• Kampus
  • Peneliti Unpad Mengembangkan Pelembap Kulit dan Membedah Potensi Tanaman Qusth Al Hindi Sebagai Antiradang

Peneliti Unpad Mengembangkan Pelembap Kulit dan Membedah Potensi Tanaman Qusth Al Hindi Sebagai Antiradang

Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit eksim alergi yang menyerang anak-anak maupun dewasa di Indonesia. Sebanyak 30 persen penderita penyakit ini anak-anak.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Ida Musfiroh menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu (Sajabi) Potensi Qusth Al-Hindi sebagai Antiradang yang diselenggarakan Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu, 2 Maret 2024. (Foto: Unpad)*

Penulis Iman Herdiana11 April 2024


BandungBergerak.idPara peneliti dari Universitas Padjadjaran (Unpad) melakukan sejumlah riset kesehatan, mulai dari pengobatan penyakit kulit dermatitis atopik hingga menggali potensi tanaman Qusth Al Hindi sebagai antiradang. Riset ini diharapkan melahirkan alternatif terapi bagi sejumlah penyakit yang banyak ditemukan di masyarakat.

Riset pengobatan penyakit kulit dermatitis atopik dilakukan secara multidisiplin yang dipimpin Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Reiva Farah Dwiyana, dengan anggota Anis Yohana (Farmasi), Gita Widya Pradini (fakultas kedokteran), Rendy Ariezal Effendi (Fakultas Kedokteran, dan Mia Tria Novianti (FMIPA).

Tim mengembangkan purwarupa pelembap untuk pengobatan dermatitis atopik skala ringan-sedang pada anak. Riset ini didorong untuk mengembangkan pelembap yang mampu memberikan efek terapi lebih lama dengan harga terjangkau.

Reiva menjelaskan, dermatitis atopik merupakan penyakit kulit eksim alergi yang sering mengenai anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia, sebanyak 30 persen dari penderita dermatitis atopik merupakan anak-anak. Dari jumlah tersebut, 10 persen di antaranya berlanjut hingga dewasa.

“Dia (penyakit) ini mengganggu dan bisa menurunkan kualitas hidup penderitanya, karena akan kambuh-kambuh terus. Dan kalau sudah gatal, (penderitanya) akan menggaruk terus. Itu akan mengganggu dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien dan keluarga,” paparnya, diakses dari laman Unpad, Selasa, 19 Maret 2024.

Mengingat penyakit ini termasuk jenis alergi, penderita dermatitis atopik akan mengalaminya sepanjang hidup. Hal ini menyebabkan pengobatan penderita dermatitis atopik akan berlangsung seumur hidup. Dampaknya, ada biaya besar yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengobatan.

Lebih lanjut Reiva memaparkan, di Indonesia sendiri, sudah beredar berbagai obat berjenis pelembap untuk pengobatan dasar dermatitis atopik. Harganya bervariatif, mulai dari yang murah hingga yang mahal. Pelembap mahal merupakan produk impor dan memiliki efek terapi yang umumnya lebih bagus.

Karena itu, tim mencoba meneliti untuk mengembangkan kandidat pelembap dengan efek terapi lebih lama. Selama ini, efek terapi dari pelembap dasar bervariasi. Mulai dari dari mingguan hingga bulanan kalau penyakit sudah lebih parah. Dan setelah sembuh, penyakit biasanya akan kambuh kembali.

“Masa remisi ini yang mau kita perpanjang, jadi bisa setahun sekali pengobatannya,” kata Reiva.

Berdasarkan observasi yang dilakukan, tim menemukan beragam kandungan dari obat pelembap tersebut, salah satu yang menjadi fokus penelitian tim adalah peranan mikrobiom. Mikrobiom merupakan kumpulan mikroorganisme (bakteri, virus, parasit) yang secara alami ada di tubuh manusia dan berperan dalam keseimbangan (homeostasis) lingkungan biota agar tidak terjadi penyakit.

Riset yang berhasil didanai Hibah Rispro Invitasi LPDP RI ini bertujuan mengembangkan produk pelembap yang ramah mikrobiom (microbiome friendly). Dalam implementasinya, Reiva menggandeng sejumlah peneliti dari fakultas lain di Unpad, yaitu Fakultas MIPA dan Farmasi.

“Riset ini masih (skala) dasar laboratorium. Makanya, saya mengajak teman-teman dari ilmu dasar lainnya, seperti mikrobiolgi, kimia, kemudian nanti diaplikasikan di farmasi. Terakhir, baru melakukan uji klinis,” kata Reiva.

Gita menjelaskan, di tahap dasar, tim melakukan riset sintesis peptida. Dengan proses ini, diharapkan akan menekan biaya produksi obat pelembap ke depannya karena bisa diproduksi di dalam negeri.

“Karena sifat peptida itu sendiri dia bersifat antibakteri dan mempunyai sifat tambahan lain sebagai anti-inflamasi, sehingga kami bercita-cita ke depan bisa dikembangkan sebagai salah satu kandidat untuk mengobati dermatitis atopik,” jelas Gita.

Adanya sifat tambahan tersebut diperlukan karena di dalam kulit penderita, ada beberapa bakteri yang berkoloni dengan dermatitis atopik. Bakteri tersebut kemudian mengeluarkan semacam molekul yang bisa menginduksi proses peradangan.

