• Liputan Khusus
  • KITA DAGO ELOS: Harapan Ambu Iceu di Harum Kue Lebaran

KITA DAGO ELOS: Harapan Ambu Iceu di Harum Kue Lebaran

Setiap bulan Ramadan, ketika warung makannya tutup, Ambu Iceu membuka pesanan kue kering. Harapan untuk bisa membesarkan usaha ada dalam bayang suram sengketa tanah.

Iceu Kuswaningsih, kerap disapa Ambu Iceu, bersama kue-kue lebaran buatannya di rumahnya di Dago Elos, Bandung, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul3 April 2024


BandungBergerak.id - Semerbak harum campuran bahan-bahan kue memenuhi ruang tamu seluas sekitar 2,5x7 meter yang disulap menjadi tempat produksi berbagai jenis kue lebaran. Mentega, keju, dan telur sudah menjadi adonan yang menggugah selera. Di atas meja yang mepet ke dinding, ada tumpukan kue nastar, kastangel, nutella, putri salju, tamrin cheese, dan sagu keju yang terkemas rapi.

Adalah Iceu Kuswaningsih, 49 tahun, si pembuat kue lebaran itu. Sudah lima kali pertemuan dengan bulan Ramadan dan Lebaran Idul Fitri, warga RW 02 Dago Elos, Bandung, yang akrab disapa Ambu Iceu tersebut menjalankan usaha kue lebaran bersama Inuy, tetangganya. Kue lebaran buatan mereka dinamai InI Cookies, singkatan untuk Iceu dan Inuy.

Dua minggu sebelum Ramadan, Iceu sudah membuka pemesanan kue lewat sistem pre-order (PO). Saat BandungBergerak mengunjungi rumahnya, Jumat, 22 Maret 2024 petang, sudah ada 120 toples pesanan dari konsumen dan pemesanan masih jalan. Tahun lalu, Iceu membuat 120 toples.

“Minggu besoklah (tutup PO). Takutnya gak kekerjain. Cuma kita-kita doang (yang kerja), empat orang,” ungkap Ambu Iceu.

Ambu Iceu menjual kue-kue kering hanya setiap ramadan dan lebaran. Di hari-hari biasa, dia menjual nasi, lauk-pauk, dan kopi di sebuah warung yang masih ada di Dago Elos. Menjual kue lebaran sejak tahun 2019, tepat sebelum pandemi Covid-19, dia sebut sebagai inisiatif iseng. Yang mengawali segalanya: unggahan di status media sosial.

“Eh ternyata ada yang nyangkut,”  kata Ambu Iceu.

Konsumen awal datang dari lingkaran kenalan. Mereka adalah saudara, kerabat, serta teman-teman dari anak Ambu Iceu. Di tahun-tahun berikutnya, lingkaran konsumen meluas. Beberapa konsumen kini sudah menjadi reseller kue-kue lebaran yang juga bisa dikemas dalam bentuk hampers itu.

InI Cookies belum dipasarkan ke toko maupun toko daring. Iceu dan Ineu masih mengandalkan media sosial dan jaringan pertemanan. Sumber daya terbatas dan tempat yang belum memadai menjadi lasannya. Selain Iceu dan Inuy, dua orang perempuan Dago Elos lainnya yang diajak bareng-bareng membuat kue adalah Lia dan Dhea.

“Masih seadanya. Kalau udah gede mah kan tempatnya juga harus besar,” kata Iceu. “Ini mah ala kadar,” timpal Lia.

Kue-kue lebaran dimasukkan ke dalam toples bening ukuran 500 gram. Tidak lupa, tertempel stiker yang bertuliskan nama kue dan brand InI Cookies. Harga tiap toples mulai dari 80 ribu rupiah hingga 100 ribu rupiah, tergantung jenis kue. Harga yang relatif terjangkau. Kue nastar, misalnya, dibandrol 90 ribu rupiah per toples. Bandungkan dengan harga di pasaran yang mencapai 125-135 ribu rupiah. Iceu mengambil untung sekitar 20 persen dari modal.

