Kompleks Kalidam, Lokasi Danau Buatan di Cimahi Tempo Doeloe
Sebagian besar Kompleks Kalidam di Kota Cimahi di era kolonial Belanda adalah danau buatan dengan membendung Sungai Tjimahi. Tanggulnya kini menjadi Jalan Kalidam.
Karguna Purnama Harya
Penulis, pengembara dan pegiat sejarah. Tengah studi magister di Arkeologi UI.
9 April 2024
BandungBergerak.id – Kalaulah Sangkuriang tokoh non fiktif, maka danau yang ia buat tidaklah sebesar Cekungan Bandung. Dan di Tjimahi Tempo Doeloe ada danau buatan yang tampaknya cocok untuk dibuat oleh sosok Sangkuriang non fiktif itu, akan tetapi danau tersebut yang membuat bukanlah Sangkuriang melainkan para insinyur Hindia Belanda yang telah membendung sebuah sungai. Sangkuriang-nya sendiri telah bersalin jinis menjadi sebuah stadion yang diresmikan oleh almarhum Mang Ihin (Solichin GP) tahun 1974.
Apakah danau buatan tersebut masih dapat kita saksikan saat ini? Tentu saja jawabannya tidak. Nasibnya sama seperti Situ Aksan di Bandung yang hanya tinggal nama. Bahkan mungkin jarang orang yang mengetahui hal tersebut saat ini. Dan pastinya banyak masyarakat yang tinggal di bekas danau tersebut tidak menyangka bahwa dulu pada zaman Belanda tempat tinggalnya itu adalah danau buatan. Lalu di manakah danau buatan tersebut? Sungai apakah yang dibendung? Di titik manakah sungai tersebut dibendung? Apa nama bendungannya?
Baca Juga: Kecamatan Babakan Ciparay: Danau yang Hilang dan Kepadatan Penduduk
NGULIK BANDUNG: Riwayat Situ Aksan, Danau yang Hilang di Bandung
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #28: Danau Bandung Purba Tidak Bobol di Sanghyangtikoro
Informasi Awal
Begini ceritanya. Awalnya penulis menemukan hal tersebut gara-gara memperhatikan peta topografi dengan kode H.XXI Tjimahi yang dibuat oleh Topographisch Bureau Batavia keluaran tahun 1905, yang merupakan peta hasil revisi dari peta keluaran tahun 1904 (Gambar 1). Apa yang penulis lakukan hanya sebatas penasaran, sebenarnya bagaimanakah rupa bumi dari Tjimahi Tempo Doeloe itu. Pada peta tersebut penulis perhatikan penanda-penanda kota yang masih lestari hingga kini. Penulis perhatikan dari mulai titik A yaitu Gunung Bohong (G. Bohong), kemudian titik B lapangan tembak militer (Shijftschiet terrein), beranjak ke titik C rumah sakit (Hospitaal), berlanjut ke titik D stasiun kereta (St.), lalu titik E barak militer yang saat ini menjadi Pusdikbekang (Kampement), diikuti oleh titik F penjara militer (Gevangenis), dan terus mata ini memindai hingga titik G wilayah Tagog (Tagok).
Hal yang sangat menarik perhatian penulis adalah titik H yaitu sebuah bentuk cekungan besar yang ada di wilayah tengah-tengah antara Gevangenis dan Tagok. Dikarenakan peta tersebut grayscale, maka cekungan tersebut tidak berwarna. Jika saja warnanya biru, maka dapat dipastikan itu adalah semacam kolam cekungan air, yang bentuknya mungkin mirip hui Cilembu. Namun, cekungan tersebut ukurannya terlalu besar jika disebut kolam, lebih cocok disebut danau kecil. Jika diukur dengan skala peta, maka ukuran panjang terduga danau tersebut kurang lebih 300 meter. Penulis menduga itu adalah danau buatan, sebab berada di daerah aliran Tjimahi rivier (Sungai Cimahi atau disebut juga Leuwigoong).
