BUNGA DI TEMBOK: Soemarso Soemarsono, Wartawan Harian Abadi yang Dituduh Subversif
Soemarso Soemarsono merasakan pemerintah yang represif di zaman Orde Lama dan juga Orde Baru. Tuduhannya sama, melakukan kegiatan subversif yang membahayakan negara.
Tri Joko Her Riadi
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id
6 April 2024
BandungBergerak.id - Dijebloskan ke penjara Kalisosok, Surabaya, pada 9 Desember 1963, Soemarso Soemarsono segera teringat kerangkeng beruang di Kebun Binatang Wonokromo. Sel berukuran empat kali empat meter, dengan bak air dan kakus model kuno di dua sudut, memaksa empat penghuninya tidur beradu kaki. Sang aktivis Islam cum wartawan di harian “Abadi” itu, karena paling akhir datangnya, mendapat jatah di samping kakus.
“Kalau malam hari tjoro dan ketjoak pada keluar dari lubangnja, seperti berpesiar dan berdansa-dansa lajaknja,” kenang Soemarso dalam buku memoar Pengalaman dari Tiga Pendjara (1971).
Tidak ada penyiksaan fisik dialami Soemarsono di Kalisosok. Ia bahkan lolos dari kewajiban bugil bulat dalam sebuah tes kesehatan bagi semua penghuni baru penjara. Namun penyiksaan salah satu residivis oleh aparat mengguncang juga perasaannya.
Dari Kalisosok, Soemarso diangkut ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo, Jakarta. Kalau di Kalisosok para tahanan lama mengetahui kapasitasnya sebagai seorang jurnalis, desas-desus yang beredar di RTM sungguh lain. Ia disebut-sebut sebagai intelijen pro-Malaysia. Yang lain bahkan mengembuskan kabar dirinya sebagai ‘arek Suroboyo’ yang berbahaya karena berniat menggranat Presiden Sukarno.
Di RTM inilah Soemarso mulai diinterogasi secara laik oleh para jaksa dari Kejaksaan Agung. Tidak kurang dari 25 kali interogasi ia lakoni dalam dua bulan pertama. Tuduhan yang diberikan kepadanya menjadi terang: “kegiatan subversif yang membahayakan keamanan dan keselamatan negara.”
Soemarso merupakan aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), organisasi yang didirikan pada 29 Oktober 1945. Bergerak di lapangan politik, organisasi pemuda ini berjuang bersama-sama Masyumi, partai politik yang menjadikan harian “Abadi” sebagai corongnya.
Pertautan inilah yang membuat Soemarso terseret penangkapan besar-besaran yang dilakukan pemerintahan Sukarno terhadap para penentang Demokrasi Terpimpin. Korban terbanyak adalah tokoh-tokoh Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), di antaranya Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, HAMKA, Mohammad Roem, Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, dan EZ Muttaqien, ketua PPII ketika itu. Wartawan lain yang juga terseret gelombang penangkapan ini adalah Mochtar Lubis, pemimpin redaksi “Indonesia Raya” yang dituding dekat dengan PSI.
Dalam buku memoarnya, yang ditulis lima tahun setelah ia bebas dari penjara, Soemarso menuliskan secara rinci beberapa adegan tanya-jawab dalam proses interogasi. Salah satunya terkait tudingan yang diarahkan kepadanya sebagai otak pengiriman sekelompok pemuda ke Kalimantan Barat. Ketika itu isu konfrontasi dengan Malaysia sedang panas-panasnya dan Soemarso bersama GPII bersuara keras menentangnya.
Pilihan sikap ini, seperti juga penolakan terhadap Manifesto Politik dan Demokrasi Terpimpin, disebut Soemarso sebagai “tindakan korektif konstruktif yang sudah menjadi kepribadian GPII dan tercantum di dalam tafsir azas organisasinya”. Mereka secara konsisten mengkritik pemerintahan Sukarno yang bergerak menuju diktator.
“Tidak bisa kita harus menyerah pada penguasa yang batil dan zalim itu. Dan tidak pantas kita berkompromi untuk menjadi kaum yang munafik. Apalagi diam berpangku tangan,” tulis Soemarso.
Tempat penahanan ketiga yang disinggahi Soemarso adalah penjara Salemba, Jakarta. Ia dipindahkan ketika situasi politik sudah berbalik arah. Orang-orang komunis diburu menyusul peristiwa berdarah 30 September 1965. Soemarso bersama teman-teman senasib di RTM mengikuti perkembangannya dari siaran radio luar negeri dan koran yang bisa diselundupkan ke dalam sel.
