• Buku
  • RESENSI BUKU: Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Akutagawa Ryunosuke

RESENSI BUKU: Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Akutagawa Ryunosuke

Cerpen-cerpen sastrawan kenamaan Jepang Akutagawa Ryunosuke sarat sindiran pada kehidupan yang dijalani manusia. Memikirkan ulang arti kebenaran.

Buku Kaki Kuda dan Cerita Lain karya Akutagawa Ryunosuke (Penerbit Mai, Juli 2021). (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah13 April 2024


BandungBergerak.id“Hati manusia selalu penuh paradoks. Mereka mudah berempati kepada penderitaan orang lain, tetapi juga kurang senang jika orang tersebut berhasil mengatasi penderitaannya dengan susah payah,” [Cerita pendek Hidung (Hana), 1916:37].

Begitulah salah satu kutipan cerita pendek karya sastrawan kenamaan Jepang Akutagawa Ryunosuke. Sarat akan sindiran kepada suatu entitas bernama manusia. Cerita pendek Hidung (Hana) bukanlah satu-satunya, tetapi ada lima karya cerpen lagi yang kemudian dibukukan dengan judul “Kaki Kuda”.

Judul buku kumpulan cerpen “Kaki Kuda” mengacu pada salah satu cerpen yang berjudul Uma no Ashi (1925). Uniknya, sampul buku ini memang benar-benar memakai kaki kuda. Namun, tetap diselingi nuansa karya cerpen lainnya seperti gerbang Rashomon yang terlihat setengah hancur di sana. Tidak hanya itu, ada hal yang menarik dari desain sampul buku, yaitu adanya unsur Kintsugi atau seni memperbaiki tembikar yang rusak dengan emas. Seni ini juga sarat sekali dengan unsur filosofis kehidupan.

Dalam kumcer itu tersaji enam cerita pendek yang bisa dituntaskan hanya dalam sekali duduk. Selain Hidung (Hana, 1916), ada juga Rashomon, Benang Laba-laba (Kumo no Ito, 1918), Kaki Kuda (Uma no Ashi, 1925), Bubur Ubi (Imogayu, 1916), dan Dalam Semak Belukar (Yabu no Naka, 1921).

Semuanya sepakat membicarakan manusia dengan segala tingkah lakunya. Namun yang perlu disadari lewat karya Akutagawa Ryunosuke ini adalah bagaimana ia mengkritik atau menyindir fenomena sosial dengan cerita absurd.

Saat membaca cerpennya kening kalian akan mengernyit, membatin sendiri, bagaimana bisa sang penulis yang dijuluki Bapak Cerita Pendek ini dapat merangkai cerita yang terkesan surealis tetapi maksud yang ingin ia tujukan sampai kepada pembaca.

Dari keenam cerita pendek itu, saya pribadi menyukai Rashomon, Kaki Kuda, dan Dalam Semak Belukar. Selain unik dan sedikit membuat pusing kepala, saya menemukan hal-hal menarik yang dapat menjadi renungan bersama.

Manusia (Suka) Mencari Validasi

Kisah Rashomon mengambil latar tempat di Kyoto pada zaman Heian yang tengah dilanda bencana alam besar-besaran. Semuanya porak-poranda dan hidup menjadi serba sulit. Ada seorang Genin, salah satu tingkatan samurai, yang baru saja dipecat setelah sekian lama mengabdi pada tuannya tersebut. Malam muram yang dihiasi hujan membuat sang Genin berteduh di Rashomon.

Di tengah derasnya hujan, kebimbangan menyerang si Genin. Bagaimana nasib dia ke depan? Apakah dirinya akan mati kelaparan? Atau ia mesti berani berbuat sesuatu untuk bertahan hidup, menjadi pencuri misalnya? Pergulatan batin itu yang menjadi atmosfir utama yang terasa pada cerita pendek ini.

Sebagai samurai, Genin memiliki kompas moral yang tinggi. Perjumpaannya dengan perempuan tua yang tengah mencabuti rambut seorang mayat perempuan untuk dijadikan wig tentu membuatnya naik darah. Apakah pantas seseorang menyabuti rambut seorang mayat? Bukankah hal itu seperti tidak menghormati orang yang sudah tiada?

“...Sama saja, aku tidak berpikir apa yang kulakukan ini jahat. Kalau tidak melakukannya, aku pun akan mati kelaparan. Aku juga tak punya pilihan…”  (hlm. 19).

Namun, ketika mendengarkan dalih sang nenek yang melakukan ini demi bertahan hidup dan tidak punya pilihan lain, semua kompas moral itu menjadi disfungsi. Akhirnya, opsi yang ingin sang Genin hindari (mencuri/merampok) dipilih dengan dalih bertahan hidup.

Melihat akhir yang sedikit keluar dari ekspetasi, saya kemudian menyadari bahwa apa yang dibutuhkan sang Genin hanyalah sebuah validasi. Keinginannya yang bertentangan dengan moral yang diyakini seakan-akan hancur lebur ketika seseorang masuk dan mengatakan bahwa ‘hal buruk itu kamu lakukan karena ada alasannya’.

