• Kolom
  • SUARA SETARA: Sistem Patriarki yang Membuat Upah Pekerja Perempuan Jauh Lebih Rendah

SUARA SETARA: Sistem Patriarki yang Membuat Upah Pekerja Perempuan Jauh Lebih Rendah

Sistem patriarki seakan membangun tembok bagi perempuan untuk memiliki kesempatan yang sama di sektor pekerjaan yang memiliki upah tinggi.

Mutiara Beln & Azmi Mahatmanti

Anggota Gender Research Student Center (GREAT) UPI,

Seorang buruh perempuan berjalan kaki di samping dinding luar pabrik tekstil tempatnya bekerja, Kamis (12/6/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

2 April 2024


BandungBergerak.id – Apakah di antara kalian pernah melihat bagaimana seorang perempuan sekaligus berperan sebagai ibu yang bercucuran keringat setelah pulang kerja namun tetap harus bekerja di rumah mengurusi urusan rumah tangga?

Melihat bagaimana sosok perempuan harus tetap menjalani peran pengasuhan yang hanya dibebankan perempuan, bahkan ketika telah bersusah payah mencari nafkah adalah hal yang menyakitkan untuk dibayangkan apalagi dilihat. Sayangnya hal itu dianggap wajar pada sistem patriarki. Kerap kali perempuan justru disalahkan atas pilihan “menjadi pekerja”. Kepiluan ini juga bertambah ketika mengetahui data rendahnya upah pekerja perempuan.

Baca Juga: SUARA SETARA: 16 HAKTP yang selalu Kita Rayakan Sebenarnya Berawal dari Sejarah Penuh Luka
SUARA SETARA: Stereotip Maskulinitas Mengakibatkan Pelecehan Seksual pada Laki-laki Menjadi Bahan Guyonan
SUARA SETARA: Fenomena “Sephora Kids”, Kegagalan Feminisme?

Kesenjangan Upah Laki-laki dan Perempuan

Menilik catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tahun 2022 mengenai upah antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, terdapat kesenjangan upah berdasarkan jenis kelamin (gender wage gap) mencapai 22,09% dari rata-rata upah yang diterima pekerja laki-laki di Indonesia. BPS pula mencatat data pada tahun 2023 jumlah perempuan yang bekerja di sektor informal (pekerjaan yang tidak terikat pada lembaga) sebesar 65,35%, sedangkan perempuan yang bekerja di sektor formal hanya sebesar 34,65%, artinya kesenjangan upah juga dipengaruhi kesempatan perempuan bekerja pada sektor yang menunjang upah minimum yang didapatkan setiap bulannya.

Patriarki seakan membuat tembok untuk perempuan kurang bahkan tidak memiliki kesempatan yang sama di sektor pekerjaan yang memiliki upah tinggi. Hal tersebut dikarenakan masih langgengnya stereotip gender pada pekerjaan. Pekerjaan yang dianggap “feminin” dengan tipikal membutuhkan ketelitian, ketekunan, kesabaran, keluwesan seperti bidang administrasi dan pengajaran cenderung lebih mendapat upah rendah jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dianggap “maskulin” dengan tipikal pekerjaan yang membutuhkan ketepatan teknis, tingginya risiko seperti bidang pertambangan dan teknologi cenderung mendapat upah yang lebih tinggi.

Tertanamnya stereotip pekerjaan juga menggiring pembenaran-pembenaran atas suatu hal yang di luar kodrat. Misalnya kekuatan, kepintaran, ketegasan, ketelitian, keluwesan dan atribut lain yang dilekatkan pada jenis kelamin tertentu seakan menjadi seleksi pada kesempatan bekerja.

Sistem patriarki membuat mayoritas beranggapan jika perempuan bekerja untuk “membantu” perekonomian keluarganya dan jika laki-laki bekerja untuk “menghidupi” keluarganya. Lalu bagaimana dengan seorang ibu “single parent“ yang harus membantu perekonomian keluarga sekaligus menghidupi keluarganya jika masih dalam posisi mendapat upah rendah?

