• Kolom
  • Yang Hilang Ditelan Tembok di Gedebage #3: Tidak Ada Lapangan, Tidak Ada Empang, Kebun Pun Hilang

Yang Hilang Ditelan Tembok di Gedebage #3: Tidak Ada Lapangan, Tidak Ada Empang, Kebun Pun Hilang

Sejak perubahan masif di wilayah Cinambo-Gedebage, kini tak ada lagi empang, kebun, dan lapangan bola tempat favorit kami bermain dulu. Terpupus tembok-tembok beton.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Gudang SPPBE Limagas Mandiri di Gedebage, Bandung, yang dulu pernah digunakan sebagai tempat bermain bola. (Foto: Hafidz Azhar)

24 April 2024


BandungBergerak.id – Zafira, gadis kecil berusia delapan tahun, terpaksa berlatih mengayuh sepeda di jalan.  Sambil berpapasan dengan lalu-lalang kendaraan bermotor Zahira merasa bahwa ia telah kehilangan lingkungannya untuk berlatih mengendarai sepeda. Zafira tidak sendiri. Ia didampingi ibunya, mengayuh sepeda di sepanjang Jalan Rancameong diiringi wajah yang tampak penuh kehati-hatian. Sorot matanya melirik ke sana ke mari seraya membagi konsentrasi untuk menyeimbangkan sepedanya.

Momen seperti ini tentu saja acap kali ditemui. Soalnya tak jauh seiring berkurangnya tanah lapang. Satu-satunya area yang cukup luas yang masih tersisa, yakni tempat penggilingan padi milik Haji Sambas. Itu pun cenderung dibatasi.

Sejak keluarga Bu Haji Neneng berpindah rumah, pengelolaan penggilingan padi jatuh kepada pihak kedua sebagai pemegang kuasa. Sebut saja Haji Gagan. Nama ini bukan nama asli. Ia ditugaskan untuk mengurus tempat tersebut oleh keluarga Haji Sambas. Di tangan Haji Gagan, area penggilingan padi seolah menjadi lingkungan yang sakral dengan dibentuk pagar dan benteng yang mengelilinginya. Sementara setiap orang yang ingin menggunakan tempat itu mesti mendapat izin dari sanak atau keluarga si pengelola. Jika tidak, jangan harap kita akan terbebas dari persekusi atau terkena ocehan tiba-tiba.

Baca Juga: Yang Hilang Ditelan Tembok di Gedebage #1: Bermula dari Rumah
Yang Hilang Ditelan Tembok di Gedebage #2: Nama Tidak Berganti, Namun Kondisi Terus Berubah

Empang dan Kebun Pak Jama

Melihat kondisi seperti ini, saya jadi teringat masa dua puluh tahun yang lalu. Kami beruntung kala itu, karena masih mendapati lingkungan luas yang bisa kami tempati untuk bermain. Ada empang dan kebun milik Pak Jama, misalnya. Tidak jauh dari situ terdapat lapangan bola, sekalipun digunakan untuk ajang adu merpati oleh warga.

Setiap musim penghujan tiba, sungai yang mengaliri empang Pak Jama bertambah penuh melebihi batas daratan. Bila terjadi seperti itu, biasanya kami lekas menghampiri empang, lalu mencari beberapa gebok pohon pisang dan memanfaatkannya untuk bermain perahu secara bergantian. Mengetahui hal itu, Pak Jama pun kemudian mendatangi kami supaya tidak merusak kebunnya. Sebab, di situ banyak ditanami singkong, umbi-umbian serta tumbuhan lainnya yang berbuah sangat manis.

Sialnya, baik empang maupun kebun Pak Jama, kini sudah tidak bisa lagi kita jumpai. Ada benteng yang membatasi area itu dengan menyisakan sedikit jalan hingga ke pemukiman warga. Tidak hanya itu. Banteng tersebut juga menghalangi area lapangan bola. Warga setempat seolah tampak terkurung oleh tembok tebal itu dengan suasana yang cukup pengap. Sesekali saya melewati jalur itu bila jalan utama terhalangi oleh acara hajatan. Kesan pertama ketika mengarungi jalan tersebut, yakni rasa prihatin karena sampai saat ini warga masih bertahan di antara himpitan banteng tinggi itu, kendati akses menuju ke jalan utama terbilang sempit. 