Di bulan-bulan genting itu, hanya koran-koran yang berafiliasi dengan angkatan bersenjata yang bisa terbit. Informasi hitam-putihnya mempengaruhi betul pendapat Soemarso. Pantas jika ia begitu mencemaskan insiden buruk bakal sewaktu-waktu menimpa dirinya karena ada dua ribuan orang komunis yang berjubel di penjara tersebut.
“Orang-orang komunis dalam perjuangannya selalu munafik, lain yang tampak pada lahirnya daripada yang sebenarnya terkandung di dalam lubuk hatinya,” tulis Soemarsono.
Kesan buruk ini tidak lepas dari pengalaman pribadi Soemarso terhadap partai merah itu. Ayahnya merupakan salah satu korban pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Jenazahnya, yang ditanam di kebun belakang sebuah rumah tempat ia ditahan, baru ditemukan pada Agustus 1964.
Setelah singgah sebentar di tempat tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta, pada 14 Juni 1966 Soemarso menghirup udara bebas. Ditulis lima tahun berselang, “Pengalaman dari Tiga Pendjara” merupakan memoar buah ketekunan observasi khas jurnalis dan keteguhan pandangan politik seorang aktivis. Penggambaran rinci suasana penjara berkelindan dengan opini dan gagasan yang bertebaran di mana-mana. Sebelum dibukukan, Pengalaman dari Tiga Pendjara telah terlebih dahulu terbit secara berseri di harian yang ia pimpin, “Abadi”.
Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Francisca C. Fanggidaej, Kupu-kupu yang Hanyut dalam Pergerakan Pemuda Revolusioner
BUNGA DI TEMBOK: Seekor Kera dan Seorang Badut yang Mampir Menjadi Loper Koran
BUNGA DI TEMBOK: Bocah Loper Koran Bernama Al
Dua Kali Bredel
Harian “Abadi”, yang bermoto “Untuk Agama, Negara, dan Bangsa”, pertama kali terbit pada 2 Januari 1950, atau lima tahun setelah Masyumi berdiri. Salah satu motornya adalah Suardi Tasrif, wartawan-sastrawan yang juga memiliki rekam jejak panjang sebagai seorang praktisi hukum. Tasrif merupakan salah satu perumus kode etik jurnalistik pada 1954.
Menyusul pembubaran Masyumi per Agustus 1960, harian “Abadi” juga dipaksa berhenti terbit mulai 1 November 1960. Setelah Orde Lama tumbang, tepatnya 7 Desember 1968, harian “Abadi” kembali menjumpai pembaca dengan Boerhanoeddin Harahap sebagai pemimpin umumnya. Soemarso Soemarsono tercatat sebagai penanggung jawab. Namanya juga muncul dalam jajaran dewan redaksi.
Buku Seabad Pers Kebangsaan (2007) menyebut, tiras “Abadi” mencapai 20 ribu eksemplar per hari dan membuatnya masuk daftar 10 besar koran nasional. Derap pembangunan menjadi langganan berita utama. Namun, “meski memuji pembangunan yang digalakkan Orde Baru, (“Abadi”) tak pelak juga menyisipkan kritik.” Mulai 2 Agustus 1970, seiring terus membaiknya penerimaan pasar, terbit edisi Minggu.
Perjalanan harian “Abadi” kembali terbentur pemberedelan ketika bersama beberapa surat kabar lain dicabut izin terbitnya akibat pemberitaan tentang peristiwa berdarah Malari (Malapetaka 15 Januari) pada 1974. Banyak sumber menyebut, itulah kata tamat bagi kiprah “Abadi”. Namun dalam artikel “Siapa Menabur Rahasia?”, terbit di majalah Tempo pada 1 Oktober 1988, tertulis keterangan harian ini berhenti terbit pada 1978.
Artikel tersebut ditulis mengomentari polemik buku Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai karangan Soegiarso Soerojo yang disebut menggunakan dokumen rahasia negara. Membahas konsekuensi hukum, disebutlah nama Soemarso Soemarsono, penanggung jawab harian “Abadi” yang pada 1979 “diadili dan didakwa membocorkan rahasia negara” karena telah mengulas berbagai dokumen tertutup, termasuk arsip pemilu, dalam tajuk rencana korannya.
Lalu bagaimana ujung nasib sang wartawan “Abadi” itu? “Namun sebelum divonis, Soemarso keburu meninggal,” demikian keterangan dari artikel tersebut.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.