Lewat riset ini, tim berharap bisa menghasilkan peptida yang memiliki efek ganda untuk menghambat pertumbuhan bakteri sekaligus mempercepat penyembuhan melalui kandungan anti-inflamasi tersebut. “Kekambuhan pun akan lebih jarang,” imbuhnya.

Riset awal kemudian berhasil mengembangkan peptida “X” yang memiliki efek ganda tersebut. Kendati demikian, peptida dinilai tidak stabil karena mudah berinteraksi dengan molekul lain. Untuk urusan ini, Reiva mempercayakan peneliti kimia, mikrobiologi, dan farmasi untuk menstabilkan peptida tersebut sehingga tidak mudah berinteraksi dengan molekul lain. Jika riset selanjutnya berhasil, maka tim menjadi orang pertama yang mengembangkan pelembap dengan kandungan peptida “X” tersebut.

Baca Juga: Mahasiswa Unpas Didorong Gencar Penelitian
Riset Kendaraan Otonom di Indonesia, Penelitian Garapan ITB dan Mobil Pintar ITS
Proses Penelitian Cagar Budaya Stasiun Cicalengka Berjalan Lambat

Khasiat Tanaman Qusth Al Hindi

Mengenai khasiat tanaman Qusth Al Hindi dibahas Guru Besar Fakultas Farmasi Unpad Ida Musfiroh dalam Satu Jam Berbincang Ilmu (Sajabi) “Potensi Qusth Al-Hindi sebagai Antiradang” yang diselenggarakan Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu, 2 Maret 2024.

Ida mengatakan, kemampuan alami tubuh dalam menangani inflamasi atau peradangan dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bahkan dapat meningkatkan status keparahan penyakit yang diderita. Oleh karena itu, dibutuhkan satu pengobatan yang dapat memanfaatkan sumber daya alam serta aman digunakan untuk menangangi peradangan.

Ida menjelaskan, tanaman Qusth Al-Hindi (Saussurea lappa) yang tumbuh di dataran tinggi pegunungan Himalaya memiliki potensi digunakan sebagai antiradang. Berdasarkan tinjauan fitokimia, Qusth Al-Hindi mengandung golongan senyawa terpene, yaitu costunolide, dihydrocostunolide, dihydrocastus lactone, dehydrocostus lactone, yang sudah terbukti memiliki efek farmakologi sebagai antiinflamasi. Di dalam tanaman tersebut juga terkandung golongan senyawa anthraquinone, alkaloid, dan flavonoid.

“Memang kita sulit untuk menemui tanaman ini di Indonesia. Namun, keterbatasan ini nanti akan menjadi peluang kita untuk melakukan pengembangan riset dan seterusnya,” kata Ida.

Senyawa costunolide dapat mencegah peradangan karena senyawa tersebut dapat menghambat atau menetralkan radikal bebas yang menyebabkan peradangan. “Proses stres oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas dapat berkontribusi terhadap peradangan dan berbagai penyakit kronis,” ujar Ida.

Ida dan tim peneliti telah mengeksplorasi dan mengembangkan aktivitas antiradang pada tanaman Qusth Al Hindi. Pengembangan tersebut dilakukan berdasarkan pada mekanisme penghambatan enzim penginduksi inflamasi. Penelitian yang dilakukan melalui pendekatan studi in silico yang memvisualisasikan interaksi senyawa yang terkandung dalam tanaman serta enzim yang berperan dalam pembentukan inflamasi. Selanjutnya dilakukan juga penapisan fitokimia untuk mengetahui senyawa lainnya yang dapat menjadi antiradang.

“Di dalamnya terdapat dua senyawa utama, yaitu Costic Acid dan Costunolide. Memiliki potensi dalam penghambatan enzim yang menyebabkan inflamasi, COX-2 dan iNOS,” jelas Ida.

Penelitian dilanjutkan dengan studi in vitro dengan melakukan uji aktivitas berdasarkan stabilitas membran sel darah merah yang diinduksi larutan hiposalin. Setelah itu dilakukan juga studi in vivo untuk menguji aktivitas ekstrak tanaman Qusth Al-Hindi pada peradangan.

“Ekstraknya juga diuji secara in vivo dapat menurunkan inflamasi pada dosis 250mg/kg BB mencapai 66,04 persen,” jelasnya.

Ida mengatakan, peluang tanaman Qusth Al Hindi untuk dikembangkan menjadi kandidat obat antiinflamasi memberikan peluang untuk penelitian dan kerja sama. Selain peluang untuk melakukan pemuliaan varietas unggul tanaman di Indonesia, peluang lainnya adalah eksplorasi aktivitas dan modifikasi struktur untuk meningkatkan efektivitas kerja dan menurunkan toksisitas.

“Tentunya nanti membutuhkan kerja sama untuk melakukan formulasi sediaan, kemudian uji klinik, dan juga sampai pada hilirisasi produk yang berpotensi memberikan inovasi untuk bisa menghasilkan obat dari sumber tanaman ini,” katanya.

*Kawan-kawan bisa mengakses tulisan-tulisan lain tentang Unpad dalam tautan tersebut

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//