Kata ibu, benteng dengan tinggi sekitar dua meter itu sengaja dibangun oleh pemilik tanah. Tidak diketahui siapa nama dari sang pemilik tanah. Yang jelas tanah itu bukan kepunyaan Pak Jama. Sayangnya, saya sendiri belum sempat bertanya kepada Pak Jama ihwal tanah yang dulu pernah ia gunakan untuk bercocok tanam. Tentu saja ada pertimbangan yang harus saya jalani. Sebab, kata ibu, urusan seperti ini cukup sensitif bagi sebagian orang di lingkungan tempat tinggal saya, termasuk bagi Pak Jama yang kini usianya sudah menginjak lebih dari 80 tahun.

Namun, siapa sangka, alih-alih dibatasi dengan benteng di balik itu tidak ada satu pun  aktivitas yang berjalan. Semak belukar tumbuh amat lebat, merambah ke seluruh hamparan yang dikelilingi oleh tembok-tembok beton itu. “Seperti hutan belantara”, ungkap keponakan saya ketika kami sedang membicarakan status kepemilikan tanah benteng itu.

Lapangan Pak Uwar

Sebetulnya, sekitar satu kilometer dari rumah, terdapat lapangan bola yang ukurannya sepertiga dari ukuran normal lapangan sepak bola. Kami menyebutnya Lapangan Pak Uwar. Nama ini merupakan nama pemberian dari seorang kawan yang konon dilekatkan pada pengelola tanah tersebut. Kami pun senantiasa menggunakannya untuk bermain bola. Setiap akan bermain di situ, kami berjalan kaki bersama-sama dari rumah selama kurang dari 20  menit.

Dari sisi geografis, Lapangan Pak Uwar terletak tepat di sekitar Jalan Rumah Sakit. Dulu, saat pertama kali tiba di sana, kami disuguhkan warung jajanan yang juga didiami oleh Pak Uwar beserta istrinya. Warung tersebut sesekali dikunjungi oleh para pekerja, karena bersebelahan dengan PT Prabha Sri Utama Embroidery yang sekarang masih beroperasi.

Pak Uwar sendiri mempunyai ikatan keluarga dengan salah seorang kawan. Ujang namanya. Berkat Ujang kami beruntung bisa menggunakan lapangan Pak Uwar, meski secara silsilah keluarga ikatan Ujang dengan Pak Uwar tidak terlalu dekat.

Bayangan saya terhadap Lapangan Pak Uwar masih tergambar cukup jelas. Sebut saja, misalnya, saat sedang musim kemarau. Tanah yang kami injak di area itu akan berubah menjadi pasir merah. Di pinggirnya terdapat kolam kecil dikelilingi rumput ilalang. Tidak lupa juga sorot matahari kemerahan bila kami hendak bergegas menuju pulang saat jarum jam menunjukkan pukul 17.30.

Tetapi, sayangnya. Sejak perubahan masif di wilayah Cinambo-Gedebage, kini tidak ada lagi jejak yang tersisa dari lapangan yang dulu sempat menjadi tempat favorit kami. Tengok saja. Jika Anda melewati Jalan Rumah Sakit dari arah perempatan Gedebage, Anda akan menemukan gudang berisi tumpukan gas dengan beberapa unit truk pengangkut yang dioperasikan ke berbagai daerah. Di sana tertempel plang SPPBE Limagas Jaya Mandiri sebagai penanda perusahaan yang bernaung di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Saya sendiri tidak banyak mengetahui kapan pertama kali tanah lapang itu diubah menjadi gudang. Ada yang menyebut sekitar medio menjelang 2010-an. Yang pasti, hal ini menambah deretan panjang lahan-lahan terbuka yang terpupus oleh tembok-tembok beton, sehingga kini tidak ada lagi lapang, tidak ada empang, kebun pun hilang.

* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Hafidz Azhar, serta artikel-artikel lain tentang Gedebage

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//