• Narasi
  • Menelusuri Sejarah Jembatan Cincin dan Taman Loji di Jatinangor Bareng Komunitas Bandoeng Waktoe Itoe

Menelusuri Sejarah Jembatan Cincin dan Taman Loji di Jatinangor Bareng Komunitas Bandoeng Waktoe Itoe

Komunitas Bandoeng Waktoe Itoe (BWI) “Selami Bandoeng Djaman Doeloe” aktif menggelar tur berjalan kaki menelusuri warisan sejarah Bandung.

Audrey Laurenza

Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad)

Komunitas Bandoeng Waktoe Itoe menelusuri sejarah Jembatan Cincin dan Taman Loji di Jatinangor, Sumedang, Minggu, 17 Maret 2024. (Foto: Audrey Laurenza/BandungBergerak.id)

19 April 2024


BandungBergerak.idSalah satu acara tur jalan kaki komunitas Bandoeng Waktoe Itoe (BWI) menyelami penggalan sejarah Jembatan Cincin di Jatinangor. Jembatan ini dipakai jalan kereta api oleh kolonial Belanda, dibongkar oleh Jepang untuk biaya perang. Di jalangan warga sekitar muncul cerita mistik saat melintas di jembatan malam-malam.

Tur ini dilakukan Minggu, 17 Maret 2024 lalu. Perjalanan dimulai dengan titik kumpul di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran (Unpad) Jatinangor, Sumedang. Terdapat dua orang tour guide menyertai perjalanan, yaitu Kang Ali sebagai Co Founder BWI yang merupakan lulusan FIB tahun 2023 jurusan Sastra Sunda, serta Kang Ojel, sebagai Founder BWI yang merupakan lulusan Sastra Indonesia 90-an.

Lebih dari 15 orang berkumpul untuk mengikuti kegiatan BWI tersebut, khususnya bapak/ibu yang datang untuk berekreasi dari berbagai kota bagian Bandung, dan juga diramaikan mahasiswa Unpad yang datang untuk mengeksplorasi sejarah Jatinangor, dengan rute pertamanya adalah Jembatan Cincin.

Perjalanan dari titik awal FIB Unpad memakan waktu kurang dari 10 menit untuk bisa sampai di Jembatan Cincin. Jembatan ini dapat diakses melalui Cikuda, Cisaladah, dan Gang Mawar dengan view yang sangat bagus dan menyegarkan.

“Jembatan ini tuh dulu rel kereta api pada masa Belanda, sudah ada dari sekitar tahun 1917-an buat ngangkatin hasil perkebunan, rutenya juga lumayan panjang dari Rancaekek ke daerah Tanjungsari,” jelas Ojel Sansan Yusandi yang juga penulis sejarah Bandung.

Perkebunan yang dimaksud Ojel adalah perkebunan karet dan teh. Karena memang pada masa itu Jatinangor dikuasai oleh perusahaan swasta milik Belanda yaitu Maatschappij tot Exploitatie der Baud-Landen yang dikenal sebagai Tuan Baud.

Banyak hal lain yang juga diceritakan, bahwasannya Jembatan Cincin ini mulai dialihfungsikan pada masa penjajahan Jepang di 1940-an.

“Bayangin aja ini dulu full sama rel kereta api, tapi pas masa Jepang semua relnya diambil, dan entahlah mungkin ‘dikiloin’ untuk kebutuhan perangnya mereka juga,” timpal Ali.

Tapi tidak sampai di situ saja, konon Jembatan Cincin dengan arsitektur Belanda yang gagah bertahan hingga saat ini juga menyimpan banyak cerita horor dari warga sekitar yang mengaku sering mendengar suara perempuan dan anak kecil di malam hari, hingga adanya larangan melewati Jembatan Cincin pada malam hari.

“Tapi dulu aku sering kalo gabut lewat sini (Jembatan Cincin) malem-malem, ya cuma untuk sekadar jalan dan keliling-keliling aja sampai ke Unpad, asal nggak ngapa-ngapain aman aja kok,” sahut Bibin (20 tahun), mahasiswi Unpad yang dulunya pernah ngekos di daerah Cisaladah dekat Jembatan Cincin.

