• Komunitas
  • Ragam Wajah Sungai Cikapundung di Tangan Para Seniman, antara Lukisan dan Kenyataan

Ragam Wajah Sungai Cikapundung di Tangan Para Seniman, antara Lukisan dan Kenyataan

Sungai Cikapundung menjadi tema dalam pameran yang dikelola oleh Komunitas Hegarmanah (KHM). Betapa pentingnya sungai dalam kehidupan.

Kegiatan sesi gambar figur bersama di Galeri Tjikapundung, Bandung, Selasa, 26 Maret 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/bandungbergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah2 April 2024


BandungBergerak.idDi balik deretan bangunan tua nan estetik di Braga, di antara perkampungan dan deretan rumah, sebuah galeri seni yang dikelola oleh para seniman yang tergabung dalam Komunitas Hegarmanah atau disingkat KHM berdiri. Lokasi galeri ini berdekatan dengan Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung.

Bandungbergerak.id mengunjungi galeri ini, Selasa, 26 Maret 2024 siang ketika beberapa seniman sedang menggambar bersama. Selain menggambar bersama, galeri ini juga sedang membuka pameran seni bertajuk ‘Tjikapundung’.

Para seniman menggambar model yang duduk di tengah-tengah, segingga bisa terlihat dari berbagai sudut pandang. Kertas buram disiapkan memfasilitasi orang yang datang untuk menggambar. Tetapi, beberapa di antaranya sudah membawa perlengkapan dan media gambar pribadi. Bahkan ada yang menggambar menggunakan kanvas dan cat akrilik.

“Emang awalnya sih rencananya pakai kopi. Supaya nuansanya kayak monokrom gitu. Cuma dari warna yang gelap yang paling deket itu gak kekejar sama warna kopi.” jelas Yoyo di depan lukisan akrilik dengan kanvas berukuran 90x70 cm yang berjudul Kehidupan #1.

Yoyo Hartanto, salah satu seniman yang tergabung dalam KHM, menyumbangkan lima lukisan yang dipamerkan di sana. Empat di antaranya adalah hasil lukisan menggunakan media cat air dan kertas. Semua lukisan tentang aliran Sungai Cikapundung dari berbagai tempat di Bandung. Bahkan salah satunya mengambil latar yang menampakan Inhoftank, sebuah tangki pengolahan limbah pada zaman kolonial.

“Kalau dari rumah-rumah penduduk ini, yah. Kan, itu mah secara arsitek juga gak puguh lah, gak beraturan itu tarikan-tarikan garisnya. Kalau buat seniman itu yang menarik,” ujar sang seniman yang suka menggunakan kopi sebagai media lukis.

Berbeda dengan lukisan Yoyo Hartanto yang terkesan realis, Yoce Wiriadi menampilkan lukisan ekspresionis berwujud manusia.

“Ini sebenanya banyak sekali lukisan saya. Setiap potong lukisan saya ini dia punya temannya, seperti yang sebelah sana,” jelas Yoce saat menjelaskan salah satu karyanya di ruangan depan galeri, dekat dengan meja pendaftaran.

Ketika begitu banyak seniman yang mengirimkan banyak gambar pemandangan alam, Yoce mengirimkan empat lukisan yang dipajang berbentuk seorang manusia. Salah satunya yang berada di ruangan depan, lukisan itu dilengkapi oleh lukisan abstrak. Yoce menganggap bahwa karya lukisnya sebagai anak-anaknya. Setiap karya lukisnya memiliki pasangan. Dan bilamana anak-anak itu digabung-gabungkan, maka akan menghasilkan sebuah karya seni baru. Itulah bagaimana ia mengembangkan prinsipnya ke dalam lukisan.

Yoce menjelaskan lukisan-lukisannya bercerita tentang kehidupan manusia yang tidak pernah terlepas dari level atau tahta. Contohnya, seorang CEO berada di level teratas dan manager yang berada di level lebih bawah dalam sebuah lingkungan perusahaan.

Pelukis yang saat itu lebih memilih berlatih menulis karakter mandarin dibandingkan menggambar bersama mengasosiasikan tahta itu ke dalam sebuah topi atau mahkota. Hal itu tergambarkan di setiap karya yang dia tampilkan pada pameran itu. Antara tahta dan manusia itu kedua terwujud berkat adanya dukungan dari alam.

