BUNGA DI TEMBOK: Pilihan Berkelahi di Fifth Avenue, New York
Dua puluh dua tahun sebelum kelahiran Gerakan Aceh Merdeka, jurnalis Mochtar Lubis menemui Hasan Tiro muda di New York. Di sana, pilihan berkelahi diucapkan.
Tri Joko Her Riadi
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id
7 April 2024
BandungBergerak.id - Pada suatu hari di tahun 1954, di bawah guyuran hujan di New York, Mochtar Lubis menemui Hasan Tiro muda yang memproklamasikan diri sebagai duta Negara Islam Indonesia di PBB (Persatuan Bangsa-bangsa). Sang jurnalis melukiskannya sebagai pemuda “beraut muka manis dengan rambut disisir licin-licin”.
Dalam percakapan di ruangan seluas tiga kali tiga meter persegi di sebuah gedung di Fifth Avenue, Hasan Tiro terang-terangan mengungkapkan ketidaksepakatannya terhadap kebijakan Kabinet Ali Sastroamijoyo yang ia sebut telah mengirim tentara untuk melakukan kekejaman-kekejaman terhadap rakyat Aceh. “Jika kami berdiam diri, kami habis dibunuh semua,” katanya.
“Mengapa saudara memproklamirkan Negara Islam Indonesia? Mengapa tidak proses secara lain?” tanya Mochtar.
Hasan Tiro menyebut semua cara konstitusional sudah menemui jalan buntu. Protes-protes dari anggota parlemen Aceh tidak digubris pemerintah. Melalui pers, hasilnya sama saja.
“Jadi kalau cara-cara konstitusional sudah jalan buntu, maka tak ada jalan lain selain berkelahi. Kami berjuang dengan nama Negara Islam Indonesia ialah untuk memberikan dasar yang lebih kuat bagi protes itu. Dengan memakai nama ini, protes kami akan lebih didengar orang di dalam dan di luar negeri,” tuturnya.
Ditegaskan Hasan Tiro, gerakan mereka menuntut dilangsungkan pemilihan umum yang bebas dan jujur. Kalau kelak Konstituante memutuskan tidak menghendaki negara Islam, mereka bersedia mengalah.
Konstituante merupakan lembaga negara hasil Pemilu 1955. Tugas utamanya adalah membentuk undang-undang dasar atau konstitusi pengganti UUD Sementara 1950 yang mengakhiri bentuk negara serikat atau federasi. Sejarah mencatat, Konstituante gagal memenuhi tugasnya, memaksa Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dua poin pertama Dekrit ini adalah pembubaran Konstituante dan keputusan kembali ke UUD 1945.
“Jika pemimpin-pemimpin Darul Islam sungguh-sungguh bersedia menerima putusan Konstituante mengenai bentuk negara Islam, bukankah saudara-saudara dapat menunggu pemilihan umum yang akan diadakan di Indonesia?” sergah Mochtar.
Hasan Tiro tersenyum. Selama Kabinet Ali berkuasa, ia meragukan bakal ada pemilu yang jujur dan adil. Ia menyebut bagaimana kabinet ini tidak mengizinkan wakil Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) menjadi pengurus di Panitia Pemilihan Umum Pusat. Ia juga menyebut kabinet ini condong pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mochtar, yang melihat dengan mata kepala sendiri kacaunya kebijakan luar negeri Kabinet Ali, tertegun. “Susah juga saya membela Kabinet Ali,” gumamnya.
Ketika berjalan meninggalkan gedung di Fifth Avenue itu, Mochtar Lubis membayangkan bulir-bulir hujan sebagai air mata untuk kisah tragis besar yang baru saja ia saksikan. Seorang anak muda dipaksa keadaan untuk melepaskan diri dari negara yang ikut dibangunnya, “dan sekarang berdiri berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri, teman-teman seperjuangannya dahulu dalam masa revolusi”.
Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Seekor Kera dan Seorang Badut yang Mampir Menjadi Loper Koran
BUNGA DI TEMBOK: Bocah Loper Koran Bernama Al
BUNGA DI TEMBOK: Soemarso Soemarsono, Wartawan Harian Abadi yang Dituduh Subversif
Bukan Sembarang Catatan Perjalanan
Perbincangan dengan Hasan Tiro di Fifth Avenue dituliskan Mochtar Lubis dalam buku kumpulan catatan perjalanan jurnalistiknya Indonesia Dimata Dunia dan Goresan-goresan Perdjalanan (dengan penulisan “Dimata” yang memang disambung). Cetakan pertamanya diterbitkan oleh National Publishing House, Jakarta, tanpa keterangan tahun. Yang jelas, cetakan kedua buku ini diterbitkan oleh Tintamas pada 1960.
