• Berita
  • Proses Penelitian Cagar Budaya Stasiun Cicalengka Berjalan Lambat

Proses Penelitian Cagar Budaya Stasiun Cicalengka Berjalan Lambat

Lingkar Literasi Cicalengka mendorong segera penetapan Stasiun Cicalengka sebagai cagar budaya. Stasiun ini menjadi jati diri warga Cicalengka.

Bagian belakang Stasiun Cicalengka, diabadikan oleh K. Kroitzsch antara tahun 1900-1910. (Sumber: TM-10014024, collectie.wereldculturen.nl)

Penulis Iman Herdiana15 September 2023


BandungBergerak.idProses penelitian Stasiun Cicalengka sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) berlangsung lambat. Padahal banyak bukti atau arsip sejarah yang menyatakan bahwa stasiun yang pertama kali diresmikan pada 1884 itu sarat dengan nilai literasi atau peristiwa sejarah.

Dengan adanya banyak bukti tersebut, mestinya kajian terhadap Stasiun Cicalengka yang dilakukan Balai Teknik Perkeretaapian (BPT) tidak terlalu susah, sehingga status ODCB bisa segera dinaikkan sebagai cagar budaya yang dilindungi undang-undang.

Pegiat Lingkar Literasi Cicalengka sebagai pengusul Stasiun Cicalengka agar dijadikan cagar budaya, Hafidz Azhar dan Nurul Maria Sisilia mengatakan saat ini pihaknya sudah lama menunggu proses penetapan Stasiun Cicalengka sebagai cagar budaya.

“Banyak yang bertanya-tanya pada kami sebagai yang mengajukan Stasiun Cicalengka agar menjadi cagar budaya, bagaimana kelanjutan stasiun ini,” kata Hafidz Azhar, saat dihubungi via telepon, Kamis, 15 September 2023.

Hafidz, Nurul, dan kawan-kawan di LLC masih terus mengawal Stasiun Cicalengka agar tidak tergusur proyek pembangunan stasiun baru. Saat ini, penelitian cagar budaya dilakukan oleh Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) yang menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Balai Pelestarian Kebudayaan.

Selain itu, Hafidz berharap ada peran lebih aktif lagi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Bandung yang mengemban tugas dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bandung untuk mengkaji Stasiun Cicalengka. TACB disarankan agar tidak perlu menunggu waktu sampai 2024 untuk melakukan penelitian.

“Kami juga siap melakukan penelitian dan memberikan masukan mengenai bukti-bukti sejarah Stasiun Cicalengka,” tandas Hafidz.

Hafidz menambahkan, isu pelestarian cagar budaya di Bandung Raya saat ini lagi menonjol di tengah gencarnya laju pembangunan. Selain Stasiun Cicalengka, di Kota Bandung sedang ramai penolakan penggusuran bangunan yang menjadi bagian dari Rumah Potong Hewan atau RPH Ciroyom untuk dijadikan jalan layang.

Padahal, kata Hafidz, RPH Ciroyom sudah jelas dilindungi undang-undang sebagai cagar budaya golongan A yang tidak boleh diganggu gugat. Jika Stasiun Cicalengka tidak ditetapkan sebagai cagar budaya, kata Hafidz maka pihaknya akan melakukan kampanye satu rangkaian dengan penyelamatan RPH Ciroyom.

Sejauh ini, kampanye penyelamatan RPH Ciroyom baru dilakukan Bandung Heritage. Hafidz menyatakan, kasus Stasiun Cicalengka dan RPH Ciroyom akan menjadi isu bersama.

“Kami berencana melakukan aksi damai mengkampanyekan pelestarian Stasiun Cicalengka. Juga punya konsens pada RPH Ciroyom yang sudah jelas cagar budaya golongan A. Kami akan menjalin komunikasi dengan Bandung Heritage,” kata Hafidz.

Stasiun Cicalengka berfungsi sebagai stasiun kelas I di Daerah Operasi II Bandung yang mulai beroperasi sejak tahun 1884,, Minggu (3/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Stasiun Cicalengka berfungsi sebagai stasiun kelas I di Daerah Operasi II Bandung yang mulai beroperasi sejak tahun 1884,, Minggu (3/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

TACB Baru Observasi Lapangan

Lingkar Literasi Cicalengka mengajukan Stasiun Cicalengka sebagai Objek Diduga Cagar Budaya kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Bandung, 27 Juli 2023. Selama pengajuan, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Bandung melakukan penelitian kriteria-kriteria ODCB pada Stasiun Cicalenga. Hasil rekomendasi TACB selanjutnya akan menentukan apakah Stasiun Cicalengka layak direkomendasikan sebagai cagar budaya atau tidak.

Angga Satria Nugraha dari TACB Kabupaten Bandung mengaku pihaknya baru akan melakukan penelitian mendalam terkait Stasiun Cicalengka pada 2024. Sehingga hasil penelitian termasuk rekomendasi akan dilakukan tahun depan. Alasannya, anggaran penelitian ini baru bisa turun tahun depan.

“Penelitian kita anggarakan di 2024. Jadi kita belum terjun sepenuhnya untuk penelitian,” kata Angga, saat dihubungi BandungBergerak.id.

Alasan kedua, lanjut Angga, saat ini penelitian serupa masih dilakukan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah IX yang ditunjuk oleh BTP. Sehingga TACB menunggu BPK Wilayah IX selesai melakukan penelitiannya.