“Kalau misalkan ada peluang, kitanya ada modal, terus yang kerjanya juga ada, kenapa enggak dicoba gitu kan (jualan di toko)? Untuk hasil yang lebih,” ungkap Iceu sambil tertawa, malu-malu.

 Ambu Iceu menaruh kue lebaran ke dalam toples di ruang tamu yang disulap jadi kamar produksi di Dago Elos, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Ambu Iceu menaruh kue lebaran ke dalam toples di ruang tamu yang disulap jadi kamar produksi di Dago Elos, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Kerja Ulet

Ambu Iceu mengatakan, membuat kue lebaran seolah terlihat mudah, tetapi sebenarnya membutuhkan kerja yang ulet dan tekun. Waktu yang dibutuhkan tidak bisa tergesa. Satu toples penuh dibutuhkan membutuhkan dua hingga tiga loyang adonan. Belum tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menemukan resep dan rasa yang paling pas di lidah.

Sejak masih gadis, Iceu sudah belajar membuat kue lebaran. Kegagalan demi kegagalan sudah dilalui. Bahkan setelah menikah proses menemukan resep kue lebaran yang paling tepat masih terus berlangsung. Ketika itu kue-kue lebaran masih dibuat untuk konsumsi sendiri. Setelah menemukan resep yang paling pas, barulah Iceu iseng-iseng mencoba memasarkannya.

Dari setiap jenis kue lebaran, kue nastar menjadi yang paling banyak dipesan. Bagaimana tidak, kue nastar disebut-sebut sebagai kue lebaran terfavorit. Iceu sendiri yang membuat dan menguleni adonan kue nastar. Setelah adonan jadi, dia dibentuk semacam bola-bola dan diisi selai nanas yang juga dibuat sendiri.

Adonan nastar ini kemudian dioven setengah matang. Setelahnya, ia dikeluarkan untuk diolesi kuning telur yang telah dicampurkan dengan susu dan sedikit pewarna. Nastar setengah jadi ini dioven kembali hingga kering dan matang sempurna. Barulah kue-kue nastar ini dimasukkan ke toples dan dikemas rapi.

“Ini bahan yang bagus semua, premium, tapi harganya masih ramah di kantong kalau dibandingin sama kue premium yang lain,” ucap Iceu sambil tersenyum percaya diri. “Masih worth it.”

Warung nasi milik Ambu Iceu yang sering dijadikan tempat nongkrong warga di Dago Elos, Bandung, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Warung nasi milik Ambu Iceu yang sering dijadikan tempat nongkrong warga di Dago Elos, Bandung, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Dago Elos Melawan: Nepi Sabubukna
Dinding-dinding Elos

Harapan Terus Membesar

Ambu Iceu berasal dari Dago Pakar. Dia menemukan jodoh seorang lelaki warga Dago Elos. Setelah menikah pada tahun 1996, dia pindah dan tinggal bersama suaminya di Dago Elos sampai sekarang. Di lima tahun pertama pernikahan, mereka tinggal di rumah mertua. Rumah yang ruang tamunya dijadikan kamar produksi kue lebaran setiap kali lebaran datang sudah milik sendiri.

“Jadi aku mah ngumbara. Terlalu jauh kalau merantau,” ucap Iceu disambut tawa oleh orang-orang yang berada di ruangan itu.

Sandaran utama pendapatan keluarga Iceu tetaplah warung nasi, dinamai “Dapur Diylanie”, yang berada tepat di depan pos jaga RW 02. Selain minuman dan kopi, tersedia lotek, karedok, ayam penyet, ayam geprek, nasi soto, dan menu lainnya. Baru beberapa bulan ke belakang, Iceu dan suaminya mencoba peruntungan baru dengan menyediakan jasa penyewaan sepeda listrik. Anak-anak bisa menyewa sepeda listrik itu untuk berkeliling kampung dengan biaya sewa lima ribu rupiah per 10 menit.