“Alamnya itu jangan sembarang alam. Alam itu juga harus bisa mendukung kehadiran dari tahta dan manusia ini,” ucap pelukis berusia 66 tahun itu.

Baca Juga: Lukisan Gaya China Tak Pudar Dihantam Pandemi COVID
Memaknai Pameran Lukisan Mahasiswa Seni Asal Bandung dan Yogyakarta
Spirit Andi Sopiandi dalam 15 Lukisan

Yoce Wiriadi (66) dengan salah satu karyanya yang dipajang berjudul Sang Dewi #2 di Pameran Tjikapundung, Bandung, Selasa, 26 Maret 2024. ( Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)
Yoce Wiriadi (66) dengan salah satu karyanya yang dipajang berjudul Sang Dewi #2 di Pameran Tjikapundung, Bandung, Selasa, 26 Maret 2024. ( Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Sebagai Branding dan juga Pengingat Pentingnya Sungai

Pembukaan pameran Tjikapundung ini sekaligus menjadi momentum pergantian nama galeri yang sebelumnya bernama Galeri KHM. Menurut Toni Masdiono selaku kurator pameran, pergantian nama galeri ini sebagai salah satu bentuk branding untuk galeri.

Galeri ini awalnya berlokasi di daerah Hegarmanah, sesuai dengan nama komunitasnya. Saat pindah di Gang Cikapundung di tahun 2020, nama Galeri KHM ini tetap dipakai. Sering kali, nama inilah yang selalu disalahartikan oleh banyak orang. Nama galeri yang menyematkan nama tempat yang tidak sesuai dengan lokasinya membuat orang kebingungan. “Mengapa namanya Galeri KHM tetapi lokasinya berada di Cikapundung?” menjadi pertanyaan yang sering ditanyakan orang pada komunitas.

“Orang selalu melihat akhirnya, Galeri KHM ya berarti hanya orang KHM yang boleh ikut pameran. Karena memang selalu pamerannya di sini,” kata sang kurator menjelaskan jika penggunaan nama KHM juga berdampak dengan citra galeri yang terkesan eksklusif. Padahal menurut Yoris Tenza (pemilik galeri), galeri ini sangat terbuka bagi orang di luar anggota komunitas.

Karena lokasi yang berada di Gang Cikapundung dan dekat dengan sungai itu, maka Galeri Tjikapundung dipilih. Namanya sendiri sengaja mengambil ejaan Soewandi pada huruf C saja agar tidak terlalu panjang jika ditulis. Hal ini juga untuk dapat mempermudah orang dalam mengingat galeri ini. Selain itu, pemilihan Cikapundung tidak terlepas dari makna sungai yang dianggap sebagai hal penting bagi orang Bandung.

“Kita juga melihat bahwa Cikapundung gimana pun sungai paling penting di Bandung. Karena dia yang menjadi nadinya kota Bandung,” ujar Toni, seorang komikus yang juga suka melukis.

Pameran Tjikapundung sendiri sudah dibuka semenjak 19 Maret 2024 lalu dan akan berakhir pada 19 April 2024. Terhitung ada 16 pelukis yang mengikuti pameran. Mereka menampilkan wajah Sungai Cikapundung dalam beragam citra, interpretasi, dan lokasi. Toni sebagai seorang pendatang dari Malang dan bermukim lama di Bandung, sempat menanggapi berbagai wajah sungai ini dengan bentuk keprihatinan.

Sungai purba sepanjang 28 kilometer yang membelah Kota Bandung itu telah tercemar dan banyak warga Bandung seakan-akan tidak peduli akan pentingnya sungai dalam kehidupannya. Banyaknya orang membuang sampah di sungai hingga masifnya pembangunan di daerah utara menjadi poin yang turut dibicarakan oleh sang pengarang komik Lao Sam 1892. Maka pameran ini juga bertujuan untuk mengingatkan orang akan pentingnya sungai lewat sebuah seni lukis.

“Sebetulnya kita membangun kesadaran justru dengan keindahan. Tapi dengan keindahan ini kita sadar, ‘iya tapi kenyataan sekarang disitu banyak sampah’. Kan, jadi inget. Tapi kita tetap senang melihat lukisan ini karena indah,” ujar Toni membahas poin yang ingin pameran ini tonjolkan pada masyarakat.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Seni Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//