• Kolom
  • BUNGA DI TEMBOK: Kecil-kecil Wartawan Perang

BUNGA DI TEMBOK: Kecil-kecil Wartawan Perang

Bersama keluarganya, Atim mencetak koran untuk membantu perjuangan di masa revolusi kemerdekaan. Setelah dewasa, mewujudkan mimpi menjadi wartawan perang.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Sampul buku Atim Wartawan Perang karya Bung Smas terbitan PT. Gramedia (1983). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

13 April 2024


BandungBergerak.id - “Kalau Bapak membuat koran, apa Bapak berjuang juga?”

Begitulah pertanyaan bocah Atim kepada Ayah dan Ibunya ketika di suatu malam pada 1948 ia terbangun oleh harum agar-agar. Sejak malam itu, Atim mengetahui seluruh keluarganya terlibat dalam pekerjaan berbahaya mengumpulkan dan menyebarkan informasi di masa-masa penuh pergolakan sesudah proklamasi kemerdekaan. Semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

Ayah Atim, namanya Tameng, merupakan pekerja kantoran yang merangkap semacam pimpinan redaksi. Ibunya mengurusi pencetakan koran dengan memanfaatkan agar-agar. Dalam sekali cetak, mereka bisa menghasilkan 20-an lembar koran. Atam, kakak Atim, bergabung bersama gerilyawan sebagai pejuang sekaligus reporter lapangan.

Koran yang diproduksi di dapur rumah Atim di sebuah kota kecil di Jawa Timur disebarkan ke para gerilyawan. Isinya macam-macam, mulai dari yang serius seperti peta kekuatan Belanda, yang menyedihkan seperti kabar gugurnya para pejuang, hingga kisah-kisah konyol di medan perang yang menjadi hiburan penguat semangat. Lalu siapa yang menjadi loper koran agar sampai ke tangan para gerilyawan? Pak Nadi, guru Atim.

Atim perlahan-lahan terlibat dalam proses produksi informasi itu. Ia melakoni peran yang ditunaikan Atam sebelum memutuskan bergabung ke front pertempuran. Tugas pertama Atim adalah mengamat-amati bangunan bekas pegadaian sebagai sumber pengadaan kertas. Ayahnya, sang pemimpin redaksi sekaligus kepala penerbitan, adalah juga garong (versi Belanda) yang akan mengambil kertas-kertas bahan koran itu.

Selesai mengamati, Atim lalu menggambar di atas kertas merang. Pak Tameng memastikan di mana letak lubang gentingnya. Ia meminta sang anak membuat perhitungan jarak yang presisi. Setelah yakin bahwa letak lubang itu tepat di kamar penyimpanan barang, Pak Tameng melontarkan pujian kepada sang anak yang telah berhasil menunaikan tugas pertama.

“Aku belum bertugas, Pak. Kukira malam nanti aku harus naik ke genting dan masuk ke rumah gadai itu. Aku berani, Pak. Asalkan Bapak menemaniku di samping rumah gadai itu,” ucap Atim.

“Cukup, itu tugas Bapak,” sergah Pak Atim, membuat Atim kecewa karena merasa tugasnya terlalu sederhana.

Tugas Atim berikutnya semakin menantang. Ia harus mengumpulkan berita dari orang-orang yang tidak ia kenal. Ada lelaki berkulit gelap yang bekerja sebagai penjual layang-layang. Ada pemilik toko yang bermata sipit dan istri camat yang menjadi pelanggan agar-agar. Merekalah reporter sekaligus kontributor koran. Informasi penting disampaikan ke Atim lewat bermacam cara, mulai dari tembang hingga secarik keras. Salah satu informasi yang berhasil diperoleh Atim adalah cuplikan pidato Bung Tomo yang disiarkan lewat radio dari Surabaya.

Hari itulah untuk pertama kalinya Atim betul-betul menjalani peran sebagai seorang wartawan. Dan semua berjalan lancar.

“Tugas pertamamu sebagai wartawan telah kau laksanakan dengan baik. Besok lakukan lagi pekerjaan itu,” kata Pak Tameng.

Ilustrasi karya Amir Koenfayakoen di dalam buku Atim Wartawan Perang (1983). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)
Ilustrasi karya Amir Koenfayakoen di dalam buku Atim Wartawan Perang (1983). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Bocah Loper Koran Bernama Al
BUNGA DI TEMBOK: Soemarso Soemarsono, Wartawan Harian Abadi yang Dituduh Subversif
BUNGA DI TEMBOK: Pilihan Berkelahi di Fifth Avenue, New York

Penangkapan dan Penggeledahan

Buku Atim Wartawan Perang karya Bung Smas diterbitkan pertama kali pada 1983 oleh PT. Gramedia, Jakarta. Tebalnya hanya 64 halaman, dengan lima gambar ilustrasi karya Amir Koenfayakoen di dalamnya. Seperti di kebanyakan buku cerita anak tentang wartawan, profesi jurnalis digambarkan lekat dengan aksi-aksi heroik.

Tidak butuh waktu lama bagi Atim untuk merasakan ketegangan bekerja sebagai seorang wartawan perang. Di hari keduanya bertugas mengumpulkan berita, ia tidak bisa menemui Pak Sadru, sang penjual layang-layang. Setelah menunggu tanpa hasil hingga sore, Atim pulang dengan perasaan cemas: jangan-jangan sang informan telah tertangkap oleh tentara Belanda.

Dan itulah yang senyatanya terjadi. Adegan berikutnya bisa ditebak. Rumah Pak Tameng digeledah. Atim buru-buru menyembunyikan sebagian kertas bahan koran ke lubang rahasia di bawah tempat tidurnya. Sisanya ia bawa dalam persembunyian di langit-langit kamar.

“Geledah!” teriak sang komandan pasukan. “Cari garong yang bersembunyi di langit-langit! Habisi nyawanya!”

Ada adegan berondongan peluru ke udara yang dilakukan secara acak oleh tentara Belanda. Darah menetes. Ibu sudah hampir pingsan dibuatnya, mengira itu darah sang anak. Nyatanya, seekor tikus malang-lah yang terserempet peluru, sementara Atim diselamatkan oleh Pak Nadi, gurunya. Penggeledahan berhasil dilalui keluarga Atim dengan selamat, tapi sejak hari itu Pak Tameng menghilang tak diketahui rimbanya.

Seperti kebanyakan buku cerita anak, Atim Wartawan Perang ditutup dengan akhir yang membahagiakan. Pak Tameng pulang dan berkumpul lagi dengan keluarganya setelah Belanda terusir dari Indonesia. Mereka bersepakat untuk kembali menekuni kerja mencetak koran. Bukan lagi dengan agar-agar, tapi mesin cetak yang dirampas dari penjajah.

Atim, yang telah bersalin nama menjadi Suteja Tameng, berhasil mewujudkan cita-cita besarnya menjadi wartawan perang. Pada Agustus 1982, Atim atau Suteja ditugaskan meliput perang antara Israel dan Palestina yang terjadi di Lebanon, negeri yang jadi tempat bermukim pengungsi Israel. Cerita diakhiri dengan lambaian tangan Aldila ketika melepas kepergian sang ayah, Suteja, di dalam kereta api yang mulai melaju.

“Kalau Bapak pulang, ceritakan pengalaman di sana ya Paaak!” teriak si bocah perempuan.  

Sama seperti Pak Tameng dulu akhirnya pulang menemui Atim, Suteja tentu akan pulang juga menemui Aldila. Yang tak tentu: berapa lama waktunya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//