Jika TACB melakukan penelitian berbarengan dengan BPK Wilayah IX, Angga khawatir hasilnya menjadi berbeda dan malah memicu polemik baru. Sedangkan rencana pemugaran Stasiun Cicalengka sudah menuai polemik di masyarakat.

“Jadi kita menunggu hasil studi BTP dan BPK,” ujar Angga.

Langkah yang dilakukan TACB baru sebatas observasi lapangan. Kondisi terakhir, seluruh bangunan utama stasiun relatif utuh, meski ada bagian kecil di utara yang sudah tanggung dibongkar.

Selain bangunan utama, mesin pengisian uap juga masih ada, kemudian keberadaan bekas rumah dinas kepala stasiun yang keberadaannya perlu diselidiki lebih lanjut. Menurut BTP, bekas rumah dinas ini masih utuh.

“Nanti kita akan inventarisir di Stasiun Cicalengka mana saja untuk dijadikan cagar budaya,” katanya.

Arti Stasiun Cicalengka

Nurul Maria Sisilia, pegiat literasi di Rumah Baca Kali Atas yang tergabung dalam komunitas LLC, mengatakan Stasiun Cicalengka memiliki arti khusus bagi warga Cicalengka. Penolakan pemugaran stasiun tidak hanya terjadi di kalangan komunitas, tetapi juga di ranah maya ataupun media sosial.

Pada 17 Juni 2023, LLC menggalang dukungan petisi online di change.org yang sudah ditandatangani lebih dari 2.000 peserta. Menurut Nurul, komentar di situs change.org ramai berisi dukungan mempertahankan nilai sejarah Stasiun Cicalengka.

Jumlah dua ribu petisi tersebut semestinya dapat dimaknai lebih dari sekadar tanda tangan, melainkan sebagai penanda bahwa isu perombakan stasiun Cicalengka bukan isapan jempol belaka.

“Dua ribu petisi ini adalah representasi kecemasan, kekhawatiran, dan kepedulian yang ternyata lebih besar dari semata kemegahan bangunan modern. Dengan demikian, jumlah petisi ini adalah kekuatan besar yang sejatinya menjadi pertimbangan banyak pihak. Termasuk masyarakat Cicalengka itu sendiri. Jangan sampai dukungan dan kesadaran tentang pentingnya nilai historis Stasiun Cicalengka justru tumbuh jauh dari luar masyarakat Cicalengka,” kata Nurul, dikutip dari tulisannya di BandungBergerak.id.

Nurul juga menjelaskan alasan mengapa komunitas literasi peduli dengan kelestarian Stasiun Cicalengka. Pertama, Stasiun Cicalengka memiliki nilai sejarah. Kedua, makna literasi yang kami pahami.

Dari sisi historis, menurut Nurul sejak diresmikan pada 1884 Stasiun Cicalengka berperan sebagai sarana transportasi garam dan kopi ke Batavia. Tak lama setelah itu, stasiun ini difungsikan sebagai sarana pengangkutan orang.

Terdapat beberapa tokoh yang beririsan dengan Stasiun Cicalengka yaitu Douwes Dekker dan Soekarno. Pada 1920, Douwes Dekker memenuhi panggilan pemerintah kolonial terkait aktivitas Insulinde Partij di Semarang. Ia naik Bandoeng-Express di Stasiun Cicalengka. Hal tersebut dimuat dalam surat kabar Preanger Bode dan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 8 Januari 1920.

Baca Juga: Titik Terang Polemik Pembangunan Stasiun Cicalengka
Stasiun Cicalengka Penting untuk Dilestarikan, Pemugaran Tidak Harus Berarti Perobohan Seluruh Bangunan
Warga Berharap Stasiun Cicalengka tidak Digusur

Selanjutnya pada 1929, Sukarno kembali dari penangkapan pemerintah kolonial di Wirogunan. Dari Stasiun Tugu, ia diangkut ke Bandung dengan kereta dan turun di Stasiun Cicalengka.

“Alasan kedua tokoh ini beririsan dengan Stasiun Cicalengka tentu bukan serta merta melainkan karena ada alasan kuat dan penting. Alasan tersebut yakni alasan keamanan dan stabilitas negara atas kondisi genting saat itu,” jelas Nurul.

Bagi Nurul, alasan historis tersebut merupakan menjadi jati diri warga Cicalengka. Lebih jauh, peristiwa di masa lalu menjadi cerminan kehidupan masyarakat masa kini dan nanti.

Alasan kedua, kata Nurul, adalah pemahaman tentang literasi. Masyarakat barangkali telah telanjur mendefinisikan literasi sebagai aktivitas baca-tulis semata sehingga menilai aksi protes pemugaran Stasiun Cicalengka sebagai hal yang tak sesuai.

Nurul menegaskan, literasi semestinya dimaknai lebih luas sebagai proses bernalar. Begitu juga dengan kegiatan membaca yang seharusnya dimaknai dalam arti yang luas, yakni membaca konteks kemasyarakatan.

“Oleh sebab itu, tak salah rasanya jika forum taman baca serupa Lingkar Literasi Cicalengka kemudian merespons hal yang terjadi di masyarakat (pemugaran Stasiun Cicalengka) dari kacamata yang berbeda,” terang Nurul.  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//