Patriarki Mereduksi Kesempatan Perempuan

Kami mencoba menelaah bagaimana patriarki membuat para perempuan mendapatkan upah murah diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, bagaimana perempuan kesulitan untuk memanfaatkan dengan baik hasil pendidikan dibandingkan lelaki. Asumsi ini berdasar pada laporan BPS yang menunjukkan persentase proporsi lulusan perguruan tinggi pada penduduk perempuan di atas usia 15 tahun lebih tinggi dibandingkan penduduk laki-laki. Proporsi perempuan yang bergelar sarjana pada tahun 2021 mencapai 10,06%, sedangkan laki-laki sebesar 9,28%. Namun nyatanya hal tersebut tidak terlalu membantu perempuan dalam mendapatkan hak yang sama dengan lelaki. Masih melekatnya ideologi gender tradisional memunculkan stereotip perempuan yang harus lebih berbakti dan fokus pada keluarga saat sudah menikah membuat perempuan kesulitan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki di dunia profesional.

Kedua, perempuan “masih harus” menanggung beban ganda pada peran keluarga, misalnya menjadi pekerja sekaligus mengurusi perawatan anak secara penuh. Hal ini membuat perusahaan memilih untuk mempekerjakan laki-laki dibandingkan perempuan. Misalnya pada konteks melakukan lembur kerja, mayoritas perempuan masih belum bisa bebas bekerja di luar jamnya dikarenakan satu dua alasan seperti harus segera pulang ke rumah menjaga anak atau mengurusi pekerjaan rumah yang lain, sehingga hal tersebut berpengaruh pada penilaian performa karyawan dan membuat kaum perempuan sulit untuk mendapatkan promosi atau kenaikan jabatan maupun upah tambahan.

Ketiga, patriarki juga memupuk kuat stereotip perempuan adalah pihak yang lemah dan hanya dipandang objek seksual semata. Sehingga dipandang layak menerima tindakan pelecehan dengan menyalahkan cara berjalan, cara berpakaian, jam pulang kerja, cara bicara, dan banyak hal lain dengan cap bahwa perempuan adalah penggoda sehingga pantas jika mendapatkan tindakan pelecehan. Stereotip ini mengakibatkan potensi tinggi terjadinya tindak kekerasan seksual di tempat kerja. Data Komnas Perempuan mencatat 389 kejadian kekerasan seksual di tempat kerja. Pada tahun 2021 jumlah korban kekerasan seksual mencapai 411 orang, berlanjut pada tahun 2022 sebanyak 324 kasus serupa dengan 384 korban. Hingga Mei 2023, terdapat 123 kasus dan sebanyak 135 orang menjadi korban. Sayangnya masih sedikit perusahaan yang memiliki SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sehingga membuat beberapa dari perusahaan seringnya mengambil langkah memberhentikan sebagai pekerja ketika menjadi korban kekerasan seksual dan membuat perusahaan memangkas porsi pekerja perempuan untuk alasan lebih aman agar tidak ada kasus. Padahal kekerasan seksual juga dapat terjadi pada pekerja laki-laki.

Banyaknya ketidakadilan yang ditelan oleh pekerja perempuan akibat sistem patriarki seakan menyeret untuk tetap bertahan sebagai pekerja dengan tanggung jawab yang sama, ditambah beban ganda peran rumah tangga sepenuhnya, ditambah perempuan juga dibayangi perasaan was-was dari kurang amannya lingkungan bekerja dari kejahatan seksual. Barangkali kami hanya menuliskan tiga, namun di luar sana masih banyak peristiwa yang mengesampingkan perempuan untuk mendapatkan kesempatan, ruang aman, dan hak yang sama pada dunia bekerja.

Untuk itu, apakah perempuan pantas memikul ini semua secara terus menerus? Kami sepakat untuk berkata “tidak” dengan lantang.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//