• Kolom
  • BUNGA DI TEMBOK: Suparman Amirsyah, Menyerah Tidak Berarti Kalah

BUNGA DI TEMBOK: Suparman Amirsyah, Menyerah Tidak Berarti Kalah

Tanpa pengadilan, Suparman harus menghabiskan delapan tahun hidupnya di Pulau Buru. Sukses berwirausaha meski menyandang status eks tapol.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Sampul depan buku Sebuah Catatan Tragedi 1965: Dari Pulau Buru sampai ke Mekah (2006), memoar Suparman Amirsyah. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

21 April 2024


BandungBergerak.id - Ketika koran-koran kiri mulai dilarang terbit pada hari kedua Oktober 1965, harian Warta Bandung masih melenggang. Awak redaksinya menulis dan menerbitkan berita dengan berpindah-pindah lokasi. Kantor mereka di Jalan Naripan 1 bukan lagi tempat aman. Kecemasan dan ketakutan menguar di mana-mana.

Suparman Amirsyah, pemimpin umum koran, mengingat bagaimana ia melakoni hari-hari sulit itu. Informasi dimonopoli oleh propaganda militer lewat media yang menjadi corong mereka, seperti harian Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Warta Bandung memilih untuk menentang arus dengan tidak latah memberitakan kabar sensasional tentang pembantaian di Lubang Buaya. Tentang para jenderal yang dicungkil mata dan dipotong kemaluannya sebelum dibunuh. Tentang para anggota Gerwani yang melakukan semua itu dengan melakoni ritual tari bugil dan nyanyi “Genjer-genjer”.

“Di seluruh Indonesia, koran demokratis tinggal satu-satunya, dan itu pun tirasnya hanya 20 ribu lembar. Suara kami tenggelam dalam euforia kebohongan dan fitnah pendukung rezim Soeharto,” tulis Suparman dalam memoarnya Sebuah Catatan Tragedi 1965: Dari Pulau Buru sampai ke Mekah (2006).

Tekanan untuk Suparman dan anak buahnya di Warta Bandung semakin berat dari hari ke hari. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Sekretaris PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Para wartawan harian itu dikucilkan oleh kolega di lapangan. Pada 5 Oktober, kantor mereka di Jalan Naripan porak-poranda akibat aksi segerombolan orang yang menamakan dirinya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). “Ganyang koran komunis! Ganyang PKI! Bubarkan Warta Bandung!” teriak mereka.

Pada 10 Oktober tengah malam, datang utusan dari Kodam III Siliwangi menyerahkan surat perintah pembredelan Warta Bandung. Seluruh aset harian itu, termasuk satu unit mesin cetak baru, dinyatakan disita untuk negara. Puncaknya, pada 20 Oktober pagi, giliran dua tentara berbaret biru langit menjemput Suparman di rumahnya. Itulah awal dari 13 tahun penyiksaan batin dan fisik yang harus dialami sang wartawan di bawah Orde Baru.

Suparman dikurung di sel Denpom (Detasemen Polisi Militer), Jalan Jawa, sebelum dijebloskan ke Kamp Tahanan Kebon Waru sejak 6 November 1965. Pemeriksaan di penjara ini tidak sekejam interogasi di kamp-kamp ilegal, meski ada juga pemukulan, pencabutan kuku, serta setrum listrik. Neraka bagi orang-orang kiri yang ditangkapi waktu itu ada di kamp-kamp ilegal. Suparman mencatat bagaimana orang-orang dengan tubuh tak utuh lagi diseret dan ditumpuk di sel-sel Kebon Waru setelah sebelumnya disiksa secara sadis di ruang bawah tanah Gedung Merdeka. Datang juga gelombang tahanan korban penyiksaan dari Cupunegara, Subang, dengan “tubuh dan mentalnya yang hancur luluh, jiwanya sudah terguncang, tidak normal”.

Di Kamp Tahanan Kebon Waru, kunjungan keluarga bisa dilakukan secara leluasa. Inilah kesempatan bagi para tahanan memperpanjang hidup lewat kiriman makanan atau uang karena tidak ada jatah makanan mereka peroleh dari pengelola tahanan. Suparman dibuat nelangsa karena beban hidup ditimpakan pada istri yang selama ini bergantung pada pendapatannya dari kerja pers. Tidak ada barang berharga yang ia tinggalkan di rumah. Semua sudah dijual untuk bertahan hidup di hari-hari penuh kecemasan menjelang penangkapan.