Setelah berjalan dari Jembatan Cincin, kami melanjutkan perjalanan ke Taman Loji di wilayah ITB, melewati jalur Unpad dengan jarak sekitar 2 kilometer. Sambil bercengkerama dan saling mengenal satu sama lain di sepanjang perjalanan, kami tiba di Taman Loji. Di sana, kami diberi penjelasan bahwa menara yang terdapat di taman tersebut sebelumnya merupakan bukti sejarah produktivitas Jatinangor sebagai sentra perkebunan karet di Jawa Barat.

“Menara Loji ini tuh fungsinya buat memberikan tanda jam kerja dan jam istirahat buruh-buruh pada masa itu,” jelas Ojel.

“Tapi saya pernah dengar dulu katanya bunyinya bisa sampai jauh” tambah Octa (43 tahun), ibu rumah tangga yang menjadi peserta tur BWI.

“Betul, katanya sih dulu suara loncengnya bisa kedengaran sampai Tanjungsari,” tambah Ali.

Mungkin memang benar seperti itu karena mengingat wilayahnya yang didominasi oleh kebun, jadi masih minim polusi udara. Tapi, sayang saya mendapat informasi lanjutan dari Ojel bahwa lonceng dari menara Loji hilang dicuri.

Akhirnya kami sampai ke rute terakhir yaitu makam yang dipercayai sebagai makan Tuan Baud, yang merupakan seorang dari Hindia Belanda pemilik kebun karet pada masa 1917-an.

Sungguh pengalaman yang menyenangkan karena dapat ngabuburit bersama, membahas tentang sejarah di Jatinangor, sesuai dengan komitmen BWI yang sangat menghargai nilai budaya dan sejarah. Mereka percaya bahwa budaya membentuk manusia dan sejarah merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia dari sudut pandang yang berbeda.

Baca Juga: Pesona Sejarah Bandung dalam Buku
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (1)
BUKU BANDUNG #41: Bandoeng Waktoe Itoe

Komunitas Bandoeng Waktoe Itoe menelusuri sejarah Jembatan Cincin dan Taman Loji di Jatinangor, Sumedang, Minggu, 17 Maret 2024. (Foto: Audrey Laurenza/BandungBergerak.id)
Komunitas Bandoeng Waktoe Itoe menelusuri sejarah Jembatan Cincin dan Taman Loji di Jatinangor, Sumedang, Minggu, 17 Maret 2024. (Foto: Audrey Laurenza/BandungBergerak.id)

Komunitas Bandoeng Waktoe Itoe

Berdiri pada tanggal 19 Januari 2022, Bandoeng Waktoe Itoe adalah komunitas yang didirikan dengan fokus utama pada kegiatan literasi, khususnya literasi sejarah. BWI lahir dengan tujuan untuk turut serta dalam upaya meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan sejarah, serta berkontribusi dalam memperluas wawasan masyarakat tentang jejak-jejak sejarah yang ada di Kota Bandung dengan pergantian rute di setiap pertemuannya.

Pada setiap akhir pekan BWI mengadakan kegiatan berjalan kaki mengelilingi jejak-jejak sejarah di Bandung. Dalam kegiatan ini, peserta diajak untuk 'dilemparkan' ke dimensi waktu lampau melalui narasi dan penjelasan tentang setiap lokasi bersejarah yang dikunjungi.

BWI juga menyelenggarakan private tour untuk mereka yang ingin menjelajahi rute sejarah secara bebas dan dengan konsep pembayaran pay as you wish yang berartikan membayar secara sukarela tanpa minimum ketentuan.

Selama dua tahun berdirinya, BWI telah berhasil menjalin berbagai kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk komunitas disabilitas dan lansia, PT Kereta Api Indonesia, serta beberapa merek makanan dan minuman dan fashion.

Mereka juga telah menerbitkan buku tentang sejarah Bandung berjudul "Bandoeng Waktoe Itoe" yang ditulis oleh pendiri mereka, Ojel Sansan Yusandi. Ojel berharap dengan adanya BWI, masyarakat lebih memahami sejarah dengan cara yang unik dan menarik, serta berkontribusi dalam upaya pelestarian dan penyebarluasan pengetahuan sejarah di masyarakat.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Audrey Laurenza, atau artikel-artiikel lain tentang Komunitas Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//