Bila dipikirkan kembali, bukankah hal ini banyak terjadi pada kehidupan manusia?

Baca Juga: RESENSI BUKU: Menjadi Berani ala Platon
RESENSI BUKU: Melihat Cililin Era Kolonial Belanda dalam The Belle of Tjililin
RESENSI BUKU: Meninjau Ulang Konsep Manusia Ekonomi

Kritik Sosial dalam Kaki Kuda

Jika kita merasa kesal dengan sistem birokrasi yang tidak becus dan tidak bertanggung jawab, Akutagawa dapat menyuarakannya dalam kisah Kaki Kuda. Menurut Astrid Fauzia dalam skripsi “Kritik Sosial Dalam Uma no Ashi Karya Akutagawa Ryunosuke” (Universitas Indonesia), cerpen Kaki Kuda sarat dengan kritikan sosial pada birokrasi Jepang pada saat cerpen ditulis.

Oshino Hanzanuro, seorang pria biasa-biasa saja, yang bekerja sebagai karyawan Mitsubishi di Beijing. Kehidupan Hanzaburo yang biasa itu tiba-tiba sirna ketika dia ditemukan meninggal akibat pendarahan otak. Kematian yang mendadak ini ternyata akibat dari ketelodaran salah satu staff Dewa Kematian yang masih muda. Karena sudah terlanjur dibangkitkan meski setengah badannya sudah membusuk, staff Dewa Kematian yang lebih tua menyuruh staff muda itu untuk memberinya sepasang kaki kuda agar permasalahan ini cepat teratasi dan tidak mendengar penolakan keras dari Hanzaburo.

Cerminan itu bisa dikatakan sebagai praktik cuci tangan. Sekilas mungkin masalah ini sudah menemukan sebuah titik terang. Tapi, ternyata tidak. Hanzaburo yang bangkit kembali tidak merasa senang. Justru ia ketakutan setengah mati jika rahasia ini terbongkar pada kolega dan istrinya, Tsuneko.

Ketakutan itu akhirnya terwujud. Ia lepas kendali dan kabur. Rahasia kakinya pun tersebar. Namun, orang-orang lebih menganggap Hanzaburo menjadi gila alih-alih karena kaki kudanya. Hal itu dianggap sebagai sebuah prinsip tak kasat mata di kalangan masyarakat.

Bukankah begitulah prinsip dunia ini? Manusia suka menolak yang sulit dan menerima yang mudah,” (hlm. 74).

Prinsip itu dituangkan oleh Pemimpin Redaksi Mudaguchi dari Shuntian Pos (surat kabar yang turut memberitakan kebangkitan Hanzaburo), yang mengatakan sebagai kepala keluarga Hanzaburo tidak diperkenankan untuk sakit jiwa.

Kebenaran yang Semu

Pada 1950, salah satu sutradara kenamaan Jepang Akira Kurosawa merilis film berjudul ‘Rashomon’. Film itu merupakan karya adaptasi cerpen Akutagawa Ryunosuke. Meski berjudul Rashomon, film ini menggabungkan unsur cerita Rashomon dan juga Dalam Semak Belukar. Dan sama-sama mempertanyakan sebuah ‘kebenaran’ itu seperti apa.

Kisah cerpen ini sederhana. Isinya hanyalah kesaksian orang-orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan seorang lelaki kepada Kebishii (polisi). Dari setiap kesaksian ini, tidak ada yang merunutkan kejadian sama persis satu sama lain. Bisa dibandingkan dengan tokoh sentral ini, Tajomaru sang perampok, Istri sang Lelaki, dan Lelaki yang dibunuh lewat perantara seorang dukun.

Setiap kesaksian seolah-olah memiliki kebenaran versi mereka sendiri. Tajomaru yang mengaku membunuh lelaki itu sebenarnya tidak memiliki niat yang kuat untuk membunuhnya. Di sisi lain, sang Istri mengaku kalau dia diperkosa oleh perampok dan membunuh suami yang membencinya. Dan terakhir, kesaksian sang korban yang lucunya rohnya dipanggil dan memasuki tubuh seorang dukun. Lewat mulut dukun itu sang korban memberikan kesaksian jika sebenarnya ia terbunuh akibat persekongkolan perampok dan istrinya.

Cerpen ini seolah-olah menyajikan sebuah puzzle untuk kita sajikan ulang dan memberikan jawaban atas kasus pembunuhan yang terjadi. Tetapi pada akhirnya, kita malah terasing dalam arus informasi yang simpang siur. Lalu di tengah keterasingan tersebut, kita jadi berpikir ulang… apakah kebenaran itu hanyalah subjektivitas belaka?

Informasi Buku

Judul Buku: Kaki Kuda dan Cerita Lain

Penulis: Akutagawa Ryunosuke

Penerjemah: Armania Bawon Kresnamurti

Penerbit: Penerbit Mai

Cetakan: Pertama, Juli 2021

Jumlah Halaman: 152 halaman.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Resensi Buku

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//