Data Cukup Lengkap di Artikel Fischer
Beranjak dari informasi peta topografi 1905 tersebut, penulis tidak berhenti lalu berpuas diri begitu saja. Kemudian penulis mencari-cari lagi data di berbagai macam situs penyimpan arsip Belanda, yang tentunya data itu berhubungan dengan pembangunan danau buatan dan tentu saja bendungannya. Data itu haruslah data sebelum 1905.
Kata kunci yang penulis gunakan adalah dari cakupan secara umum yaitu kata ingenieur, militair dan tjimahi, kemudian penulis gunakan pula kata stuwdam alias bendungan, dan penulis kombinasikan dengan garnizoenplaats serta kampement. Akhirnya setelah ke sana kemari buntu, pucuk dicinta ulam pun tiba. Penulis kemudian mendapatkan koleksi digital Tijdschrift van het Koninklijk Instituut van Ingenieurs - Afdeeling Nederlandsch-Indië atau Jurnal Institut Teknik Sipil Kerajaan Belanda - Departemen Hindia Belanda milik Universitas Teknologi Delft. Koleksinya lumayan banyak yaitu dari tahun 1847 hingga tahun 1916 dan rata-rata aturan penggunaannya boleh digunakan secara gratis tapi non komersial.
Informasi mengenai bendungan tersebut penulis dapatkan dari jurnal tahun 1898-1899 nomor 24, pada artikel berjudul Het Militair Etablissement te Tjimahi yang ditulis oleh J.C.H. Fischer, seorang perwira zeni KNIL sekaligus pimpinan proyek itu. Ternyata, informasi yang didapatkan bukan hanya bendungan dan danau buatan saja, melainkan lengkap, seluruh kompleks bangunan Militair Etablissement di Cimahi tersebut dijelaskan satu per satu, baik rumah sakit, barak militer, penjara, sistem pembuangan limbah, dll., dan setiap item tersebut dijelaskan secara ringkas dari mulai teknologi yang digunakan, biaya pembangunan, biaya pembebasan lahan, material bangunan, peta, gambar teknik, dll.
Pada tulisan ini tentu saja tidak akan penulis sajikan semua itu, hanya fokus sebatas bendungan atau stuwdam beserta danaunya. Pertama mari kita saksikan peta yang dibuat oleh tim insinyur yang dikepalai oleh Fischer. Di sana tampak jelas terdapat danau buatan (yang letaknya berada di belakang Militair Cantine yang saat ini menjadi bagian kompleks Kodim 0609. Bentuk danaunya lebih jelas sekarang, ternyata bukan seperti hui Cilembu tapi lebih menyerupai paha ayam goreng bumbu kuning yang dulu tahun 90-an banyak dijual di gerobak kaki lima Jalan Gandawijaya di dekat Toko Waluh.
Sungai Tjimahi (atau Leuwigoong) tersebut dibendung yang titik bendungannya jika dibandingkan dengan Google Maps, saat ini dikenal sebagai bendungan Kalidam. Setelah dilakukan pembandingan antara gambar teknik dan peta tersebut dengan Google Maps, maka dapat diperkirakan bahwa sebagian besar Kompleks Kalidam tersebut dulu pada zaman Hindia Belanda adalah danau buatan.
Kemudian, bisa kita lihat gambar teknik terkait bendungan dan danau buatannya yang ada di tengah-tengah. Sementara gambar kanan atas adalah gambar bendungan tampak atas yang diperbesar. Gambar kanan tengah berupa gambar irisan melintang bendungan, dan gambar kanan bawah merupakan penampang bendungan dari samping.
Bendungan (stuwdam) itu sendiri berdasarkan gambar itu memiliki tiga bagian, yaitu mulut, kerongkongan, dan leher. Ukuran mulut bendungan sendiri ukuran lebarnya kurang lebih 24 meter, sementara kerongkongan atau pintu airnya ukuran lebarnya kurang lebih 12 meter, dan ukuran lebar lehernya kurang lebih 6 meter. Adapun panjang bendungan itu dari mulai mulut, kerongkongan, hingga lehernya kurang lebih 35 meter.