Indonesia Dimata Dunia berisi olok-olok dan kritik Mochtar untuk diplomasi luar negeri Indonesia. Ia menceritakan bagaimana buruknya strategi Indonesia dalam pembahasan masalah Irian Barat (sekarang Papua) dalam sidang Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) di New York. Tanda-tanda kegagalan sudah terlihat jauh-jauh hari.
Mochtar menyajikan juga banyak cerita satir, seperti hobi belanja Menteri Luar Negeri Sunaryo. Datang ke Amerika Serikat dengan menenteng dua koper, Sang Menteri pulang ke Indonesia mengangkut puluhan koper. Ada juga cerita tentang hobi pelesir Duta Besar Helmi, yang bertugas untuk Swiss dan Vatikan, yang dengan cerdik ia bebankan seluruh pembiayaannya ke negara.
“Dia bawa istri, anaknya, dan penjaga anaknya. Dia sewa satu suite untuk keluarganya, lengkap kamar tidur untuk dia dan nyonya, kamar tidur untuk anak-anak dan nurse. Dan dia tinggal di sebuah hotel yang termahal di St. Moritz itu, Suvretta House, dan dia tinggal di sana 10 hari lamanya. Kembali ke Bern maka dia ajukan rekening supaya dibayar oleh kantor tidak kurang dari 1.500 franc. Menurut Duta Helmi, dia ke St. Moritz itu semata-mata untuk menemui pembesar-pembesar militer di pegunungan Swiss,” begitu tulis Mochtar.
Sang jurnalis lalu melontarkan pertanyaan retoris yang sinis bukan main: “Tidakkah kita kasihan melihat Duta Helmi yang terlalu amat bekerja keras ini?”
Meski berupa tulisan perjalanan ke luar negeri, yang mudah membuat wartawan jatuh pada laporan travelling remeh-temeh, Indonesia Dimata Dunia tak kehilangan daya kritisnya. Pengamatan tajam Mochtar sebagai seorang jurnalis tidak luntur sama sekali. Di sepanjang buku, ia menelanjangi kebobrokan Kabinet Ali Sastroamijoyo yang membuat orang-orang Amerika dan Eropa menertawai Indonesia, negeri seumur jagung yang para diplomatnya berlagak dalam kemewahan sementara tak sedikit rakyatnya hidup melarat.
Saya membayangkan hujan di New York hari itu gerimis saja. Mochtar Lubis, berlindung dalam mantelnya, berjalan berjingkat menyusuri trotoar di jantung kota. Ia tak memedulikan lalu-lalang orang. Wajahnya menunduk muram. Nujum yang diucapkan pemuda Hasan Tiro mengiang-ngiang di kepala sang jurnalis: “Baik juga Kabinet Ali mengetahui bahwa semakin lama penyelesaian diundurkan, maka semakin besar pengaruh pemimpin-pemimpin Darul Islam yang fanatik, dan mau berjihat terus, biar mati dari pada harus berdamai. Juga semakin lama pertempuran-pertempuran berlaku, semakin besar timbul perasaan-perasaan kedaerahan yang tidak puas dengan pusat, hingga akibat-akibat semua ini akan terasa nanti jauh di masa depan Indonesia.”
Apa yang bisa dilakukan oleh seorang jurnalis? Mochtar Lubis menulis laporan dengan sebaik-baiknya. Setelah harian Indonesia Raya menerbitkannya, ia tidak bisa memaksa orang membacanya, dan ia lebih tidak bisa lagi memaksa mereka yang membaca, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat pemerintahan, mengamini peringatan yang diucapkan pemuda Hasan Tiro.
Kita kemudian tahu, tidak ada penyelesaian paripurna oleh pemerintah ketika itu. Hasan Tiro lantas mewujudkan nujumnya untuk berkelahi. Pada 4 Desember 1976, 22 tahun setelah pertemuan di Fifth Avenue, di sebuah perbukitan di Pidie, ia mengobarkan perlawanan fisik, yang kemudian disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terhadap pemerintah Republik Indonesia. Sebuah pilihan sulit yang harus dibayar mahal. Belasan ribu nyawa melayang dalam konflik yang berlangsung selama 39 tahun.
Mochtar Lubis di sepanjang sisa hidupnya menyaksikan ketegangan dan penderitaan akibat konflik di Aceh tanpa pernah tahu bagaimana ini berujung. Setahun sebelum Kesepakatan Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, si wartawan berpulang.
Namun siapa pula bisa memastikan bahwa Kesepakatan Helsinki adalah sebuah ujung, sebuah garis akhir? Demokrasi selalu menyediakan ruang bagi kebebasan berpendapat, meski tak mutlak. Ia memberi wadah pada ketidaksepakatan.
Dan ketika demokrasi dibajak, pilihan berkelahi niscaya akan diucapkan tak hanya di Fifth Avenue, New York.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.