Selama tinggal di Kebon Waru, Suparman tidak mengalami satu kali pun penyiksaan fisik. Namun ia menderita akibat kepergian dua anggota keluarganya. Pertama, si sulung berumur delapan tahun meninggal karena sakit difteri. Berikutnya, sang istri meninggalkannya untuk kawin dengan orang lain. Kabar yang membuat Suparman pingsan.

“Setelah peristiwa itu, selama berbulan-bulan saya mengalami depresi berat. Dada rasanya seperti ditindih batu besar,” tulisnya.

Pada 18 Juli 1970 petang, Suparman bersama ribuan tahanan lain dari berbagai daerah di Jawa Barat diangkut ke Nusakambangan dengan kereta api. Di pulau itu, setiap barak yang seluas 10×4 meter, dengan sebuah kakus di salah satu pojoknya, kepayahan menampung 90 orang. Penderitaan terberatnya: kelaparan dan kehausan akut tanpa ada lagi kunjungan keluarga yang bisa menjadi penghiburan.

Di barak-barak di Nusakambangan itulah, Suparman pertama kalinya bertemu dengan para tahanan lain dari berbagai penjuru negeri. Dari Salemba, Jakarta, datang gerombolan pemuda dan para pucuk pimpinan surat kabar kiri dengan tubuh kurus-kering. Penjara di ibu kota itu memang dikenal kejam. Para tahanannya diisolasi dan dibiarkan menderita lapar. Suparman, yang menikmati banyak kelonggaran di Kebun Waru, mengalami secuil pengalaman menyiksa seperti itu selama berada di Nusakambangan.

“Dalam situasi berebutan air di depan pintu barak, sulit kita membedakan antara manusia dan bebek. Karena haus dan lapar, manusia lupa pada kemanusiaannya. Berebutan dan berdesakan. Persis seperti bebek yang kehausan,” tulisnya.

Pada 20 Oktober 1970, Suparman ada di perut kapal “Tobelo” yang berlayar menuju Pulau Buru, mengangkut ribuan orang tahanan politik (tapol) gelombang kedua. Empat hari kemudian, ia tiba di Namlea. Buru adalah pulau terbesar di Maluku yang ketika itu hanya dihuni oleh 30 ribu penduduk yang kebanyakan adalah pendatang asal Sulawesi. Suparman ditempatkan di Unit 4 Savanajaya yang dibangun oleh para tapol gelombang pertama, termasuk Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin.

Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Pilihan Berkelahi di Fifth Avenue, New York
BUNGA DI TEMBOK: Kecil-kecil Wartawan Perang
BUNGA DI TEMBOK: Indonesia dalam Buku Jurnalistik 1929

Antara Pukulan Pertama dan Operasi Mental

Dalam buku Dari Pulau Buru sampai ke Mekah, tahun-tahun di Buru mendapatkan porsi penceritaan terbanyak. Suparman, yang mulai menulis memoarnya ketika gerakan reformasi bergulir pada 1998, menyebut banyak sekali peristiwa secara rinci. Mulai dari nama dan lokasi hingga ukuran dan jumlah. Penggambarannya yang hidup membuktikan bahwa ia tidak kehilangan keterampilan mengobservasi khas jurnalis lapangan, lalu menyempurnakannya dengan ingatan yang tajam di kepala.

Di Pulau Buru inilah, Suparman memperoleh bogem mentah untuk pertama kalinya. Ia terlambat sekian detik mengikuti apel pagi yang dimulai tepat pukul enam. Tinju sang komandan peleton pengawal (tonwal) yang dikenal dengan julukan “Si Baung” mendarat di dagu. Pukulan pertama sepanjang penahanan yang membuat sakit hati “tak terobati sampai hari ini”. Suparman kemudian disuruh tiarap dan merayap di parit, sementara sang komandan memberondongkan peluru dari mulut senapan mesin ringannya.

Lewat catatan Suparman, kita bisa merasakan kekejaman kerja paksa yang harus dilakoni para tapol. Mereka membuka ladang dan sawah, membuat bendungan, menggergaji kayu, serta sesekali menjadi kuli pelabuhan di Namlea. Pekerjaan yang bukan hanya menguras tenaga, tapi juga mengikis kewarasan.

Kematian sewaktu-waktu bisa menjemput, lewat berbagai macam cara. Ada yang gantung diri di rangka masjid, tertimpa pohon, menderita sakit, kelaparan, atau ditembak tonwal. Adegan-adegan pilu itu sering terlambat diketahui sesama tapol. Namun ada juga yang berlangsung di hadapan orang-orang sehingga meninggalkan trauma tak terperi.