Berdasarkan gambar bendungan dan danau, maka bendungan itu sendiri ada dua macam, ada stuwdam (bendungan yang langsung membendung sungai) yang membendung Tjimahi rivier dan juga ada keerdam (dam tanggul penahan air pembentuk tepian danau). Penulis menduga bahwa tanggul (keerdam) ini sekarang menjadi jalan yang dimulai dari Jalan Kalidam yang sejajar dengan Kodim dan berakhir di Asrama Masmil Cimahi. Tidak heran bagian Jalan Kalidam itu tidak lurus melainkan meliuk.
Dengan perkiraan kasar setelah membandingkan peta dan gambar teknik yang dibuat oleh tim-nya Fischer dengan data Google Maps, maka danau tersebut luasnya kurang lebih 4 hektar. Untuk lebih presisi, maka penulis coba gambar bentuknya di aplikasi Google Earth dengan fitur measurement. Ternyata luasnya 37,971 m2 (3,8 hektar) dengan perimeter atau keliling sepanjang 1,23 Km.
Menurut Fischer di dalam artikel tersebut, material utama bendungan tersebut adalah batu-batu sungai yang dibelah-belah. Untuk alas bendungan, maka digunakanlah batu-batu kali yang dibentuk persegi panjang dengan ketebalan 15 cm yang diikat satu sama lain. Pengikatnya tidak disebutkan, tapi dapat diduga biasanya diikat dengan menggunakan kawat. Batu-batu tersebut tidak diberitakan berasal dari mana, akan tetapi ada informasi menarik, yaitu sebagian besar sistem pembuangan limbah yang ada di bangunan-bangunan Het Etablissement Militair te Tjimahi tersebut menggunakan material batu kapur yang diambil dari daerah Tagog Apu, Padalarang.
Untuk pembangunan Het Etablissement Militair te Tjimahi memakan biaya total 1,9 juta gulden. Sementara itu biaya spesifik untuk bendungan tidak disebutkan, melainkan digabung dengan biaya perataan tanah, pembuatan exercitie terrein (sekarang mencakup KPAD Sriwijaya, Kompleks Pussen Arhanud, Pasar Antri Baru), pembuatan saluran pembuangan limbah, dan pembangunan bendungan, itu biayanya adalah 176 ribu gulden.
Penulis belum menemukan harga emas tahun 1898, tapi yang mendekati yaitu tahun 1896-1897, yaitu pada buku Commercial Relations of the United States with Foreign Countries Vol.II. Menurut buku itu, harga 6,72 gram emas tahun 1896-1897 adalah 10 gulden. Jadi harga 1 gram emas itu sama dengan 1,49 gulden. Jika biaya pembangunan itu 1,9 juta gulden maka setara dengan 1.275.168 gram emas. Apabila dirupiahkan saat ini maka 1.275.168 gram dikalikan dengan Rp. 1,2 juta maka biaya pembangunan Het Etablissement Militair te Tjimahi adalah kurang lebih Rp. 1,56 T. Sementara pembangunan perataan tanah, pembuatan lapang, saluran pembuangan limbah, serta bendungan kurang lebih memakan biaya Rp. 142 milyar.
Stuwdam Kalidam Ditinggikan
Sejak kapan stuwdam tersebut dinamakan Kalidam? Penulis tidak menemukan tanggal pastinya, hanya saja sejak zaman Belanda, stuwdam tersebut memang telah dinamakan Kalidam. Hal ini penulis dapatkan dari koran De Koerier edisi 13 November 1936. Di sana terdapat sebuah berita tentang stuwdam yang bernama Kalidam di Tjimahi tengah dibangun kembali, ketinggian bendungan dan tanggulnya ditambah karena ketinggian sebelumnya tidak dapat menampung cukup air saat kemarau.
