Para Peneliti Peringkatkan Krisis Sumber Air Tanah di Indonesia
Bandung termasuk daerah yang berpotensi mengalami krisis air tanah. Pengambilan air tanah sangat tinggi, sementara pengawasan kurang.
Penulis Iman Herdiana15 April 2024
BandungBergerak.id - Krisis air semakin mendekat dan memerlukan penanganan serius. Para peneliti jauh-jauh hari sudah memperingatkan krisis air bersih melanda di sejumlah tempat di Indonesia, tak terkecuali di Bandung. Ancaman krisis air bersih bisa berupa pencemaran maupun kekurangan pasokan.
Universitas Indonesia (UI) melalui Fakultas Teknik (FT) bersama dengan Institute for Suistanable Futures (ISF), University of Technology Sydney (UTS) telah melakukan penelitian untuk menilai kualitas mikroba pada lebih dari 500 sumber air tanah di Kota Metro, Lampung, dan Bekasi, Jawa Barat, pada tahun 2020 hingga 2022. Ditemukan bahwa 60 persen sumber air tanah yang diteliti tersebut telah tercemar bakteri Escherichia coli (E. coli). Hal ini menunjukkan, air minum kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum aman dikonsumsi.
Ketua Program Studi Teknik Lingkungan FTUI Cindy Rianti Priadi mengatakan, 36 juta orang di perkotaan menggunakan self-supply – mengadakan dan membiayai sendiri air minum dari air tanah— sebagai sumber air minum utama, dengan persentase 80 persen menggunakan sumur gali atau bor, dan 98 rumah tangga di kota menggunakan sistem sanitasi setempat.
“Dengan adanya kondisi ini, perlu dilakukan pemeringkatan kota berdasarkan tingkat risiko patogen pada rumah tangga yang menggunakan air tanah. Dari penelitian ini, didapatkan pemetaan kota mana yang paling utama harus diperhatikan dan ditindaklanjuti,” papar Cindy Rianti Priadi, diakses dari laman Universitas Indonesia, Jumat, 29 Maret 2024.
Hasil penelitian tersebut telah dipaparkan dalam forum resmi. Aisyah Nasution dari Direktorat Perumahan dan Kawasan Permukiman Bappenas menjelaskan, proyek penelitian ini dimulai tiga tahun yang lalu ketika Bappenas RI mendapat tugas untuk meninjau keterkaitan air tanah di Indonesia.
“Di lapangan, sebagian besar masyarakat masih mengandalkan metode tradisional tanpa pipa untuk pemanfaatan air tanah. Air yang didapat dari self-supply masyarakat ini justru banyak yang telah tercemar saat kami teliti,” kata Aisyah.
Dalam forum diskusi, disimpulkan bahwa transisi ke air perpipaan diperlukan guna meningkatkan kualitas air, mencegah penurunan muka air tanah, meningkatkan kesehatan dalam jangka panjang, dan mengintegrasikan distribusi air minum. Selain itu, perlu adanya perhatian terhadap keberlanjutan air tanah sebagai cadangan, terutama saat tata ruang sering menganggap ketersediaan air sebagai aspek yang selalu ada.
Tim FTUI dan ISF UTS akan melaporkan rekomendasi kebijakan tersebut kepada pemerintah supaya transisi menuju layanan air tanah yang dikelola secara aman dapat tercapai.
Dekan FTUI Heri Hermansyah mengatakan, FTUI memiliki fokus dan perhatian tinggi terhadap permasalahan air tanah yang terjadi di kota-kota di Indonesia. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan pengembangan peluang kolaborasi mengenai transisi penyediaan air bersih bagi rumah tangga di perkotaan antara akademisi, komunitas, dan pemerintah dapat terus berjalan sehingga keberlanjutan penyediaan air bersih di Indonesia dapat semakin inklusif.
Baca Juga: Masalah Air Bersih yang Menjadi Keluhan Berulang Masyarakat Bandung
Krisis Air Bersih Menerjang Bandung Timur
Krisis Air Bersih Melanda Kota Bandung
Potensi Krisis Air Tanah di Bandung
Bagaimana dengan kondisi air tanah di Bandung? Nisrina Nurhasanah, Ramadhan Pancasilawan, dan M. D Enjat Munajat dari Unpad pernah menelitinya dan mempublikasikannya dalam jurnal ilmiah dengan judul "Pengendalian Pemanfaatan Air Tanah Di Kecamatan Bandung Wetan oleh Cabang Dinas Esdm Wilayah IV Bandung”.
Nisrina dkk memotret kondisi air tanah Kota Bandung dari satu wilayah, yakni Kecamatan Bandung Wetan yang cadangan airnya kritis. Dijelaskan bahwa terjadinya fenomena pengambilan air tanah akibat ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat. Selain itu pengambilan airtanah secara berlebih tanpa mempertimbangkan keseimbangan air tanah akan memberikan dampak lain seperti semakin dalamnya muka air tanah, terjadinya amblesan air tanah, terjadinya banjir dan adanya genangan, intrusi air asin dan lainlain.
“Kebutuhan air di Kecamatan Bandung Wetan sangat banyak sehingga terdapat beberapa wilayah yang masuk zona kritis. Pemanfaatan air tanah dilakukan perusahaan secara terus-menerus dan dalam jumlah besar. Hal tersebut dapat menyebabkan kuantitas air tanah terus berkurang apabila pengambilan air tanah tidak diimbangi dengan pemasukannya,” tulis Nisrina dkk, diakses dari jurnal.
Nisrina dkk membeberkan data dari Dinas ESDM Wilayah IV Bandung tentang belum semua pelaku pengusahaan air tanah melaksanakan kewajibannya, seperti masih banyaknya pengguna air tanah yang tidak membangun sumur resapan/imbuhan di lokasi yang ditetapkan. Dari 54 pengusahaan air tanah yang ada di Kecamatan Bandung Wetan, hanya 17 perusahaan yang membangun sumur imbuhan sedangkan terdapat 37 perusahaan tidak membangun sumur imbuhan.
Hal ini disebabkan masih kurangnya sosialisasi mengenai upaya pemanfaatan air tanah di Kota Bandung. Sosialisasi sendiri diperlukan untuk menumbuhkan kepedulian pengusahaan terhadap pemanfaatan air tanah.
Peneliti juga menemukan kurang tegasnya tindakan korektif dalam memberikan sanksi terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Menurut perda Jawa Barat nomor 1 tahun 2017 tentang Pengelolaan Air Tanah, sanksi yang diberikan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran berupa sanksi administrasi diantaranya penutupan penyegelan galian sumur air tanah, pencabutan izin dan dikenakan ketentuan pidana berupa kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah. Namun pada kenyataannya sanksi yang diberikan hanya berupa teguran lisan dan teguran tertulis.
Peneliti mencatat, hingga 2019 di Bandung terdapat 614 perusahaan air tanah berizin. Di Kecamatan Bandung sendiri terdapat 54 perusahaan dan 60 titik sumur. Hal ini tidak sebanding jika dibandingkan dengan jumlah pegawai seksi air tanah yang hanya berjumlah 7 orang. Maka dari itu, proses pengawasan ke lapangan tidak dapat dilakukan secara rutin.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain tentang Air Bersih Bandung Raya