Ambu Iceu bercerita, warung itu sudah beberapa kali berganti usaha. Pertama kali mencoba peruntungan, ia berjualan pulsa. Tak lama, beralih menjadi usaha bengkel sepeda motor. Sayangnya, usaha bengkel tak bertahan lama sebab dipercayakan kepada orang yang keliru. Warung makan yang sekaligus tempat nongkrong inilah yang bisa bertahan paling awet.

“Ya gitulah, kadang kalau dikasih sama orang lain mah dikasih kepercayaan susah ya. Jadi ke sini ke sininya kurang jalan. Udah aja tutup (bengkel),” tuturnya.  

Warung makan Ambu Ice buka setiap hari mulai pukul 10 pagi hingga larut malam. Dia hanya akan menjaga warung hingga sekitar pukul 10 malam. Selebihnya, sang suami yang bertugas. Warung harus buka hingga larut malam karena banyak warga yang masih beraktivitas, seperti bermain badminton atau sekadar begadang.

Rezeki bagi keluarga Iceu bukan hanya datang dari para pembeli yang langsung datang ke warung makannya. Tidak jarang datang pesanan nasi kotak untuk beragam acara.

“Biarpun (warung) tutup, di rumah ada aja yang pesan, alhamdulillah. Kalau masih bisa sama sendiri, sendiri aja. Kecuali kalau misalnya udah banyak. Misalkan kayak kemarin waktu KPPS dadakan, 120 (boks). Dibantu nge-pack sama tetangga. Kalau masak, tetap sama saya,” ungkap Iceu.

Sengketa tanah Dago Elos, seperti juga dirasakan oleh warga yang lain, menjelma bayang-bayang suram bagi usaha Iceu. Berulang kali warga melakukan aksi turun ke jalan, entah ke kepolisian maupun pengadilan, dan Iceu menjadi bagiannya. Setiap aksi berarti tutup warung. Lebih jauh lagi, nihil penghasilan.  

Ambu Iceu mengaku kebingungan mendeskripsikan perasaannya tentang kasus sengketa tanah Dago Elos yang bergulir sejak 2016 laku. Dia merasa menjumpai mimpi buruk yang mengusik kehidupan damai warga. Apalagi jika mengingat-ingat kejadian 14 Agustus 2023 lalu ketika polisi menyerbu kampung mereka.

“Ya gitulah, sedih, capek, campur aduk. Belum lagi besok terus-terusan kan, ngumpul lagi. Banyak polisi datang, warga ngumpul lagi di depan,” keluh Ambu Iceu.

Bagi Ambu Iceu, Dago Elos bukan saja rumah atau tempat tinggal. Kampung ini sudah menjadi kehidupan, penghidupan, dan tempat nyaman yang ia bagi bersama keluarganya. Itulah yang membuatnya yakin terlibat aktif dalam gerakan warga memperjuangkan hak. Meski harus turun ke jalan, meski harus menutup sementara warung makan.

Di ruang tamu yang disulap jadi kamar produksi kue, Ambu Iceu memberikan satu loyang terakhir berisi nastar kepada Inuy untuk dimasukkan ke dalam oven. Satu-satunya oven listrik yang tersisa beroperasi malam itu. Dua oven lain teronggok di atas kompor, diistirahatkan sementara waktu usai beroperasi lama.

Harapan Iceu tidak muluk-muluk. Dia berharap warga dimenangkan dalam sengketa sehingga mereka bisa menjalani lagi hidup yang tenang dan rukun. Dia berharap usaha kuenya perlahan-lahan terus membesar sehingga bisa ditaruh di toko-toko ternama. “Semoga aja kita tidak berhenti berdoa dan berusaha,” ucapnya.

Bersama harapan itu, harum kue lebaran Ambu Iceu menguar keluar ruang tamu rumahnya. Ia melambangkan keuletan untuk terus mengusahakan kehidupan yang lebih baik, untuk terus tumbuh dalam sekian banyak keterbatasan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//