• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #29: Pelajaran Hidup di Rantau dari Almarhum Baba

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #29: Pelajaran Hidup di Rantau dari Almarhum Baba

Baru sehari mulai bekerja di Bandung, aku terpaksa kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan kegiatan pengajian memperingati tujuh hari kematian almarhum Baba.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Penulis. (Foto: Asmali)

7 April 2024


BandungBergerak.id – Setelah kepala bagian personalia mengizinkanku untuk tidak masuk kerja dulu di pekan pertama karena alasan masih berduka, aku segera meninggalkan kantor. Waktu menunjukkan pukul 10.00 saat itu dan aku bergegas menuju tempat kosku dengan berjalan kaki. Setelah sampai tempat kos aku tidak membuang waktu. Aku mengemas barang-barangku dan siap pamit dengan tante pemilik kos. Melihat aku yang seperti terburu-buru ia agak heran. Sejak datang memang aku tidak menceritakan kondisi orang tuaku padanya.

“Tante, saya mau ke Jakarta dulu, mungkin kembali lagi ke Bandung antara hari Minggu atau Senin,” kataku.

Loh aya naon li?” tanya ibu kos keheranan sambil kemudian aku jelaskan kondisiku secara garis besar.

Inna lillahi wainna ilahi raji’un. Kalau kak Emma (anak pemilik kost) teu kuliah mah pasti ikut. Coba tadi pagi sama papi (suami pemilik kos), ke Jakartanya. Tiasa gratis kana kareta. Sing sabar ya, Li,” katanya dengan penuh perhatian.

Aku berterima kasih atas perhatiannya, tapi aku tidak merasa kesulitan pergi sendiri. Aku langsung menuju terminal Bus Kebon Kalapa dan naik bus Medal Sekarwangi siang itu dengan harapan sampai Jakarta tidak terlalu sore.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #26: Bada Zuhur, Aku Berangkat ke Bandung
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #27: Hari Itu Aku Tiba di Bandung
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #28: Hari Pertama Kerja

Kembali ke Jakarta

Karena sudah menetap di Bandung, kali itu tidak banyak barang bawaanku. Malah sekembalinya dari Jakarta ke Bandung aku akan membawa serta barang-barang pribadiku terutama buku-buku untuk menemani hari-hariku di Bandung. Sepanjang perjalanan juga aku hanya bisa bersyukur betapa orang-orang yang kutemui di perantauan sangat lah baik. Alhamdulillah, mudah-mudahan begitu seterusnya.

Aku sampai di rumah kurang dari setengah 5 sore. Tapi memang kedatanganku kali ini terasa jauh berbeda dibandingkan kedatanganku ke rumah semasa masih ada orang tuaku. Ada rasa hampa, ada rasa kosong yang sulit dijelaskan. Benar kata orang, ketika ditinggalkan orang tua, mau seberapa pun rasa ikhlasnya rasa rindunya tetap sama. Tapi Allah yang Maha Penyayang juga memberikan sifat lupa pada manusia. Tidak mungkin rasanya kalau selamanya akan ingat terus, karna setiap orang punya kesibukan dan tanggung jawab dalam kehidupan serta kewajiban lainnya. Ini semua aku jadikan sebagai pelajaran dalam hidupku.

Selama di rumah aku menemani ibuku untuk mempersiapkan kegiatan pengajian sampai acara tujuh harinya Almarhum Baba. Saat ini kegiatan memang padat karena seperti kebanyakan keluarga Betawi, semua tetangga hampir bersaudara sehingga tamu yang menyampaikan bela sungkawa nyaris datang tanpa henti. Sekejap aku berpikir, jika aku tidak bekerja ke Bandung dan hingga Baba tiada aku masih pengangguran, dengan kondisi ekonomi keluarga yang sudah tidak banyak toko seperti dulu, mungkin hidup akan lebih sulit. Tetapi ternyata Allah memberi jalan yang terbaik bagi umatnya.

Sekarang tinggal bagaimana diriku menjalani jalan yang telah Allah buka. Sebagai anak lelaki tertua di keluarga, aku tidak boleh manja, tidak boleh cengeng. Lepaskan semua atribut yang selama ini ada. Aku akan hidup sendiri di kota orang tanpa didampingi oleh orang terdekatku. Hanya orang-orang yang ada di sekitarku yang akan aku anggap saudara. Semua yang dicontohkan oleh ayahku, aku jadikan pelajaran untuk kehidupanku kelak.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//