• Berita
  • Konservasi Sungai Citarum akan Dibahas dalam Forum Internasional

Konservasi Sungai Citarum akan Dibahas dalam Forum Internasional

Sungai Citarum sempat berjuluk sungai terkotor di dunia. Sejumlah penelitian menemukan pencemaran telah merembes ke sumur-sumur milik warga.

Warga menjaring ikan di Sungai Citarum yang kotor. Debit air Citarum terus menyusut, Minggu (23/7/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana16 April 2024


BandungBergerak.id - Indonesia akan menjadi tuan rumah 10th World Water Forum yang akan berlangsung di Bali, 18-24 Mei 2024. World Water Forum fokus membahas isu-isu strategis terkait permasalahan air di kancah global. Forum ini mendapat atensi lebih dari 100 negara, menunjukkan adanya perhatian yang tinggi terhadap krisis air global.

Dosen Pascasarjana Universitas Pasundan (Unpas) Bandung yang juga Ketua Citarum Institute Eki Baehaki mengatakan, konservasi Sungai Citarum akan dibahas dalam forum internasional tersebut. Terlebih sejak 2017 Sungai Citarum telah menarik perhatian dunia karena sempat dijuluki ‘sungai terkotor di dunia’.

Citarum Harum, kata Eka, sebagai program kolaboratif yang diklaim mampu ‘menghijrahkan’ sungai Citarum dari tercemar berat ke tercemar ringan. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, Indeks Kualitas Air (IKA) Citarum pada 2018 sangat rendah, yakni 26,3 persen, kemudian meningkat menjadi 33,81 persen (2019), 55 persen (2020), 50,13 persen (2021), 51,01 persen (2022), dan 50,78 persen (2023).

Dengan debit air mencapai 13 miliar meter kubik per tahun, Sungai Citarum memiliki nilai vital dan strategis. Di antaranya memberi manfaat pemenuhan air bagi 18 juta warga Jawa Barat dan Jakarta, sumber pembangkit listrik 1.880 MW dan menerangi 20 persen kebutuhan listrik Jawa-Bali, mengairi 400 ribu hektare sawah, sumber air ribuan industri, sumber air baku untuk sekitar 80 persen air minum Jakarta, serta kemaslahatan lainnya.

“Secara objektif, sebelum hadirnya program Citarum Harum, masalah kompleks Sungai Citarum menyebabkan pesimisme. Hal ini karena kompleksitas masalah Citarum begitu terstruktur, sistematis, bahkan masif, sehingga memerlukan penanganan secara kolaboratif dan integratif dari stakeholder terkait,” kata Eka, Senin, 25 Maret 2024. 

Sinergi Pentahelix, Apakah Efektif?

Menurutnya, untuk mencapai keberhasilan Citarum Harum, diperlukan kesungguhan dengan melakukan perubahan besar terkait aspek regulasi, struktural, dan kultural dalam program komprehensif. Citarum membutuhkan pendekatan, pola, dan strategi baru untuk menyelesaikan permasalahan konservasi sungai.

Sinergi Pentahelix sebagai formula suksesnya Citarum Harum secara mendasar telah mampu menghadirkan energi besar dari berbagai kalangan untuk terlibat aktif, tidak hanya unsur pemerintah, akademisi, komunitas, bisnis, dan media.

“Sayangnya, sinergi Pentahelix mulai memudar dan belum efektif, karena masih kuatnya ego sektoral antar unsur yang ada. Saya rasa, spirit Pentahelix harus direvitalisasi kembali untuk hadirkan inovasi dan kolaborasi supaya ke depannya Citarum Harum bukan sekadar proyek fisik, namun dapat dikembangkan menjadi filosofi dan kearifan lokal dalam merawat alam, termasuk menjadi laboratorium alam maupun objek pengabdian civitas akademika perguruan tinggi,” paparnya.

Komitmen dan partisipasi unsur Pentahelix masih bersifat fluktuatif dan baru sebagian kecil unsur yang berperan. Pemerintah sebagai pemangku utama konservasi sungai Citarum harus mau dan mampu mengajak unsur-unsur lainnya. Keterlibatan unsur lain di luar pemerintah mesti diberi ruang, bahkan difasilitasi untuk terlibat merawat Citarum tetap harum.

“Kalau hanya proyek pemerintah semata, dipastikan program ini tidak akan berjalan optimal. Saya harap, 10th World Water Forum dapat menyediakan platform penting bagi semua pemangku kepentingan di sektor air dalam skala global,” ungkapnya.

Ia menilai, 10th World Water Forum jadi tonggak besar kontribusi Indonesia terhadap upaya masyarakat global dalam mengelola sumber daya air secara berkelanjutan. Forum ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas kebijakan nasional dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya air, serta menghasilkan konsep kerja kolaboratif terkait sumber daya air yang efektif, serta prinsip-prinsip tata kelola yang dapat menjadi acuan global.