Penimbunan Danau Kalidam Diduga Zaman Jepang
Penulis belum mengetahui apa nama danau buatan tersebut di zaman Belanda. Tapi, penulis berinisiatif untuk menamainya danau Kalidam saja, sama seperti bendungannya. Penulis menduga bahwa danau buatan tersebut ditimbun pada zaman Jepang. Hal itu bukan alasan tanpa dasar. Penulis menisbatkannya pada peta Topografi Bandoeng dengan kode peta 39-XXXIX-C tahun 1943 buatan Amerika. Peta tersebut mencakup wilayah Bandung dan Cimahi. Di sana, danau Kalidam sudah tidak tampak batang hidungnya, berubah menjadi lahan vegetasi. Untuk keperluan apa Jepang menimbun danau Kalidam, penulis belum menemukannya. Jika di peta tersebut telah menghijau, mungkin menjadi sawah atau kebun.
Dampak Penimbunan Kalidam
Lalu apa dampak dengan ditimbunnya danau Kalidam yang jadi kompleks perumahan tersebut saat ini? Secara logis, air yang asalnya dibendung oleh Kalidam lalu tertampung di danau buatan yang luasnya kurang lebih empat hektar tersebut pasti larinya ke arah Selatan, di sepanjang aliran Tjimahi rivier (Sungai Cimahi atau Leuwigoong) yang berakhir di Curug Jompong sebelum bersua dengan Citarum. Mungkin itulah salah satu faktor, dari banyak faktor, yang menjadi penyebab daerah Cimahi Selatan, khususnya yang dialiri Sungai Cimahi, selalu banjir. Terlebih sungai yang mengalir di Cimahi terdapat lima sungai, yaitu Cisangkan, Cimahi (Leuwigoong), Cibabat, Cibaligo, dan Cibeureum.
Mungkin dulu sebelum Belanda membuat bendungan, wilayah Cimahi Selatan yang dilewati Sungai Cimahi itu memang pada dasarnya daerah genangan air. Dengan dibuatnya bendungan, maka debit air ke selatan berkurang, sehingga daerah tersebut kering dan dapat dihuni. Dengan ditimbunnya bendungan menjadi pemukiman, maka hal tersebut telah mengembalikan keadaan wilayah selatan tersebut seperti semula, yaitu menjadi daerah genangan air.
Apa yang dapat dilakukan selanjutnya?
Itulah sekelumit pemaparan dari penulis yang sebenarnya masih banyak hal yang belum terungkap. Untuk sejarah Kalidam itu sendiri, mungkin yang perlu dilakukan selanjutnya adalah melacak apakah masih ada tokoh masyarakat yang sudah sepuh dan masih ada saat ini yang pernah menyaksikan keberadaan danau itu? Atau barangkali, mengingat danau sering kali identik dengan refreshing, adakah kisah keluarga secara turun-temurun terkait Kalidam dan danaunya itu? Kemudian tepat selepas danau tersebut ditimbun, apakah ada catatan bencana banjir yang terjadi di daerah Cimahi Selatan, khususnya di sepanjang aliran Sungai Cimahi tersebut? Kapan pastinya danau itu ditimbun, apakah benar zaman Jepang?
Penulis yakin, jika pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab, maka khasanah sejarah Cimahi akan semakin berkembang, yang tentunya akan dapat dimanfaatkan menjadi heritage story yang sangat dibutuhkan oleh para pemandu wisata heritage untuk disuguhkan kepada para wisatawan. Karena pada dasarnya pemandu wisata heritage adalah heritage storyteller yang menjadi ujung tombak industri pariwisata heritage. Selain itu akan semakin lengkaplah data sejarah yang dibutuhkan oleh Pemkot Cimahi di dalam merancang strategi pembangunan Kota Cimahi untuk masa depan. Yang tentunya diharapkan berwawasan rekayasa sungai guna menciptakan kehidupan masyarakat Kota Cimahi yang bebas bencana banjir akibat ngabayabah-nya air dari sungai-sungai yang ada di Cimahi. Melihatlah masa lalu, untuk masa depan, sehingga dapat dibayangkan nanti di masa depan ada lima buah danau buatan di Cimahi sebagai tempat ngabuburit. Pasti edun.