli 1936. Dengan tajuk “Gentos Adres” (ganti alamat) di situ disebutkan bahwa “Ti ngawitan ping 1 Augustus 1936, adres redactie & administratie Sipatahoenan” (sejak tanggal 1 Agustus 1936, alamat redaksi dan administrasi Sipatahoenan) yaitu ke Oude Kerkhofweg 34-36 Bandoeng. Telefoon Tetep No. 1520”.

Sebagai pertanda mempunyai percetakan sendiri itu, pemimpin redaksi Sipatahoenan Moehamad Koerdie menulis tajuk rencana berjudul “Matjakal!” (mandiri) pada halaman pertama edisi 1 Agustus 1936. Pada dua paragraf pertama, Koerdie menyatakan tanggal 1 Agustus 1936 sangat penting diperingati, mengingat setelah 13 tahun bergantung kepada orang lain, sekarang Sipatahoenan mempunyai percetakan sendiri (“Sanggeus 13 [tiloewelas] taoen goemantoeng ka batoer, hiroep dikawoelaan koe noe lian, ajeuna tjoendoek kana waktoena, Sip boga drukkerij sorangan”).

Padahal, kondisi kesehatan Koerdie saat menulis tajuk itu sedang sakit. Ini terbaca dari catatan redaksi (“Naschrift v/d redactie”) di bawah tulisan Koerdie. Kata redaksi, “Noemoetkeun kana moenelna harti powe ieu, Saptoe 1 Augustus 1936 keur Sipatahoenan, sanadjan keur kaganggoe kawarasan salirana, hoofdredacteur Sip, djrg. Mohamad Koerdie teu boeroeng maksakeun ngadamel karangan noe kaoeni di loehoer” (Mengingat sangat bermaknanya arti hari ini, Sabtu, 1 Agustus 1936 bagi Sipatahoenan, meski sedang sakit, pemimpin redaksi Sipatahoenan, Mohamad Koerdie memaksakan dirinya membuat tulisan yang terbaca di atas).

Nama percetakan milik Sipatahoenan itu adalah Drukkerij Pengharepan. Ini tertulis dalam kotak redaksi edisi 1 Agustus 1936, sekaligus dua iklan yang dipasang pada edisi hari tersebut. Satu iklan besar yang menampilkan kata “DRUKKERIJ PENGHAREPAN” dipasang pada halaman empat bagian paling atas dan di bawahnya ditulis alamatnya yang sama besar “OUDE KERKHOFWEG (BANTJEUJ) NO. 36”. Satu iklan lagi dipasang di halaman tujuh, dengan narasi “Drukkerij Pengharepan, Bantjeuj 34-36 Bandoeng. Padamelan netjis, pangaos ipis!

Dalam edisi Senin, 3 Agustus 1936, ada tiga kabar yang berkaitan dengan kepindahan kantor dan percetakan baru Sipatahoenan. Pertama, pembaca bernisial AN turut bergembira dan mengucapkan selamat kepada Sipatahoenan karena mempunyai percetakan sendiri (“Atoh lain pangoloan, boengah lain aja pamandangan, barang breh matja dina Sip poe Saptoe tg. 1 Augustus 1936, jen geus tjoendoek kana waktoe Sipatahoenan ngabogaan drukkerij sorangan”).

Kedua, berita keterlambatan terbit Sipatahoenan edisi Sabtu (1 Agustus 1936) dan Senin (3 Agustus 1936) akibat Sipatahoenan pindah percetakan dan pindah kantor yang ditulis oleh redaksi dengan judul “Sipatahoenan elat kaloearna”. Redaksi berjanji bahwa dua-tiga hari keadaan akan seperti sedia kala (“Doea tiloe powe deui beres sakoemaha biasa”) dan memohon maaf atas keterlambatan tersebut (“Kana kadjadian anoe saroepa kitoe, teu aja sanes heulaanan njoehoenkeun ditawakoep”).

Satu lagi, ada dalam rubrik pojok “Panganggoeran” berjudul “Entjep verlof”. Entjep, sang penjaga rubrik, mengaku cuti pada hari Sabtu akibat terlalu penat menguruskan “jang maha riboet”. Ketika hari Senin masuk, ia agak tercengang-cengang karena mendapati kenyataan di depan kantor barunya banyak sekali yang berlalu-lalang (“Sadjaba ti kitoe, Entjep teh sanggeus pindah ka kantor anjar, djadi rada malaweung pikiran teh da eta ka hareupeun kantor Entjep loba pisan anoe ngaliwat, boorwater jang maha herang dan maha gedjed banjak jang berdjoempa. Si Manehna mah kawas noe manggih gorowong kantor Entjep pindah ka Bantjeuj teh, da koemaha atoeh basana teh rek balandja ka Pasar Bantjeuj, manahoreng ngawaterhon Entjep, bisi Entjep toloheor ka mana mendi”).

* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//