“Tiba-tiba ia (Harjo) lari ke pematang mengambil ceret dan menenggaknya seperti orang kehausan, padahal dalam ceret itu berisi endrin untuk menyemprot tanaman padi yang sedang bunting,” tulis Suparman.

Ada juga cerita tentang sekelompok tapol yang nekat mencoba melarikan diri dari Buru. Tekanan hidup yang begitu berat membuat mereka termakan kabar adanya kapal putih yang akan melintas dan bisa ditumpangi menuju dunia bebas. Nasib mereka berujung tragis. Sebagian mati kelaparan di hutan, yang lain tertangkap untuk kemudian disiksa habis-habisan. Tak cukup sampai di situ, tahanan lain di satu unit juga kena getahnya.

Menolak gagasan kabur dari Pulau Buru, Suparman bukan berarti menyerah. Ia dan teman-teman sesama tapol pernah menyelundupkan kertas berisi kesaksian atas penderitaan mereka di Buru ke dalam sepatu dua orang bule yang datang berkunjung. Mengira keduanya wartawan, Suparman dibuat gigit jari setelah tahu bahwa mereka hanyalah turis. Namun, sang jurnalis akhirnya berhasil menyampaikan kondisi nyata para tapol, lewat percakapan dalam bahasa Perancis, kepada dua petugas Palang Merah Internasional yang datang pada akhir 1973.

“Pasrah tidak berarti menyerah. Dalam kepasrahan ada dua sisi yang saling mengisi, seperti pisau bermata dua. Menerima keadaan dan berusaha keras mengubah keadaan yang buruk menjadi baik,” tulisnya.

Tidak semua yang dikisahkan Suparman adalah kesedihan dan ketakutan. Ia menyelipkan juga cerita-cerita ringan tentang bagaimana para tapol menjalani hidup keseharian mereka di Pulau Buru. Ada kisah tentang menu makanan, ayam piaraan, anjing kesayangan, dan pertandingan-pertandingan sepak bola. Dipercaya sebagai manajer, Suparman teringat hari-hari penuh keceriaan ketika bermain sepak bola di klub remaja yang menjadi salah satu anggota Persib Bandung pada 1950-an.

Kesaksian lain yang menarik adalah tentang program siraman rohani, yang dinamai ‘Operasi Mental (Opstal)’, bagi para tapol Pulau Buru. Suparman menceritakan perbedaan antara rohaniwan militer dan sipil. Yang satu dogmatis dan menggurui, sementara yang lain cair dan bersahabat. Secara khusus, Suparman memuji kiprah Romo Mangunwijaya yang memberikan pelayanan di Buru selama dua tahun. Alih-alih ceramah, sang pastor justru lebih senang mengunjungi barak dan mengobrol dengan para tapol dari semua latar belakang agama. Romo Mangun, yang punya keleluasaan masuk-keluar Buru, juga membantu para tapol melacak jejak keluarga dan saudara mereka di tempat asal.

“Tapol tidak memerlukan siraman rohani apapun. Mereka tidak memerlukan ceramah muluk-muluk, tidak memerlukan janji-janji yang indah-indah, yang melambung setinggi langit, sementara mereka masih diperlakukan seperti anjing kurap dan anjing buduk. Dihardik dan dianiaya, diisolasi dari pergaulan masyarakat banyak, diasingkan di sebuah pulau kosong yang penuh dengan siksaan lahir dan batin. Tapol hanya butuh kebebasan,” kritik Suparman atas ‘Operasi Mental’ ala Orba itu.

Tentang pembebasan para tapol dari Pulau Buru, Suparman membuat beberapa catatan menarik. Ia menghubungkannya dengan tekanan dunia internasional, dipimpin Amerika Serikat di bawah presiden baru Jimmy Carter, pada Suharto. Bantuan berupa pinjaman dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) akan diteruskan hanya jika para tapol dibebaskan. Begitulah Suparman meyakini kebenaran yang ironis itu. Pemulangan tapol bukan atas kebaikan hati Suharto, tapi atas desakan Amerika dengan barter pinjaman “yang malah menjadi sumber malapetaka bagi bangsa indonesia dan menjadi kesengsaraan dan pemiskinan sistematik”.

