BUNGA DI TEMBOK: Indonesia dalam Buku Jurnalistik 1929
Buku saku Pengatahoean tentang Journalistiek laris dibeli orang. Meyakini bahwa kerja jurnalisme amat dekat dengan pergerakan.
Tri Joko Her Riadi
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id
17 April 2024
BandungBergerak.id – “Pembatja jang terhormat! Kita poenja peberbitan boekoe Pemimpin Journalist dan Drukkerij dalem tempo sebentaran sadja telah abis terdjoeal, kemoedian kita poenja tjitakan kedoea jang kita robah titelnja djadi Pemimpin Journalist poen dalem brapa boelan sadja soedah lakoe semoea, hal mana membri kenjataan pada kita bahoea Journalistiek semingkin lama semingkin disoeka oleh poeblik di Indonesia”.
Begitulah bunyi paragraf pertama di halaman “Penoetoer Kata” buku saku Pengatahoean tentang Journalistiek yang ditulis di Semarang pada Desember 1929. Ada sedikitnya dua hal menarik dalam paragraf itu. Pertama, buku-buku jurnalistik ketika itu laku keras, terbukti dengan ledesnya dua cetakan buku praktis yang dikemas menjadi semacam “how to” ini. Kedua, munculnya kata Indonesia.
Pada tahun 1929 itu, kita tahu, “Indonesia” masih berupa Hindia Belanda. Sebuah negeri terjajah. Cengkeraman kolonialisme masih kuat. Pemerintahan Hindia Belanda pada dasawarsa itu bahkan sedang giat-giatnya mewujudkan rencana memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung, meski nantinya mandek tersandung malaise.
Namun kita juga tahu bahwa pada 1928, setahun sebelum buku cetakan ketiga itu diterbitkan, berlangsung kongres pemuda kedua yang menghasilkan sebuah pernyataan sikap yang luar biasa revolusioner: Sumpah Pemuda. Nama Indonesia, yang masih dibayangkan, disepakati sebagai bangsa, tanah, air, dan bahasa bersama.
Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Soemarso Soemarsono, Wartawan Harian Abadi yang Dituduh Subversif
BUNGA DI TEMBOK: Pilihan Berkelahi di Fifth Avenue, New York
BUNGA DI TEMBOK: Kecil-kecil Wartawan Perang
Panduan Kerja Wartawan
Buku Pengatahoean tentang Journalistiek yang ditulis oleh Lin Shi Cheng adalah sebenar-benarnya buku praktis tentang kerja pers. Bukan pamflet perjuangan yang meledak-ledak. Sebagian besar isi buku setebal 136 halaman menjelaskan secara ringkas seluk-beluk dunia kewartawanan, mulai dari definisi redaktur, reporter, kritik, dan koresponden hingga sedikit riwayat pers, kertas, serta surat kabar.
Tentang redaksi, Lhin Shi Cheng menuliskan: “Moendjoer dan madjoenja satoe soerat kabar, pakerdjaan redactie ada ambil bagian penting, sebab afdeeling redactie ada leksana kepala dari jang laen.”
Tentang delik pers yang telah banyak menjerat para wartawan-pejuang pergerakan Indonesia ketika itu, mulai dari Tirto Adhi Suryo, Mas Marco Kartodikromo, hingga Semaoen, sang pengarang buku memilih menjelaskannya secara normatif saja. “Kadang-kadang terhadep soeatoe perkara, orang memang bisa menoelis dengan bernapsoe, hingga tida bisa loepoet dari delict,” tulisnya.
Tentang kiprah perempuan di Indonesia dalam dunia kewartawanan, Lin Shi Ching bahkan luput menyebut satu saja nama. Barangkali karena ketiadaan data dan rujukan. Indonesia, menurut si pengarang, “belon mempoenjai satoe journaliste jang bekerjda dengen terboeka, baik Tionghoa maoepoen Indonesier.” Padahal, kita tahu bahwa Ruhana Kuddus, perempuan jurnalis pertama di Indonesia, memimpin Soenting Melajoe sejak penerbitan perdana pada Juli 1912.
Meski menjadikan bukunya sebuah panduan praktis serupa “how tow”, Lin Shi Ching toh menyelipkan juga sebuah kesadaran yang demikian penting dalam topik “Orang Prempoean dan Journalistiek” itu: “pergerakan dan journalistiek tida terpisah terlaloe djaoeh.” Dalam kesadaran semacam ini, dua hal menarik yang termuat dalam kata pengantar buku itu, yakni tingginya minat akan jurnalistik dan munculnya kata Indonesia, menjadi penting sekali maknanya.
Kita lantas bisa menerka pesan mulia yang hendak disampaikan lewat penerbitan buku panduan bergambar sampul burung hantu tersebut: semakin bermutu kerja jurnalistik, semakin efektif pergerakan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.