“World Water Forum 2024 harus dijadikan momentum untuk meningkatkan kesadaran akan adanya krisis air dan merumuskan solusi maupun komitmen bersama demi kesejahteraan masyarakat sebagai perwujudan air untuk kemakmuran dan pertumbuhan bersama,” harapnya.

Baca Juga: Sungai Citarum, Berkah di Masa Lalu, Bencana di Masa Kini
DAS Citarum Kritis, Luas Hutan Penyangga Tinggal 10 Persen
Anak Sungai Citarum Ikut Menjadi Sungai Terkotor di Dunia: Siapa Bertanggung Jawab?

Penelitian Baku Mutu Air Sungai Citarum

Sungai Citarum telah lama tercemar, sebagaimana pernah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan tim dari lintas disiplin ilmu Unpad, UPI, dan BBWS Citarum yang terdiri dari Kartika Hajar Kirana, Gesti Cita Novala, Dini Fitriani, Eleonora Agustine, Maghfira Dwivani Rahmaputri, Fahmy Fathurrohman, Nabila Risty Rizkita, Nico Andrianto, Nita Juniarti, Juju Julaiha, Rayna Aulia Zaenudinna, Muhamad Rovie Nawawi, Vanessa Zian Mentari, Muhamad Gina Nugraha, Yudi Mulyadi.

Penelitian dilakukan di Sungai Citarum hulu dan air sumur warga sekitar Sektor 7 di wilayah penelitian Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung. Hasil penelitian dipublikasikan dalam jurnal Wahana Fisika 2019.

Para peneliti menemukan pH air sumur maupun air sungai masih memiliki nilai 7,29 sampai dengan 7,91. Hasil ini masih dalam rentang nilai pH normal berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 416/MENKES/PER/IX/1990 yang menyebutkan bahwa pH yang baik untuk air bersih dan dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga (bukan minum) adalah 6,5 – 8,5.

Selain pH, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 416/MENKES/PER/IX/1990, suhu maksimum yang diperbolehkan untuk menunjukkan air bersih adalah 30 derajat Celsius. Hal ini berarti bahwa air Sungai Citarum maupun air sumur masih baik karena memiliki suhu kurang dari 30 derajat Celsius. Suhu dijadikan parameter kualitas air disebabkan suhu air sangat mempengaruhi kondisi biologis makhluk hidup yang ada dalam air.

Penelitian juga mengukur kadar logam (Fe) air di Sungai Citarum terbilang besar bahkan melebihi batas. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 416/MENKES/ PER/IX/1990, konsentrasi besi terlarut yang masih diperbolehkan dalam air bersih adalah sampai dengan 1,0 mg/L, sedangkan untuk air minum adalah 0,3 mg/L. Tingginya kandungan Fe pada air dapat membahayakan kesehatan maupun merugikan apabila air tersebut digunakan dalam jangka waktu panjang.

Hal ini sejalan dengan penelitian Kirana dkk. (2014) dan Sudarningsih dkk. (2017) yang menyatakan bahwa tingginya kandungan Fe Sungai Citarum dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, Sungai Citarum terletak di wilayah tropis yang memiliki batuan dasar dari sistem vulkanik. Tanah vulkanik yang dan air berbau. Maka secara ekonomi gangguan ekonomis yang ditimbulkan adalah tidak secara langsung melainkan karena akibatnya yang ditimbulkan oleh kerusakan peralatan yang memerlukan biaya tidak sedikit untuk reparasi. 

Selain itu, ditinjau dari sisi kesehatan bahayanya kandungan Fe tinggi pun berpengaruh terhadap iritasi mata, kulit dan apabila dikonsumsi dapat merusak dinding usus. Tingginya nilai Fe yang berefek pada kesehatan sangat penting ditinjau mengingat berdasarkan hasil pengukuran kandungan logam berat Fe lebih tinggi yang terdapat pada air sumur warga dibandingkan air Sungai Citarum, padahal keduanya memiliki kandungan di atas ambang batas yang diperbolehkan bagi air bersih.

“Berdasarkan hasil analisis hidrologi pada sampel air sungai dan sumur daerah penelitian, dapat disimpulkan bahwa air sumur di sekitar rumah warga dan air Sungai Citarum Hulu Sektor 7 menunjukan bahwa nilai pH, suhu, dan TDS masih di bawah ambang batas tercemar, sedangkan nilai EC menunjukkan bahwa air sumur dan air sungai telah tercemar. Hal ini dibuktikan dengan analisa kandungan logam berat yang dapat dilihat bahwa terdapat kandungan logam besi yang cukup tinggi di atas ambang batas air bersih sehingga air tersebut tidak dapat di konsumsi bagi warga, baik untuk air sungai maupun air sumur,” papar para peneliti.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain tentang Sungai Citarum

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//