• Kolom
  • SUARA SETARA: Pria Berkain, Berani Tampil Feminin atau Suatu Bentuk Crossdressing?

SUARA SETARA: Pria Berkain, Berani Tampil Feminin atau Suatu Bentuk Crossdressing?

Busana dianggap sebagai penentu maskulinitas dan orientasi seksual seseorang. Seorang crossdresser sering kali dikaitkan dengan orientasi seksual seseorang.

Harry Nasyuha

Anggota Gender Research Student Center (GREAT) UPI

Ilustrasi keberagaman gender. Dalam pandangan mayoritas, kelompok gender selalu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Faktanya, ada kelompok nonbiner yang bukan mengidentifikasi diri sebagai laki-laki maupun perempuan. (Foto Ilustrasi: Amany Rafa Tabina/Mahasiswi Unpar)

9 April 2024


BandungBergerak.id – Perkembangan ragam gaya berpakaian di era 2.0 yang perlahan menghapus stigma spesifikasi busana antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan dinamika sosial di kehidupan bermasyarakat. Versatilitas yang dibentuk serta dijunjung tinggi oleh sebagian besar Generasi Z turut terimplementasikan pada tren berkain sebagai outfit harian di berbagai kegiatan dan event yang sering kali menjadi trendsetter. Khususnya pada laki-laki berkain yang mengundang pro dan kontra tersendiri, di satu sisi budaya patriarki yang kental bagi masyarakat Indonesia melekatkan stigma negatif pada laki-laki berpakaian seperti pakaian seperti itu lebih baik digunakan oleh perempuan.

Di sisi lain muncul gerakan-gerakan yang mendorong normalisasi berkain pada laki-laki sebagai bagian dari upaya melestarikan budaya dan memperjuangkan kesetaraan gender dalam berpakaian. Apakah hal tersebut merupakan upaya normalisasi berkain tradisional pada pria? Apakah merupakan sebuah bentuk keberanian untuk tampil feminin atau justru sebagai bentuk Crossdressing yang lebih kompleks?

Baca Juga: SUARA SETARA: Stereotip Maskulinitas Mengakibatkan Pelecehan Seksual pada Laki-laki Menjadi Bahan Guyonan
SUARA SETARA: Fenomena “Sephora Kids”, Kegagalan Feminisme?
SUARA SETARA: Sistem Patriarki yang Membuat Upah Pekerja Perempuan Jauh Lebih Rendah

Normalisasi Berkain Tradisional

Kain tradisional sebagai identitas dan ciri khas pada budaya yang ada di Indonesia tidak selalu diidentikkan dengan gender tertentu. Sebagai contoh di sebagian besar pulau jawa laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan kain batik bahkan dijadikan sebagai seragam sekolah harian di hari tertentu pada tingkatan SD hingga SMA/K. Tradisi tersebut  menunjukkan bahwa kain tradisional tidak selalu memiliki batasan gender yang begitu kaku. Namun Seiring modernisasi dan pengaruh budaya luar muncul anggapan bahwa kain tradisional adalah “pakaian khusus perempuan dan hanya digunakan di acara tertentu”. Hal ini menyebabkan pria yang memakai kain tradisional dicap sebagai “banci” atau “tidak maskulin” sehingga dengan stigma tersebut yang menghambat upaya normalisasi berkain tradisional pada laki-laki.

Dalam konteks simbolis serta pemaknaan berkain pada pandangan Generasi Z, tampak bahwa berkain sebagai sebuah warisan nenek moyang yang harus dijaga kelestariannya dengan adaptasi budaya kekinian. Sebagai sebuah seni dalam berbusana pada laki-laki ataupun perempuan yang menunjukkan keunikan dan autentikasi karena setiap daerah memiliki ciri khas tertentu  pada motif kain yang digunakan. Walaupun terdapat tantangan saat mengenakan kain dalam berbusana, nyatanya Generasi Z tetap mempertahankan eksistensi berkain di Indonesia. Sehingga dapat dinyatakan bahwa Generasi Z tidak hanya berkain untuk mengekspresikan dirinya, namun juga untuk melestarikan budaya Indonesia.

Berani Tampil Feminin dan Implementasi Crossdressing

Dalam tatanan masyarakat di Indonesia yang masih kental akan anutan sistem patriarki, laki-laki diharuskan untuk selalu menunjukkan maskulinitas, dalam gaya berbicara, bersikap, hingga berpakaian. Hal tersebut membuat laki-laki secara tidak langsung yang menunjukkan sisi femininnya dianggap lemah dan tidak normal. Crossdressing menantang norma gender yang kaku dan memberikan ruang bagi laki-laki untuk mengekspresikan diri secara bebas, pria crossdresser tidak selalu atau bahkan tidak ingin menjadi wanita, tetapi mereka hendak melepaskan diri dari batasan gender dan mengekspresikan berbagai sisi diri mereka.

Maskulinitas yang menjadi subjek fantasi akan bagaimana laki-laki seharusnya, menjadikan laki-laki sebagai kelompok penting dengan mengabaikan sisi feminin yang dimilikinya. Laki-laki tetaplah laki-laki dengan apa yang digunakannya, tidak semua dilahirkan dengan standar maskulinitas masyarakat penganut patriarki. Dominasi berbusana pada masyarakat membentuk adanya image maskulinitas hegemonik yang memunculkan stereotip bahwa laki-laki harus berpenampilan maskulin dalam situasi apa pun. Stereotip akan berpakaian khususnya crossdressing yang merupakan pikiran tidak akurat, hanya berupa kategorisasi dan dilihat dalam bentuk positif serta negatif yang subjektif.

Crossdressing yang belum banyak ditelaah oleh sebagian besar orang ternyata menunjukkan adanya isu gender, di mana hal tersebut merupakan tindakan mengenakan busana lawan jenis termasuk aksesoris yang dipandang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dipandang oleh masyarakat. Busana yang dianggap sebagai penentu maskulinitas dan orientasi seksual seseorang, seperti laki-laki berkain dianggap feminin dan homoseksual, wanita dengan celana jeans dan rambut pendek dianggap tomboi serta lesbian.  Seorang crossdresser sering kali dikaitkan dengan orientasi seksual seseorang, padahal seorang crossdresser belum tentu gay atau lesbian. Sebagai contoh Lady Gaga yang dikenal sebagai crossdresser dengan penampilannya yang berani serta provokatif. Dalam dunia seni, crossdressing digunakan sebagai bentuk ekspresi dan sebuah kritik sosial.   

Sehingga budaya berkain pada laki-laki merupakan bentuk versatilitas dalam berbusana dan menunjukkan bahwa selain upaya normalisasi berkain tradisional dalam bentuk mengekspresikan diri, namun juga untuk melestarikan budaya Indonesia. Meskipun pada akhirnya laki-laki akan dihadapkan pada stereotip dan maskulinitas akan bagaimana laki-laki seharusnya dalam berbusana yang mau tidak mau akan melawan tatanan sistem patriarki yang masih melekat erat dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Crossdressing yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai yang menjadi standar di mana pakaian laki-laki haruslah dipakai oleh laki-laki, begitu pun sebaliknya. Crossdressing menantang norma gender yang kaku dan memberikan ruang bagi laki-laki untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dan menyuarakan kesetaraan gender dalam berbusana. 

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//