Pada 26 Desember 1978, Suparman bersama ribuan tapol lain menaiki kapal “Gunung Jati” yang bergerak meninggalkan Pulau Buru. Mereka tiba di pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta, lima hari kemudian. Menaiki kereta, Suparman tiba di Bandung pada 30 Desember 1978 sore dan segera digiring ke penjara Kebon Waru. Baru keesokan harinya, Suparman dan ribuan tapol lain mengikuti upacara pelepasan di GOR (Gelanggang Olah Raga) Saparua.

Sampul belakang buku Sebuah Catatan Tragedi 1965: Dari Pulau Buru sampai ke Mekah (2006), memoar Suparman Amirsyah. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)
Sampul belakang buku Sebuah Catatan Tragedi 1965: Dari Pulau Buru sampai ke Mekah (2006), memoar Suparman Amirsyah. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

Memilih Kiri

Harian Warta Bandung yang dipimpin Suparman pertama kali terbit pada 1954. Pada masanya, ia merupakan koran terbesar kedua di Kota Kembang setelah Pikiran Rakjat-nya Djamal Ali. Kantornya, gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), merupakan tempat berkumpul para intelektual dan seniman Bandung, mulai dari Jim Liem (Adilimas), Asmara Hadi, hingga Ramadhan K.H. Tidak heran, topik budaya kental mewarnai isi koran tersebut. Terutama lewat rubrik khusus “Kebudayaan” di edisi Sabtu. Berita-berita disajikan secara relatif objektif dan seimbang sesuai mottonya: “Persatuan Nasional Demokrasi”.

Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam artikel “Warta Bandung: Bersama Belok Kiri”, termuat di buku Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (2007), menelisik kedekatan Warta Bandung dengan dua surat kabar kiri paling populer ketika itu: Bintang Timur dan Harian Rakjat. Dengan Bintang Timur, Warta Bandung menjalin kerja sama distribusi lewat penggratisan Bintang Minggu, edisi akhir pekan Bintang Timur, untuk transaksi berlangganan. Bintang Minggu merupakan cikal-bakal “Lentera” yang kelak diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. Dari Harian Rakjat, koran organ resmi PKI, Warta Bandung tidak jarang menukil beritanya.

“Saat gerakan kiri terus menguat dan sosialisme masih menampilkan kharisma yang luar biasa di kalangan aktivis pergerakan, koran ini memilih bersama di jalan kiri,” demikian Rhoma Dwi menyimpulkan.

Kedekatan dengan dua surat kabar kiri inilah agaknya yang membuat Warta Bandung dibredel, lalu menyeret Suparman masuk ke pusaran gelap pasca Peristiwa 1965. Lewat memoar Dari Pulau Buru sampai ke Mekah, kita kemudian tahu kalau pusaran gelap itu tidak sanggup merontokkan nyala hidup sang wartawan. Ia menuntaskan 13 tahun hukuman tanpa pengadilan untuk kembali bertarung di gelanggang hidup yang sama sekali baru.

Atas saran sejarawan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Asvi Warman Adham, Suparman dalam memoarnya memuat juga jatuh-bangun perjuangan bertahan hidup sebagai eks-tapol. Perjuangan yang, menurut Asvi, “tidak kalah tragisnya” akibat stigma dan pelarangan-pelarangan. Maka berceritalah Suparman tentang berbagai usaha yang ia jajal. Mulai dari kerja pemanfaatan limbah kertas koran hingga les bahasa Inggris dan Perancis.

“Seperti yang sudah dibayangkan semula, ternyata hidup baru ini jauh lebih berat dibanding dengan hidup di dalam kamp, bahkan di pembuangan Pulau Buru sekalipun,” tulisnya.

Kehidupan Suparman berangsur membaik ketika ia memutuskan untuk secara tekun merintis lembaga kursus pendidikan komputer di Tasikmalaya. Belakangan, ia juga membuka layanan perguruan tinggi. Pernikahan keduanya, dengan seorang perempuan keturunan menak, menambah keberuntungan belaka. Memoar setebal 334 halaman itu ditutup dengan pengalaman Suparman dan sang istri pergi menunaikan ibadah haji. Namun bahkan di Tanah Suci itu, ia mengingat tahun-tahunnya di Pulau Buru, di bawah cengkeraman Orde Baru.

“Kalau dalam menjalani sisa hidup saya ini dikatakan orang sebagai seorang yang ‘sukses’,” tulis Suparman, “Itu tiada lain karena pengalaman di masa lalu, masa selama hampir tiga dasawarsa hidup dalam tekanan dan teror mental yang tidak henti-hentinya.”

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//